Tiga hari telah dilewati, Hani bin Urwah tak jua kembali. Namun sesuai janji, Husain harus berangkat pagi-pagi. Kini terlihat muka cucu rasulullah itu tak lagi berseri seperti saat setiap hari ia menerima surat dari orang-orang Kufah. Dalam kekhawatirannya, suara-suara dari rombongannya mulai ramai. Kepanikan mulai terpancar dari wajah-wajah mereka.
Berdirilah Husain di hadapan rombongan seraya berujar:
" Maha Suci Allah dari segala sesuatu yang telah menduakan-Nya. Shalawat dan Salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasul-Nya, para sahabat, dan ahlul bait. Saudaraku, kematian adalah sesuatu yang melingkar pada manusia seperti seuntai kalung di leher seorang perempuan muda. Betapa  rindunya aku untuk segera bertemu dengan para pendahuluku terdahulu. Ketahuilah, sebaik-baik kematian adalah demi perjuangan, dan aku tidak memaksa kalian untuk terus dalam rombongan, jika ini memberatkan, kembalilah, jika kalian tidak sanggup, berhentilah . Sesungguhnya aku telah melihat serigala-serigala buas padang pasir mengintai di suatu tempat. Sungguh, dari Allah kita berasal, maka kepadanya pula kita kembali."
Mentari telah meyisir belahan tanah bebatuan dan gurun pasir, bergerak lambat menyibak keangkuhan terik langit kota Makkah. Awan yang menggumpal di angkasa menaungi orang-orang yang  satu persatu meninggalkan barisan Al-Husain, menyisakan sebagian orang-orang yang setia padanya.
Pagi itu, meski tanpa kabar dari Hani bin Urwah, rombongan kecil Al-Husain memulai perjalanannya.
BATN Al-Aqabah menjadi persinggahan rombongan Al-Husain. Dalam perjalanan menuju Kufah, terdengarlah kematian Hani bin Urwah telah dipancung oleh pemerintah setempat, dan kepalanya digantung di depan Daarul Imarah.
Wajah-wajah muram kini tampak pada rombongan Husain, mereka prihatin akan kabar yang mereka terima. Namun anehnya, keprihatinan itu semakin melecutkan semangat kebersamaan mereka. Mereka yakin, perjalanan kali ini merupakan perjalanan menuju satu titik, dimana hanya ada Tuhan dan pertolongan-Nya di sana.
Hari tiu, Bukit Dzi Hasam berubah. Dua rombongan bergerak menuju bukit itu dari kedua arah berlawanan. Kaki bukit bergetar akibat hentakan ladam kaki-kaki kuda. Suara gemuruh menyeruak angkasa, melingkar di sekitar  bukit.Tak ada yang tahu kemungkinan apa yang terjadi.
Tentara Muawiyah memaksa rombongan Husain menyerah. Namun janji adalah janji, janji menegakkan Ad-Diin sudah pasti. Meski nyawa sebagai ganti. Pertempuran tak bisa dielakkan lagi. 74 orang pendukug Husain melawan ribuan tentara Yazin bin Muawiyah. Tak ada kata sebanding dalam pertempuran. Dengan gigih, mereka rela menyerahkan nyawa, berperang di depan Husain bin Ali.
Lembah Karbala menjadi saksi atas bisunya pembelaan kepada Husain. Saat langit membiaskan merah senja, seorang lelaki dari kubu Yazid  menerobos keluar barisan, lalu menorehkan luka di bahu Husain. Tubuh cucu Rasul itu pun roboh.
Dua lelaki menyusul keluar. Masing-masing mengikuti jejak lelaki pertama. Keduanya menorehkan luka ke tubuh Husain. Disusul dua lelaki lagi.