Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nenek Sri Masih Jualan Kerupuk

11 Juni 2017   15:16 Diperbarui: 11 Juni 2017   15:32 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pixabay.com

Tangannya sudah mulai bergetar saat  meraba-raba mencari sakelar. Ia ragu-ragu menekan, setelah bersusah payah, lampu dikamarnya kini menyala redup.

Seperti biasanya, nenek Sri langsung ke kamar mandi. Sambil berjalan, tangan kanannya berpegangan dinding, sedang tangan kirinya sesekali menopang paha kiri yang sering terasa kram. Ia berjalan penuh hati-hati. Matanya sudah mulai tidak awas, ditambah lampu yang ia pasang menggunakan bohlam bertenaga lima watt-an saja, memaksanya harus menghafal seluk-beluk rumahnya. Berjalan lurus kebelakang menuju kamar mandi.

Setelah membersihkan diri dan mengambil air wudhu, nenek Sri duduk sejenak di kursi. Ia mengambil nafas, lalu berjalan hati-hati, kembali kekamarnya. Shalat subuh.

Setahun yang lalu, nenek Sri masih menjadi makmum bersama anak bungsunya yang masih di rumah. Ia juga tak perlu repot-repot menimba air sendiri, selain itu juga semua pekerjaannya ada yang mengurusi. Kini setelah suaminya meninggal,  anak bungsunya pun harus ikut suami. "Lina harus patuh sama mas Riyan mak" ujarnya sambil seseduan pamit.

Nenek Sri memang tidak bisa berbuat apa-apa, selama ini ia sering tak enak hati jikalau harus merepotkan anak-anaknya. Ia tak berani meski sekedar meminta beras pada Lina.  Tiga bulan yang lalu Riyan berjanji mau membawakan sanyo untuknya, agar setiap pagi tak perlu susah-susah menimba air, agar enak mencuci beras, "agar proses pembuatan krupuk pulinya cepet mak," kata Riyan sembari mengelus-elus pundak mertuanya.  Tapi sampai pagi ini, sanyo dari Riyan pun tak  kunjung sampai ke rumahnya.

MENTARI pagi menampakkan keceriaannya. Cahaya kemerahan menyeruap masuk melalui celah-celah dinding, menerangi kamar nenek Sri  yang agak berserakan, terasa hangat saat menyentuh kulitnya yang mulai keriput. Dengan sisa-sisa tenaganya, perempuan itu merapikan peraduannya. Ia melipat kelambu, menata bantal, dan menyapu lantai. Ia harus meyakinkan tempat tidurnya rapi sebelum mengerjakan rutinitasnya seperti biasa. Membuat kerupuk.

Pagi ini nenek Sri ingin meraih handphone-nya. Mencari kontak bertuliskan Lina, lalu memencet tombol call, setelah terdengar suara "halo" di ujung telephon, ia mematikannya. Menunggu panggilan masuk dari Lina. Begitu cara ia menghubungi si bungsunya itu. Nenek Sri ingin menanyakan sanyo yang dijanjikan Riyan. Namun niatnya itu  urung sebab tak enak hati nenek Sri harus merepotkan menantunya.

O, ya. Selain tidak enak hati, nenek Sri juga selalu khawatir jika dirinya tidak bisa membayar listrik. Sudah lebih dari setahun yang lalu, ia tidak berani menyalakan teve, lampunya pun yang di nyalakan cuma satu. Dari ke tiga lampu yang ia pasang, semuanya di pilih yang berdaya lima watt-an saja. Padahal setiap malam nenek Sri harus lembur membungkus kerupuk daganganya sebelum esoknya ia setorkan ke warung bakso tetangganya.

Ia harus benar-benar menghemat listrik, meski setiap bulan uang hasil jualan kerupuknya hanya pas untuk membayar listrik. Ia masih ingat betul saat suaminya dulu terpeleset di kamar mandi yang tidak ada lampunya. Ia berteriak-terik memanggil anak gadisnya "lina tolong lihat bapakmu itu nduk" jeritnya subuh itu. Air matanya mengembang di retina saat ia mengingat kejadian itu, bahkan suaminya belum sempat memberi pesan satu katapun.

Untung saja, tetangga-tetangga nenek Sri mengerti dengan keadaannya. Mereka perihatin melihat keadaan nenek Sri. "Masalah pembayaran listrik kalau belum ada biar Rohmat bayarin dulu nek, dari pada telat kena denda," Ujar penjual pulsa itu saat memberikan struk pembayaran listrik kepada nenek Sri.

Nenek Sri manggut-manggut, hanya bisa bilang terimakasih pada Rohmat. Bagaimanapun juga, selama ini Rohmat yang mau membayar listriknya, meski di awal bulan selanjutnya, nenek Sri harus membagi penghasilan kerupuknya dan membayar tagihan listrik bulan lalu pada Rohmat.

Kini nenek Sri semakin tidak bisa berbuat apa-apa setelah tagihan listriknya naik dua kali lipat. Selama tiga bulan terakhir, ia tidak enak hati pada Rohmat.  Bulan kemarin saat Rohmat memberikan struknya, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, anak muda itu menunjukkan angka Rp.50.000,- yang di cetak tebal pada nenek Sri, sepertinya Rohmat takut kalau-kalau nenek Sri mengira dia korupsi. Lalu bulan ini, tingkah Rohmat semakin aneh, "bulan ini seratus ribu nek," kata rohmat sambil celingukan, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Nenek Sri terkekeh, ia mencoba menerawang struk listriknya, tulisanya  terlihat bagai semut yang merayap-rayap di kertas. "Kenapa kok listrik sekarang mahal Mat?"

"Katanya subsidi di cabut nek,"

"Apa itu subsidi  Mat?"

"Maksutnya subsidi itu potongan pembayaran dari pemerintah nek. Di cabut. Dananya untuk bayari rakyat mis..." Rohmat tidak melanjutkan penjelasannya, namun dalam hati ia meletupkan kata favoritnya, Diancuk! Dan karena sudah kepalang basah, untungnya anak muda itu pandai nge les. Lalu dilanjutkan penjelasanya, "dananya untuk bayari rakyat yang bisanya Cuma minta-minta nek".

Nenek Sri manggut-manggut mencoba mengerti. Meskipun sejatinya ia tak faham yang dijelaskan Rohmat. Yang ia tahu, tagihan listriknya sekarang sudah naik lebih dua kali lipat. Yang ia tahu, ia harus membuat kerupuk lebih banyak agar bisa menyicil tagihan listrik ke Rohmat, ia juga harus melembur membungkusi kerupuknya lebih larut, karena siangnya digunakan untuk menjemur kerupuk-kerupuk itu lalu menyetorkannya.

MENTARI semakin meninggi, berayun anggun melewati kepala nenek Sri yang menjemur kerupuk,  saat cahayanya mulai condong ke timur, nenek Sri mengentas jemuran kerupuknya di halaman rumah.

Gemretak laju motor meraung-raung dari kejauhan. Nenek Sri mendongak, "ada apa lagi pak Imam kemari?" Gumamnya dalam hati.

"Ada gotong royong lagi pak RT?" Tanya nenek Sri menyapa. Bersalaman.

"Mau ngajak demo nek", Suara pak RT nyaring tak bernada, tanganya menjulurkan selembar kertas pada nenek Sri. Perempuan itu terkekeh, menerima lembaran kertas. Menerawang.

"Ini demo gimana to pak RT, aku ini di suruh bagaimana?"

"Nanti bulan tiga kita semua ke PLN nek, minta di turunin tagihan listriknya". Ujar lelaki tinggi kurus itu, tangannya menunjuk-nunjuk tulisan undangan pada selembar kertas itu.

"Biyuh-biyuh, nenekmu juga kamu ajak demo begituan to Mam?"

"Harus ikut nek, biar rame-rame nanti kita kesana. Bareng-bareng warga yang lain." Pungkas pak RT.

Tubuh RT Imam segera melesat, hilang tertutup pepohonan dan rumah-rumah warga desa, hanya suara Yamaha TuJi-nya yang masih meraung-raung terdengar di telinga nenek Sri, perempuan itu masih mencoba menerawang kembali selembar kertas dari pak Imam. Ia semakin tidak mengerti, demo, listrik naik. Yang ia tahu hanyalah kerupuknya harus dibuat lebih banyak.

SENJA kembali hadir bertamu di rumah nenek Sri, cahaya kekuningan berpendar menghiasi halaman rumah perempuan tua itu, menambah kemuraman dan sendu. Daun-daun berguguran di halaman, berserakan bersama sisa-sisa alas penjemuran kerupuk, sebentar lagi malam datang.

Malam itu, kulihat nenek Sri duduk-duduk di ruang tengah rumahnya. Di mejanya ada sepiring nasi, kerupuk, dan segelas teh. Dengan lahap kulihat ia makan, menghabiskan sisa  kerupuk gorengnya di piring. Menyeduh tehnya. Nenek Sri hanya duduk-duduk termenung sendiri, ia juga tak menyalakan televise untuk sekedar mengusir sepi. Entah, hanya yang kulihat, tangannya menggenggam tasbih kecil, telunjuknya bermain memutarkan tasbih satu-satu. Hingga menjelang larut, ia masuk ke ruangan biliknya. Saat  itulah, aku sudah tak melihat gurat dahinya yang berkerut, tak bisa melihat tatapan matanya yang penuh asa, tangannya yang tipis bergelambir kerutan. Terakhir aku melihat nenek Sri dengan penuh hati-hati mencari tombol, menekan sakelar di ruang biliknya, penerang terakhir malam itu.

Gelap. Tak ada lagi cahaya redup di seluruh rumah itu. Aku pun termangu diam melihat rumah nenek Sri, bak bangunan kosong tak berpenghuni. Aku mendesah lirih. Kecewa. Aku berharap mempunyai kisah bahagia di akhir cerita nenek Sri yang suatu saat kuceritakan kepada anak-anakku. Gelapnya rumah tua itu, membuatku tak mampu melihat kebahagiaan nenek Sri lagi. Dengan mencobaa berbesar hati, ku berbalik membelakangi rumah itu, melangkah sejauh-jauhnya meninggalkan kenangan-kenangan tentang si penjual kerupuk. Rumah tua yang tak ada penerangana lagi.

Entahlah, semoga Tuhan memberinya penerangan abadi suatu masa nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun