Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak-anak Pengobar Revolusi

2 Mei 2017   22:22 Diperbarui: 2 Mei 2017   23:03 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/en/forward-child-cry-soldiers-war-1799923/

Lemas sudah seluruh jiwa ragaku mendengar jawaban itu. Kakiku yang awalnya terluka, ditambah kepalaku berdarah, mungkinkah ini luka terakhir, luka hati karena ketidaksiapanku meninggalkan dunia yang baru aku nikmati sepuluh tahun. “Allah, siapakah yang mau menolongku? Siapa yang mau menjadi penyelamat hidupku?”

Pandanganku semakin melayu, aku melihat seragam para prajurit berwarna merah. Ruangan ini menjadi merah, kulhat sekeliling, teman-teman sekolah ku, Ali Manaf, Khadafy, Abdulhamid, Al-Basyir, dan yang lain juga merah, teman-temanku tertidur di pojok ruangan ini dengan balutan selimut merah. Aku semakin tak mengerti, aku pun keluar, melihat kota damaskus menjadi merah. Aku melangkah,melihat kota Aleppo menjadi merah , Deera, Arab, Asia,Eropa,Afrika,Dunia, semua merah. Kini yang ku lihat, darahku  menggenangi  setiap sudut kota, mereka  memajang foto ku besar-besar, berbaris, turun kejalan, memanggil namaku ” Mohammed Bouazizi- Mohammed Bouazizi- Mohammed Bouazizi”.

Kini, aku merasa bebas. Aku bisa pergi kemanapun ku suka, aku bisa melihat dengan jelas, anak-anak senasib denganku,ada yang dijalan, di pengungsian, dibalik puing-puing reruntuhan perang. Aku bebas, tapi aku tidak bahagia. Aku gelisah, aku ketakutan,sepi nan sendiri disini, ketakutan melihat  genangan darahku yang tak kunjung berhenti mengalir menggenangi setiap sudut kota. Merembes ke setiap sudut reruntuhan gedung sekolah, membuat histeris siapapun melihatnya,berteriak-teriak“Allohuakbar! Muhammed Bouazizi! “.Orang dewasa terus berteriak “Allah, Suriah, Bebas-Sudah cukup dan “Damai, Damai”.

(***)

Pada tanggal 16 maret 2011, pergolakan mulai pecah di Siria. Liga arab dan PBB mengecam pemerintah Siria yang berkuasa. Rakyat memprotes kekejaman militer pemerintah yang telah membunuh lima belas anak sekolah yang masih berumur 10-15 tahun. Mereka menemukan mayat anak-anak itu dengan tubuh penuh luka, kulitnya terkelupas, kuku dicabuti dan muka penuh sundut rokok. 

Mereka geram, karena anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang tulisannya sendiri harus mengalami penyiksaan-penyiksaan.Lima belas bocah tersebut menulis; As-shaab/Yoreed/Eskaat el nizam!- (Rakyat/Ingin/Menumbanagkan Rezim) di dinding sekolah.Mereka mencontoh slogan revolusi itu dari televisi yang sering diserukan rakyat Tunisia, Mesir dan juga Libya.

Adalah Assef Bouazizi,seorang kepala Mukhabarot yang bertanggungjawab atas penembakan dan pembunuhan demonstran yang diberi nama “Day of Rage” di Deera, mencium gelagat revolusi rakyat yang semakin gencar, kelompok oposisi mulai bergabung memerangi rezim dan berusaha menggulingkan presiden Bashar Al-Assad. Situasi tersebut di rasakan Assef.

Mengetahui bahwa dirinya berada pada posisi yang tidak  menguntungkan,Assef secara pribadi berniat melarikan diri dari Damaskus yang semakin bergejolak. Saat Assef berfikir keras, tiba-tiba dirinya teringat sebuah tempat persembunyian yang dirasa aman bagi dirinya. Tempat yang telah ditinggalkannya selama sebelas tahun lalu. Assef teringat pada keluarga kecilnya,dan sekarang semakin yakin, tempat yang akan memberikan perlindungan.

Di pertengahan malam,dengan mengendap-endap,Assef keluar dari istana presiden menuju pusat kota Damaskus, perjalanan malam itu terasa lama dan bagai berjalan di neraka bagi Assef,karena dia harus menghindari  patroli polisi pemerintah disetiap sudut kota.

Perjalanan 24 jam tanpa  hambatan. Kini Assef berdiri tegak di depan sebuah rumah. Berserakan puing-puing rumah bekas peperangan, hampir ia tak mengenalinya setelah sekian lama ia tinggalkan demi tugas yang diemban. Tangannya mulai ragu mengetuk pintu, kini dia ragu, Menobia, istri yang ditinggalkannya akan menerimannya kembali.

“Assef?” “Menobia!” Dua mata saling tertahan tatap pagi itu, air mata menetes menggenangi pipi masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun