Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ajaran Nenek Moyang

30 Juli 2017   06:38 Diperbarui: 30 Juli 2017   09:23 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/en/padlock-door-lock-key-hole-macro-172770/

Aku menarik tanganku yang hendak mengetuk pintu, ragu. Suara deheman Wak Rudi, sesepuh desa dari dalam rumahnya menciutkan nyaliku. "Ah, ada gerangan apakah Wak Rudi sedari kemarin terus mencariku?" Aku mereka-reka penuh cemas.

"Masuk." Suara Wak Rudi menyahut. Mendengar suara pintu ku ketuk dan salam. Membuka pintu. "Kau sudah seminggu kucari. Kata Emakmu tak kemana-mana. Lalu mengapa lama tak kunjung jua kesini, Ardi?"

Aku segera beringsut masuk mendahului tuan rumah  sebelum dipersilahkan. Melintasi Wak Rudi yang masih memegangi daun pintu,tangan kanannya erat menahan pengikat sarung yang terlihat hampir kedodoran. "Kabarnya sehat,Wak? Katanya habis jual sapi!" Kataku basa-basi. Mengambil posisi duduk di kursi anyaman yang terbuat dari bambu, lalu mengempaskan punggung hingga menciptakan bunyi kriet dari sana.

"Eh, lah. Sudah lama. Uangnya juga udah habis dikirim ke Paesal buat biaya semesteran. Kabarmu bagaimana? Kok semenjak mondok di Jawa malah pulang enggak pernah ikut kegiatan barzanji." Tanya Wak Rudi setelah nyaman dalam posisi duduk melipat kaki. Tangannya mulai sibuk meracik tembakau.

Aku mendengus napas panjang. Sudah kuduga, seminggu Wak Rudi mencariku, menyuruhku menemuinya hanya untuk menghakimiku. Aku mengkerutkan kening, mencari-cari alasan yang tepat atas jawaban pertanyaan  sesepuh desa ini. Membiarkan ruangan hening untuk sekian lama. Hanya terdengar kemretak suara cengkeh  bercecar saat Wak Rudi  menghisap racikan tembakaunya. Asap  mengepul memenuhi ruangan.

(***)

Tujuh tahun berlalu, semenjak kepergianku menimba ilmu ke pulau Jawa.  Belum genap satu bulan aku menjejakkan kakiku kembali di perkampungan ini. Melepas rindu yang tak terbendung  sekedar menghirupi udara segar setiap  hari, menikmati kicau burung kenari yang masih setia  bernyanyi liar, sungai yang berkelok nan jernih, mengairi persawahan yang terhampar luas, suara bebek berbaris  mandi di pematang, hingga kambing-kambing kecil yang masih terlihat berlarian di perkebunan tetangga.

Semuanya sempurna kunikmati, sebelum selanjutnya suasana itu berubah. Suasana yang sebenarnya  sejak pertama ku kembali sudah terasa perbedaannya. Namun perubahan itu ku abaikan begitu saja.

Belum genap satu bulan. Enam belas hari tepatnya aku di rumah. Semakin hari para tetangga banyak yang berdatangan, semakin banyak pula keluh kesah yang kudengar dari mereka. Rerata semua mengeluhkan anak-anaknya yang malas mengaji ke surau, tidak mau melanjutkan sekolah menengah atas, semuanya ingin pergi ke kota. Bekerja di kota, tepatnya. Banyak pula yang tak malu-malu mengeluhkan perbedaanku, lantaran aku tak lagi sering memakai sarung. Seperti sebelum aku pergi.

"Kau sudah tujuh tahun. Selayaknya kau meramaikan kampung dan setiap hari menjadi muadzin. Oh. Ya! Kau panjangkanlah jenggotmu itu. Tak pantas bertahun-tahun mondok masih saja bergaya modern."

"Alamak! Sejak kapan kau lepas sarung? Tak elok kau begitu. Pantas saja anakku tak sudi lagi bersarung. Meniru  kau rupanya!"

"Nah, Ardi. Kebetulan kau datang tahun ini. Sudah waktunya kau menggantikan Mbah Dardi, menjadi Imam tahlil. Yassalaam."

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan usulan dan keluh kesah para tetangga. Duduk di kursi merapatkan kedua  tangan, takzim mendengarkan mereka yang jika kurasa-rasa malah seperti sedang menghakimi. "Jangan dengarkan mereka. Kayak tidak tahu saja kelakuan para tetanggamu." Kata Emak menghiburku saat para tetangga membubarkan diri. Seolah tahu keresahan yang sedang kupendam.

"Tapi alangkah baiknya jika kau tak kaku seperti itu. Bersosial yang baik  kan juga bagian dari ibadah. Begitu yang Emak pahami dari kajian Bopo Guru. Sudah, jika Industri Kreatif mu tak direspon penduduk, malah berharap kau jadi Kiai dusun, mungkin itulah jalanmu. Lalu, pergilah ke rumah Wak Rudi yang setiap hari mencarimu. Terima tawaranya menggantikan Imam dan guru mengaji. "

"Apa lagi itu, Mak. Mengapa jika mondok harus pulang menjadi Kiai? Menjadi Imam tahlil? Menjadi ..."

"Ya itu juga bagian dari ibadah kan, Le?" Kata Emak memotong pembicaraanku.

(***)

Hampir sebulan sudah aku  bermukim, pulang kampung,  berbaur dengan penduduk kampung yang seolah selalu awas padaku. Menatap telak setiap kali aku melintas, seolah mengaduk-aduk wajahku yang semakin kusut menanggapi mereka. Seperti dua mata koin yang saling berlawanan, di satu sisi orang-orang kampungku terlalu fanatik dengan ritual keagamaan, namun disisi lain tak sedikit pula teman-temanku yang kerjaannya hanya mabuk oplosan. Begitu kesimpulanku pada  orang-orang  kampung.

Pak Rw datang. Kebetulan rumahnya berhadap-hadapan tepat dengan rumahku. Jika rumahku menghadap ke utara, maka rumah Pak Rw adalah sebaliknya. Pak Rw Tohir masih muda, maka sering aku memanggilnya,  Kang Tohir.

Kang Tohir tersenyum ramah padaku, sebelum duduk mendampingiku melamun di siang hari. Waktunya santai sesaat habis beraktifitas rumahan. "Program yang kau bawa dari pondokmu sangat bagus, Ar. Mungkin saja orang-orang masih belum terbiasa dengan alumni pondokan seperti kamu yang pulang malah sibuk bekerja. Oh, mengembangkan produk UMKM tepatnya." Kata Kang Tohir sambil mengelus-elus pundakku. Masih kucium semerbak aroma getah karet yang masih menempel di tangannya.

"O. Ya! Mereka yang enggak mau belajar di pesantren,  menganggap alumni pondok rata-rata malas bekerja, bisanya cuma baca yasin waktu tahlilan, pulangnya bawa berkat." Kang Tohir terkekeh. Pundaknya terguncang dan menciptakan suara tawa tertahan.

"Aih, Kang. Ya memang bisa dibenarkan begitu. Makanya pengenku frame semacam ini dimatikan dari otaknya orang-orang." Jawabku datar.

(***)

Aku masih bingung dengan pola pikir penduduk kampungku sendiri. Ya, begitu. Ada dua golongan yang saling berseberangan, tidak menciptakan peperangan, namun perbedaan itu semakin mencolok jika kita hidup berbaur dengan mereka. Istilahnya perbedaan itu yang lazim adalah golongan abangan dan fanatik agama. Bagaimana mereka memiliki pandangan sendiri-sendiri tentang agama yang mendominasi Negara Indonesia.

Yang abangan, yang penting kelihatan ketika shalat jumat dan idul fitri. Selain itu; Njaran, mabuk, maen kartu, togel, tak pernah menjadi batas-batas dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Untuk shalat lima waktu dan puasa, aku tak berani mengambil asumsi mereka tak melakukan, karena aku tak pernah hidup serumah dengan mereka. Namun dari teman-teman yang akrab denganku, kutahu  mereka terbiasa makan siang saat bulan Ramadan.

Beda abangan, beda pula yang fanatik. Saking fantiknya ada pula yang mengharamkan kepala tanpa penutup (baca kopyah). Kultur yang dibangun, anaknya di bawa ke ponpes, ketika pulang harus menjadi ustadz,bahkan Kiai -kalau jadi. Maka, akan menjadi sangat beruntungnya orang tua si gadis jika calon menantunya adalah santri yang sudah khatam kitab-kitab ikhya', kurrotul 'uyun, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Lebih-lebih calon menantunya adalah seorang khafidz.

Tak sedikit orang tua harus bekerja keras demi anak-anaknya, setelah mondok disuruh pulang dan diberi tanah, perkebunan, dan persawahan. Sampai-sampai dibuatkan rumah. Aku selalu ngiri dengan menantu-menantu yang seperti ini. Loyal.

Sekarang aku punya asumsi lain tentang hal ini, setidaknya -yang kupahami -tidak seperti ini juga kan menjalankan kehidupan sehari-hari. Semuanya terasa terpisah, antara ritual keagamaan dan konteks bekerja mencari nafkah keluarga.

Begitu yang kusampaikan panjang lebar kepada Wak Rudi. Orang tua itu hanya mendengarkan takzim. Sesekali menyesap batang rokok racikan yang mulai pendek.

"Mohon maaf beribu maaf Wak, bukan maksut menggurui."

"O. Ya! Aku sedikit menangkap kegelisahanmu sekarang Ngger." Wak Rudi memotong, lalu terkekeh. Ruangan kembali sunyi.

(***)

Wak Rudi membuang puntung rokok sembarangan ke lantai. Menghempaskan sisa-sisa asap dari paru-parunya, meludah. Desahan napas panjang kudengar mulai teratur, membiarkan keheningan malam  menyelimuti kami, hanya menyisakan sayup-sayup suara iklan di teve ruang tengah. Sementara itu aku masih terdiam, menunggu reaksi sesepuh desa itu menanggapi.

Orang tua itu meludah lagi, menegakkan punggung. Menanggapi.

"Ku kira sama. Kita sama-sama resah, sementara kita juga sama-sama ingin meramaikan desa. Kau tengok saja surau sekarang tak ada yang mau mengaji sehabis magrib. Jangankan kegiatan tiba'an setiap malam jumat, maulud nabi pun tak ada acara, selain kenduri biasa. Biasa sekali. Tak ingat kah, Ar? Tujuh tahun lalu sebelum kau pergi. Masjid masih ramai. Malam jumat selalu ada kegiatan albarzanji, khitobah, maupun rebana. Tujuh tahun bukan waktu yang lama, bahkan kau saja belum tumbuh jenggot, Ar."

Aku masih diam dalam duduk hikmatku mendengar tanggapan Wak Rudi. Dalam hatiku membenarkan apa yang dikatakannya. Sesekali  melirik orang tua yang hanya mengenakan sarung dan kaos singlet itu, galur-galur tulang menampak jelas di dadanya yang hitam legam akibat setiap hari terkena sinar matahari. Dadanya kering, mungkin akibat racun asap yang setiap hari tak hentinya dia konsumsi.

"Ya begtu tadi, Wak. Menurutku sebagai anak muda, tak menghawatirkan budaya masyarakat hilang. Beda, antara kultur dan maslakhah. Albarzanji hilang tak apa, yang penting masyarakat tak saling mengatai di belakang yang lain. Apalagi menjadi geng-geng. Tapi dari pada hanya hura-hura, kegiatan Al-barzanji tentu menjadi alternative supaya tidak larut-larut dalam dunia huru-hara."

"Jadi bagaimana ceritanya tentang program pemberdayaan bagi orang-orang kampung itu? Kata Emakmu kau di sini masih lama."

"Nah, itu yang kumaksut sebagai solusi." Kataku mantap pada Wak Rudi.

Lalu dengan semangat aku menjelaskan tentang apa itu kreatifitas, kemandirian, visi-misi, dan lain-lain yang tentunya semua yang kujelaskan tak melebar dari apa yang kudapatkan dari pondok. Wak Rudi manggut-manggut takzim, bagaikan seorang bocah yang sedang  belajar tajwid pada ustad yang begitu disukainya.

Lama aku menjelaskan pada Wak Rudi, hingga pagi.

30 Juli 2017

Ditulis untuk memenuhi program kemandirian "one day one article".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun