Orang-orang itu mengulang teriakan di depan pintu sebuah rumah, persis di depan rumahku. Itu rumah Pak RT, yang putranya ikut dalam pengeroyokan adikku. Kunyalakan keras-keras mikrofon yang telah kupersiapkan, sekeras mungkin, jauh lebih keras dari teriakan semua orang.
"Siapa yang mau mati juga setelah ini?" tanyaku memecah kegaduhan.
"Katakan padaku, siapa yang mau mati menyusul Sagara setelah ini?" aku gunakan kata mati, kata yang tidak aku sukai dalam penyebutan kepergian seorang manusia.
"Silahkan katakan padaku, siapa yang mau menyusul keheningan ibuku satu tahun ini!"
Sore ini, semua ikut ibuku: hening. Kumatikan mikrofon. Suaraku sudah cukup jelas untuk didengar tanpa pengeras suara.
"Pak RT, keluarlah, ini Sofia. Saya kakak dari Sagara, anak laki-laki yang nyawanya direnggut putra Bapak,” aku menahan suaraku agar tak diiringi isak tangis saat menyebut kembali nama Sagara.
“Saya sudah tidak marah. Saya hanya muak, Pak. Warga Bapak terus meneriakkan keadilan, seolah-olah lupa selama ini mereka turut serta mendebatkan perbedaan. Bapak, keluarlah. Sampaikan pada warga Bapak bahwa Bapak siap membawa putra Bapak menuju hukum yang adil,” kuhentikan sejenak suaraku sembari melihat satu persatu warga di sekeliling yang tetap hening.
“Boleh jadi setelah ini saya yang mati dikeroyok warga karena lancang mengatakan mereka turut serta mengintimidasi keluarga kami, yang entah saya heran mengapa ayah saya jadi ikut-ikutan juga dalam kerumunan mereka. Mungkin sudah hilang akal atas kepergian putranya. Tapi, Bapak, warga Bapak ternyata baik juga. Mereka ingin putra Bapak dihukum selayaknya, sama seperti pelaku lain yang merenggut nyawa adik saya, adik yang saya sayangi, yang juga ikut bersalah karena terpancing emosinya."
Keheningan masih berlanjut. Tiba-tiba ibuku keluar rumah. Suaranya menyabotase seluruh sumber suara.
"Terima kasih, Sofia. Ibu sudah selesai dengan semua ini," mata ibuku mulai memerah saat mulai berbicara. Air matanya jatuh begitu saja. Suaranya gemetar, suara yang tak pernah kudengar lagi setelah satu tahun lamanya.
"Saya ingin hidup kembali sebagaimana negara ini menginginkan warganya hidup. Kami pendatang, tapi kami juga bagian dari daerah ini. Putra saya meninggal, dan sore ini saya sudah ikhlas. Saya tidak ingin ada yang pergi lagi karena perbedaan yang tidak perlu diperdebatkan," suara ibu semakin lirih.