Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ajaran Nenek Moyang

30 Juli 2017   06:38 Diperbarui: 30 Juli 2017   09:23 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/en/padlock-door-lock-key-hole-macro-172770/

(***)

Aku masih bingung dengan pola pikir penduduk kampungku sendiri. Ya, begitu. Ada dua golongan yang saling berseberangan, tidak menciptakan peperangan, namun perbedaan itu semakin mencolok jika kita hidup berbaur dengan mereka. Istilahnya perbedaan itu yang lazim adalah golongan abangan dan fanatik agama. Bagaimana mereka memiliki pandangan sendiri-sendiri tentang agama yang mendominasi Negara Indonesia.

Yang abangan, yang penting kelihatan ketika shalat jumat dan idul fitri. Selain itu; Njaran, mabuk, maen kartu, togel, tak pernah menjadi batas-batas dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Untuk shalat lima waktu dan puasa, aku tak berani mengambil asumsi mereka tak melakukan, karena aku tak pernah hidup serumah dengan mereka. Namun dari teman-teman yang akrab denganku, kutahu  mereka terbiasa makan siang saat bulan Ramadan.

Beda abangan, beda pula yang fanatik. Saking fantiknya ada pula yang mengharamkan kepala tanpa penutup (baca kopyah). Kultur yang dibangun, anaknya di bawa ke ponpes, ketika pulang harus menjadi ustadz,bahkan Kiai -kalau jadi. Maka, akan menjadi sangat beruntungnya orang tua si gadis jika calon menantunya adalah santri yang sudah khatam kitab-kitab ikhya', kurrotul 'uyun, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Lebih-lebih calon menantunya adalah seorang khafidz.

Tak sedikit orang tua harus bekerja keras demi anak-anaknya, setelah mondok disuruh pulang dan diberi tanah, perkebunan, dan persawahan. Sampai-sampai dibuatkan rumah. Aku selalu ngiri dengan menantu-menantu yang seperti ini. Loyal.

Sekarang aku punya asumsi lain tentang hal ini, setidaknya -yang kupahami -tidak seperti ini juga kan menjalankan kehidupan sehari-hari. Semuanya terasa terpisah, antara ritual keagamaan dan konteks bekerja mencari nafkah keluarga.

Begitu yang kusampaikan panjang lebar kepada Wak Rudi. Orang tua itu hanya mendengarkan takzim. Sesekali menyesap batang rokok racikan yang mulai pendek.

"Mohon maaf beribu maaf Wak, bukan maksut menggurui."

"O. Ya! Aku sedikit menangkap kegelisahanmu sekarang Ngger." Wak Rudi memotong, lalu terkekeh. Ruangan kembali sunyi.

(***)

Wak Rudi membuang puntung rokok sembarangan ke lantai. Menghempaskan sisa-sisa asap dari paru-parunya, meludah. Desahan napas panjang kudengar mulai teratur, membiarkan keheningan malam  menyelimuti kami, hanya menyisakan sayup-sayup suara iklan di teve ruang tengah. Sementara itu aku masih terdiam, menunggu reaksi sesepuh desa itu menanggapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun