Cerita Pedoman
Ia sering mengisahkan kisah-kisah kenabian; tentang Ibrahim Sang Pemenggal kepala berhala, Â Yusuf Sang Tampan, Sulaiman Sang kaya, Nuh dan ikan, atau Ibrahim, yang ternyata bukan manusia pertama. Bakatnya memang bercerita, tak peduli lirikan mata orang-orang yang telak memandang seperti musang di jalanan.
Orang-orang di warung mak Tam malah sering menyebutnya si pembual, banyak dari bocah-bocah yang suka nongkrong mencari wifi gratisan itu geram saat ia datang. Banyak pula dari mereka keheranan, apa sebab para gadis kota  mau didekatinya, setidaknya, banyak juga yang beranggapan bahwa wanita  memang suka dengan rayuan gombal. Atau, semua sepakat bahwa; ia memang lihai menghipnotis wanita sunndal.
Tapi begitulah segala kisahnya, perannya terkadang menimbulkan kerinduan mendalam bagi bocah-bocah pencari wifi gratisan lantaran seringnya ia berbagi kopi , seperti kucing kawin yang kesakitan lalu ketagihan. Kususnya Mak Tam, sering menunggui kedatangannya supaya ada seseorang yang sudi memborong barang dagangan.
Pada suatu malam bulan desember, hujan begitu deras, angin menerpa kencang, hingga pasar yang berada di dekat terminal Bungurasih sunyi lengang seperti kuburan, setelah beberapa saat keributan menerjang, mondar-mandir kendaraan lalu lalang kini menghilang. Menurut kabar berita dadakan, angin puting beliung datang, menerjang segala kejengahan orang-orang yang malang melintang. Pada saat itu, ia masih duduk tenang  dikerumuni orang-oraang asing, para pekerja luar jawa yang baru datang. Duduk mengangkang dengan gayanya, kali ini persis seperti patung semar yang terpampang di pemandian.
Ia masih duduk dengan tenang, dan ketenangannya mampu menghipnotis orang-orang di sekitarnya yang sedari tadi ketakutan. "Tenang, tenangkan pikiran, tenangkan hati, tenangkan perasaan, sepertiku yang selalu menjaga ketenangan saat aku membuang sauh  di jalanan.
Ajaib, kini suasana pun menjadi tenang.
"Kalian tahu mengapa akhir-akhir ini banyak petaka?" Katanya kemudian.
Orang-orang itu hanya saling memandang. Ia tersenyum sinis, kumis tipisnya menjorok ke sudut pipi.
"Tidak!" Jawab mereka kompak.
Mulailah ia menarasikan ceritanya begini:
 Alkisah, seorang cucu nabi, yang hidup diantara tahun ke 4 hijriyah sampai 61 hijriyah, harus tewas ditangan orang-orang yang mengaku mengimani nabi. Kalian tahu, cucu rosulullah yag memiliki muka merah, tampan rupawan, dan banyak disanjung di kalangan para sahabat ketika Sang Nabi masih hidup, adalah cucu yang pernah membuat Sang Nabi menangis, lantaran saking sayangnya nabi kepada beliau?
Ibarat kucing, muka imut hanya stimulus, ada sesuatu terselubung  dibendung. Kalian tahu, pada saat itu sudah banyak tokoh yang pengaruhnya melebihi Husain, cucu Rasulullah?
Ya.Bukti autentik bahwa Husain merupakan khalifah penerus nabi telah diingkari. Kursi khilafah, yang seharusnya dipegang oleh sosok yang tepat, harus jatuh pada penguasa sesat.
Ialah Yazid bin Muawiyah, tokoh yang berkuasa kala itu, dengan dalih keamanan politik, memaksa cucu Rasulullah untuk tunduk dan berbaiat kepadanya. Sedang Husain, baiat adalah petunjuk Tuhan, bukan semata-mata kecocokan.
Tensi politik yang meninggi, menjadikannya sebagai status pelarian. Maka, dengan segala kekuatan yang dimiliki, Yazid bin Muawiyah mengerahkan seluruh pasukan mengejar Sayidina Husain. Bagaimanapun bentuknya, jika Husain menolak baiat, ia adalah pembangkang.
Di tempat lain, Husain bersama rombongan kecilnya melakukan perjalanan panjang, Madinah-makkah, ditempuhnya guna menghindari kejaran tentara Yazid bin Muawiyah. Tidak lebih dari seratus orang yang terdiri dari wanita dan anak-anak, menyusuri padang tandus nan gersang. Tak ada pertolongan, sebab penduduk Makkah terlebih dulu ciut nyali saat mengetahui ada Husain di dalam rombongan. Maka, di sepanjang perjalanan, hanya mata-mata penuh iba yang tersirat dari mereka, bibir-bibir saling berbisik, dan ketakutan yang mencekam.
Tak ada sambutan. Makkah yang dianggap tempat perlindungan bagi Husain dan rombongan, malah menimbulkan keresahan bagi penguasa yang bersangkutan. Bagaimanapun juga, Husain adalah buronan.
Dalam kemelut dan keresahan rombongan di Makkah, situasi yang membuat cucu Rasulullah dilema, tak seorang pun berani menerimanya dan memberi perlindungan. Pada saat itu, datanglah surat dari penduduk Kufah yang berniat baiat kepada Al-Husain. Mereka adalah para penduduk Kufah yang notabene merupakan mantan pengikut setia Sayidina Ali, berniat menebus dosa-dosa masa lalu. Bagi mereka, satu-satunya penebus dosa hanyalah satu. Baiat kepada Husain.
Setiap hari, surat datang silih berganti, ajakan dan pinangan penduduk kufah datang  bertubi-tubi.
Secercah harapan tersirat dari cucu Nabi, muka berbinar, dan dengan keikhlasan hatinya melupakan dosa-dosa masa lalu, Husain  memantapkan diri. Hijrah ke Kufah.
Namun, untuk memastikan bagaimana reaksi penduduk Kufah, Husain terlebih dulu mengutus Hani bin Urwah ke Kufah. Tiga hari yang diberikan kepadanya, menemui ketua penduduk Kufah, dan beberapa orang yang ia kenal sebagai pengikut Sayidina Ali, jika tak jua kembali, Husain tetap berangkat, mengingat Makkah sudah bukan tempat yang bisa ditempati. Maka berangkatlah Hani dengan penuh hati-hat. Tentara Bani Muawiyah kini telah memenuhi kota.
Tiga hari telah dilewati, Hani bin Urwah tak jua kembali. Namun sesuai janji, Husain harus berangkat pagi-pagi. Kini terlihat muka cucu rasulullah itu tak lagi berseri seperti saat setiap hari ia menerima surat dari orang-orang Kufah. Dalam kekhawatirannya, suara-suara dari rombongannya mulai ramai. Kepanikan mulai terpancar dari wajah-wajah mereka.
Berdirilah Husain di hadapan rombongan seraya berujar:
" Maha Suci Allah dari segala sesuatu yang telah menduakan-Nya. Shalawat dan Salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasul-Nya, para sahabat, dan ahlul bait. Saudaraku, kematian adalah sesuatu yang melingkar pada manusia seperti seuntai kalung di leher seorang perempuan muda. Betapa  rindunya aku untuk segera bertemu dengan para pendahuluku terdahulu. Ketahuilah, sebaik-baik kematian adalah demi perjuangan, dan aku tidak memaksa kalian untuk terus dalam rombongan, jika ini memberatkan, kembalilah, jika kalian tidak sanggup, berhentilah . Sesungguhnya aku telah melihat serigala-serigala buas padang pasir mengintai di suatu tempat. Sungguh, dari Allah kita berasal, maka kepadanya pula kita kembali."
Mentari telah meyisir belahan tanah bebatuan dan gurun pasir, bergerak lambat menyibak keangkuhan terik langit kota Makkah. Awan yang menggumpal di angkasa menaungi orang-orang yang  satu persatu meninggalkan barisan Al-Husain, menyisakan sebagian orang-orang yang setia padanya.
Pagi itu, meski tanpa kabar dari Hani bin Urwah, rombongan kecil Al-Husain memulai perjalanannya.
BATN Al-Aqabah menjadi persinggahan rombongan Al-Husain. Dalam perjalanan menuju Kufah, terdengarlah kematian Hani bin Urwah telah dipancung oleh pemerintah setempat, dan kepalanya digantung di depan Daarul Imarah.
Wajah-wajah muram kini tampak pada rombongan Husain, mereka prihatin akan kabar yang mereka terima. Namun anehnya, keprihatinan itu semakin melecutkan semangat kebersamaan mereka. Mereka yakin, perjalanan kali ini merupakan perjalanan menuju satu titik, dimana hanya ada Tuhan dan pertolongan-Nya di sana.
Hari tiu, Bukit Dzi Hasam berubah. Dua rombongan bergerak menuju bukit itu dari kedua arah berlawanan. Kaki bukit bergetar akibat hentakan ladam kaki-kaki kuda. Suara gemuruh menyeruak angkasa, melingkar di sekitar  bukit.Tak ada yang tahu kemungkinan apa yang terjadi.
Tentara Muawiyah memaksa rombongan Husain menyerah. Namun janji adalah janji, janji menegakkan Ad-Diin sudah pasti. Meski nyawa sebagai ganti. Pertempuran tak bisa dielakkan lagi. 74 orang pendukug Husain melawan ribuan tentara Yazin bin Muawiyah. Tak ada kata sebanding dalam pertempuran. Dengan gigih, mereka rela menyerahkan nyawa, berperang di depan Husain bin Ali.
Lembah Karbala menjadi saksi atas bisunya pembelaan kepada Husain. Saat langit membiaskan merah senja, seorang lelaki dari kubu Yazid  menerobos keluar barisan, lalu menorehkan luka di bahu Husain. Tubuh cucu Rasul itu pun roboh.
Dua lelaki menyusul keluar. Masing-masing mengikuti jejak lelaki pertama. Keduanya menorehkan luka ke tubuh Husain. Disusul dua lelaki lagi.
"Sampai kini sejarahnya sepi. Tak ada lagi orang peduli." Kata pemuda itu, matanya berkaca-kaca.
Namun aku masih ingat betul pesan yang tertulis dari Husain yang sampai kini masih abadi; "Perang ini tidak akan pernah berakhir. Aku hanya salah satu orang terakhir saat ini. Akan ada saat di mana akan di mulai perang kembali."
Bisu. Alam seakan tak bicara. Hembusan napas di tengah riuh kota terdengar. Aneh sekali, kesenyapan malam ini benar-benar seperti kota mati.
 "Lalu, perang seperti apa yang dimaksud suatu saat nanti?"
Bisu. Pemuda itu tak menjawab. Suasana kembali sunyi. Entah dimana sekarang Mak Tam bernyanyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H