Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Warisan Bapak

2 Agustus 2017   06:31 Diperbarui: 3 Agustus 2017   11:33 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku sudah ketemu Maman anaknya Pak Puh Marno. Katanya dia mau bantu ngasih pinjaman lima juta buat modal. Buat beli cetakan, beli plastik, bayari tenaga kerja, sekalian beli kayu. Nanti kalau bata sudah matang Maman yang ambil." Desis Kang Marto seraya menundukkan pandangannya ke lantai dalam-dalam.

Aku terdiam melirik Emak mengkerutkan kening. Tak selayaknya perempuan kurus berusia enam puluhan itu memikirkan hal-hal semacam ini. Namun dalam keluarga kami Emak lah yang selalu mengambil keputusan. Sering keputusan itu diambil saat Kang Marto memberi usulan mendesak. Entahlah, mungkin Emak percaya kalau Kang Marto bisa mengatasi masalah kami, atau Emak yang memang sudah tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Dan aku akan selalu mendukung Emak.

"Warsih gimana?" Suara Emak serak menghilang di langit-langit.

"Masih satu bulan lagi. Cukuplah untuk membuat bata sebanyak-banyaknya. Mumpung Wawan masih liburan, nanti bisa tiap hari bantu. Iya kan Wan?" Kang Marto menatapku. Aku mengangguk.

"Mulai pendaftaran kuliahmu kapan to Wan?" Tanya Emak padaku. " Adikmu Wakit juga butuh lima juta lho buat Wisuda nanti Mar. Biaya kost-nya juga sudah nunggak tiga bulan katanya"

"Biaya kuliahmu berapa Wan?" Tanya Kang Marto ketus. Mengarahkan pandangannya padaku.

"Lima Juta-an Kang!"

"Apa begini saja Mak, sawahnya kita gadaikan saja. Nanti uangnya buat Wakit. Yang penting lulus kuliah dulu dari pada telat terus ditunda tahun depan. Kan malah tambah biaya. "Kalau per hektarnya empat juta setahun, berarti nanti kita gadai selama dua tahun. Cukuplah untuk Wakit."

"Ehm, nanti biaya kuliah Wawan nunggu bata sudah laku saja, Mak. Itung-itung Wawan kerja dulu ke Kang Marto." Kataku seolah-olah berbicara dengan diriku sendiri.

"Bagaimana Mak? Biaya Wawan bareng sama bayar ke Bu Warsih" Tanya Kang Marto mendesak.

Emak tak berujar apapun. Matanya menatap kosong pada dinding rumah yang masih terlihat bata tersusun. Dinding yang sejak mendiang Bapak meninggal belum sempat kami lapisi dengan semen. Setahun yang lalu Bapak sudah mengumpulkan uang untuk merenofasi rumah. Namun rencana itu urung lantaran Bapak keburu dipanggil Sang Khaliq. Lalu uangnya kami gunakan mengurus jenazah Bapak, sisanya yang tak cukup untuk merenofasi rumah akhirnya di kirimkan Emak ke Kang Wakit yang kebetulan sedang ujian tengah semester.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun