Aku terus berlari sekencang-kencangnya. Suara dor,, tembakan peringatan tak mampu mengurangi tempo kecepatanku, malah semakin kencang. sekitar satu meter perlangkah, melebihi atlet pelari dunia. Nafasku semakin tersengal, kakiku sudah tak merasakan panasnya padang tandus kota Deera, dadaku berdegub kencang tak karuan. Bagaimana jika timah panas polisi itu mengenai salah satu bagian tubuhku? “ Lari! Lari! Lari!
Dor,, sontak aku terpelanting kedepan, menghantam tanah terjal lalu terdorong ke udara , terjun ke tanah dan terseret sekitar lima meter hingga berhenti menabrak batu besar , bar!!.... . “Berdiri! Angkat tangan”. Lima polisi bersenjata turun merengsak maju, bersiaga menodongkan laras panjang, berkaca mata hitang, helm, lengkap dengan baju anti peluru.
Aku terkapar dengan pelipis penuh darah, paha kiriku ngilu, sepertinya timah panas benar-benar menembus tulangku. Aku pasrah, membiarkan tangan ku diikat, lalu di bawa polisi .wiuw…wiuw…wiuw…
Sore ini, perjalanan baru telah ku mulai . Ini pertama kalinya aku menaiki mobil aparat keamanan negara, dijaga oleh polisi bersenjata lengkap, di bawa menuju balai kota Damaskus. Bukan, aku bukan tamu istimewa, aku juga bukan copet yang diamankan setelah hampir di keroyok massa. Tapi, aku dianggap membahayakan rezim yang berkuasa, Bashar Al-Assad.
“Siapa namamu dan dari keluarga mana kamu?” Mukhabarot berbadan besar, duduk tegap di depanku, menyalakan cerutu, memulai interogasi. beberapa prajurit berdiri menjaga ruangan berselempang laras panjang tipe Ak-47 di punggung . “Namaku Mohammed Bouazizi, aku seorang Alawite (Syiah) dari keluarga Ayyubiyah” jawabku gemetar.
“ Wahai Muhammed, kau sekarang telah berhadapan dengan kepala Mukhabarot tertinggi dari Damaskus, Assef Bouazizi”. Sebagai Seorang kepala Intelejen negara, aku terkenal tidak pandang bulu, meluruskan keadilan menggunakan hukum islam di negara kita, siapapun kamu meski masih anak-anak, dan meskipun kita sama-sama dari keluarga Ayyubiyah, kau akan ku pancung jika terbukti menentang”.
“ Wahai Mohammed? Siapa yang menyuruh kalian mencoret-coret dinding sekolah dengan tulisan politik pro oposisi itu?” Aku semakin gemetar, aku juga tidak tahu, untuk alasan apa aku mencoret-coret dinding sekolahku.
“Jawab, jangan diam saja!” Mukhabarot itu menggedor meja di depanku, lalu melayangkan tinjunya tepat di mulutku, sontak darah mengalir. “A,,A, Aku hanya ikut-ikutan”.
Brak,, “Ikut-ikutan?” Kali ini tangannya mencengkram ganas mukaku, tak menghiraukan darah yang mengotori tangan berototnya.”aaaaaaa!!!!!” Aku berteriak kesakitan , cerutunya di sundut-sundut di mukaku.
“Tahu apa kalian dengan revolusi, ha! Pemberontak seperti kalian tidak ada pemakluman,” Muka mukhabarot itu semakin memerah padam, sambil menoleh pada para prajurit, dia bertanya “Demi Allah, kalian tahu hukuman apa yang pantas bagi para penentang presiden Bashar Al-Assad?”
“Pancung”. Prajurit lain menyahut mantap.
Lemas sudah seluruh jiwa ragaku mendengar jawaban itu. Kakiku yang awalnya terluka, ditambah kepalaku berdarah, mungkinkah ini luka terakhir, luka hati karena ketidaksiapanku meninggalkan dunia yang baru aku nikmati sepuluh tahun. “Allah, siapakah yang mau menolongku? Siapa yang mau menjadi penyelamat hidupku?”
Pandanganku semakin melayu, aku melihat seragam para prajurit berwarna merah. Ruangan ini menjadi merah, kulhat sekeliling, teman-teman sekolah ku, Ali Manaf, Khadafy, Abdulhamid, Al-Basyir, dan yang lain juga merah, teman-temanku tertidur di pojok ruangan ini dengan balutan selimut merah. Aku semakin tak mengerti, aku pun keluar, melihat kota damaskus menjadi merah. Aku melangkah,melihat kota Aleppo menjadi merah , Deera, Arab, Asia,Eropa,Afrika,Dunia, semua merah. Kini yang ku lihat, darahku menggenangi setiap sudut kota, mereka memajang foto ku besar-besar, berbaris, turun kejalan, memanggil namaku ” Mohammed Bouazizi- Mohammed Bouazizi- Mohammed Bouazizi”.
Kini, aku merasa bebas. Aku bisa pergi kemanapun ku suka, aku bisa melihat dengan jelas, anak-anak senasib denganku,ada yang dijalan, di pengungsian, dibalik puing-puing reruntuhan perang. Aku bebas, tapi aku tidak bahagia. Aku gelisah, aku ketakutan,sepi nan sendiri disini, ketakutan melihat genangan darahku yang tak kunjung berhenti mengalir menggenangi setiap sudut kota. Merembes ke setiap sudut reruntuhan gedung sekolah, membuat histeris siapapun melihatnya,berteriak-teriak“Allohuakbar! Muhammed Bouazizi! “.Orang dewasa terus berteriak “Allah, Suriah, Bebas-Sudah cukup dan “Damai, Damai”.
(***)
Pada tanggal 16 maret 2011, pergolakan mulai pecah di Siria. Liga arab dan PBB mengecam pemerintah Siria yang berkuasa. Rakyat memprotes kekejaman militer pemerintah yang telah membunuh lima belas anak sekolah yang masih berumur 10-15 tahun. Mereka menemukan mayat anak-anak itu dengan tubuh penuh luka, kulitnya terkelupas, kuku dicabuti dan muka penuh sundut rokok.
Mereka geram, karena anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang tulisannya sendiri harus mengalami penyiksaan-penyiksaan.Lima belas bocah tersebut menulis; As-shaab/Yoreed/Eskaat el nizam!- (Rakyat/Ingin/Menumbanagkan Rezim) di dinding sekolah.Mereka mencontoh slogan revolusi itu dari televisi yang sering diserukan rakyat Tunisia, Mesir dan juga Libya.
Adalah Assef Bouazizi,seorang kepala Mukhabarot yang bertanggungjawab atas penembakan dan pembunuhan demonstran yang diberi nama “Day of Rage” di Deera, mencium gelagat revolusi rakyat yang semakin gencar, kelompok oposisi mulai bergabung memerangi rezim dan berusaha menggulingkan presiden Bashar Al-Assad. Situasi tersebut di rasakan Assef.
Mengetahui bahwa dirinya berada pada posisi yang tidak menguntungkan,Assef secara pribadi berniat melarikan diri dari Damaskus yang semakin bergejolak. Saat Assef berfikir keras, tiba-tiba dirinya teringat sebuah tempat persembunyian yang dirasa aman bagi dirinya. Tempat yang telah ditinggalkannya selama sebelas tahun lalu. Assef teringat pada keluarga kecilnya,dan sekarang semakin yakin, tempat yang akan memberikan perlindungan.
Di pertengahan malam,dengan mengendap-endap,Assef keluar dari istana presiden menuju pusat kota Damaskus, perjalanan malam itu terasa lama dan bagai berjalan di neraka bagi Assef,karena dia harus menghindari patroli polisi pemerintah disetiap sudut kota.
Perjalanan 24 jam tanpa hambatan. Kini Assef berdiri tegak di depan sebuah rumah. Berserakan puing-puing rumah bekas peperangan, hampir ia tak mengenalinya setelah sekian lama ia tinggalkan demi tugas yang diemban. Tangannya mulai ragu mengetuk pintu, kini dia ragu, Menobia, istri yang ditinggalkannya akan menerimannya kembali.
“Assef?” “Menobia!” Dua mata saling tertahan tatap pagi itu, air mata menetes menggenangi pipi masing-masing.
“Adakah yang membuatmu tidak menerima aku lagi Menobia?” Assef, dengan tubuh besarnya, baru pertama kalinya menguraikan air mata bahagia, sejenak ia lupa dengan pergolakan perang dan bahaya bagi dirinya, lupa bahwa saat ini dia menyandang status pembelot bagi pemerintah berkuasa.
Menobia menggeleng, mulai menangis, isakan tangisnya semakin menjadi-jadi, meraung-raung dan mencakari wajahnya. “ Aku bahagia kau kembali, tapi tidak dengan anak laki-laki kita yang ikut menjadi korban perang”. “ Apakah maksut kata yang kau ucapkan itu, wahai istriku?” Assef tertegun, kini dia teringat kembali , saat ia berpamitan bertugas ke ibu kota, saat terakhir ia mencium perut istrinya yang mulai buncit.
“Anak ku, Menobia? Jangan pernah sekalipun mengatakan bahwa anakku sudah meninggal oleh perang”. “Bahkan aku belum pernah sekalipun memeluknya menobia, siapa nama anak kita, yang dulu masih dalam Rahim mu ”.
Menobia bungkam, mencoba meredam tangisan, sambil terisak, lalu mulutnya terbuka pelan “ Muhammed Bouazizi”
(***)
Catatan : Mukhabarot adalah salah satu dinas atau intelijen keamanan, yang mengontrol, mengawasi penduduk dan bertugas mempertahankan rezin dari ancaman-ancaman yang muncul baik internal maupun eksternal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H