1
Ketika fajar ingin berlalu, rumah Polisi Ibas di ketuk oleh Mbok Minah. Polisi Ibas yang masih duduk di atas sajadah berjikir sejak selesai salat subuh tadi, menghentikan gerak tangannya yang menggeser biji tasbih. Ia berjalan menuju pintu dan mendapati Mbok Minah berwajah panik dengan derai air mata.
Tak ada salam dari Mbok Minah, apalagi kesempatan buat Polisi Ibas bertanya. Mbok Minah sudah duluan nyerocos panik. “Anak saya, Mustafa dibunuh orang...” Mulutnya macam tersekat ketika ingin melanjutkan kata-katanya.
“Siapa yang bunuh?” tanya Polisi Ibas dengan tenang.
“Saya tidak tahu. Seseorang menggorok lehernya.”
Mengikuti langkah Mbok Minah yang tergesa-gesa, Polisi Ibas berkali-kali berlari kecil untuk mengimbangi. Ketika mereka mencapai kamar Mustafa, terlihat Mustafa terkapar dengan mata terbelalak, kaki dan tangan terentang lunglai, dibagian lehernya terlihat luka besar menganga berhias darah yang merembes hingga ke lantai.
“Astagfirulah! Inalilah wainalilah hirojiun.” Saru Polisi Ibas seakan tidak percaya.
~~~
Tiap pagi dan sore Pak Jaki rajin sekali mengganti air minum buat ayam peliharaannya. Sekaligus juga memberi bama untuk makanan ayam. Ayam-ayam itu sintal-sintal, besar, dan sehat-sehat.
Pak Jaki sudah lama memelihara ayam, sejak Bujang, anak pertamanya lahir, ia sudah berternak ayam. Dibelakang rumahnya penuh dengan kandang ayam, begitu juga dengan taik ayam beserta aroma lencong-nya yang menjijikkan.
Dua hari yang lalu ayam kesayangannya hilang. Ayam jago yang sering kali dibawanya untuk sabung ayam. Karena sayangnya dengan ayam tadi, ayam jago tadi diberinya nama Samson. Sesuai dengan namanya, Samson memang ayam yang sangat unggul, jarang sekali ia kalah, bahkan acap kali ikut dalam sabung ayam, lawan-lawannya pasti ketakutan.
Namun rekor kemenangan Samson itu harus usai, sebab ia harus raib entah kemana. Saban senja Pak Jaki menunggu Samson kembali, namun hingga hari ini Samson tidak pernah terlihat lagi. Mungkin sudah mati dan busuk disuatu tempat, atau diperut seseorang yang menangkapnya lalu menyembelihnya untuk dijadikan ayam panggang.
Pak Jaki selalu menaruh curiga dengan Mustafa, sebab tiap sabung ayam, Mustafa selalu bilang kalau kehadiran Samson membuat sabung ayam jadi tidak seru lagi. Kecuali Samson disembelih buat acara selamatan, atau mati terserang penyakit.
Tapi Pak Jaki tidak bisa menuduh tanpa bukti, dan bungki itu memang tidak pernah ada.
~~~
Bujang yang baru memasuki tahun pertamanya di SMA, harus berjalan kurang lebih 2 kilometer dari rumahnya menuju sekolah, demikian juga saat pulang. Dan hari itu ia terpaksa mengambil jalan pintas di tengah sawah orang, melewati hutan berhantu yang selalu dihindarinya. Sebab hari itu ia baru saja mengantarkan pacar barunya yang ada di kampung sebelah.
Terlambat pulang hanya akan membuat bapaknya marah dan berlaku kasar padanya, sebab biasanya bapaknya akan menyuruh bermacam hal. Salah satunya adalah menemani bapaknya sabung ayam hingga sore hari. Tapi Bujang tahu hari itu ia tidak akan pergi ke sabung ayam sebab Samson sudah tak ada lagi.
Ibu Bujang, Nuraini dan adek perempuannya, Laila—baru kelas 5 SD—biasanya ada dipasar hingga sore. Menjaga toko sembako yang mereka rintis bersama adek Ibunya, Miliarni. Usaha itu dibuka dari uang warisan kakeknya yang tidak seberapa.
Sambil berjalan cukup cepat di dalam hutan, Bujang menyalakan rokok yang tadi dibelinya beberapa batang. Mengisapnya cepat dan mencoba menikmatinya. Ketika sudah dekat dengan batas hutan dan lapangan bola tempat Pak Jahro berternak sapi, rokok tadi dimatikannya lalu sisanya yang separuh dimasukkan lagi ke dalam tas.
Ia mampir sebentar ke sumur yang ada di dekat kandang seberang lapangan bola, untuk berkumur agar aroma asap rokok dimulutnya tidak terendus oleh Bapaknya.
Kaget Bujang saat berpaling untuk melanjutkan langkah. Mustafa muncul macam orang gaib. “Hey, jangkrik bau. Minum di sini bayar!” Suaranya kasar dan mengancam.
“Bayar apanya, Bang?”
“Bayar!” telapak tangannya meminta uang.
“Inikan sumurnya Pak Jahro, Bang?” Bujang coba mengelak.
“Banyak bacot.” Ia maju beberapa langkah dan mengendus bau asap rokok dari seragam Bujang. “Sompret nih bocah, kamu merokok ya.” Matanya melotot. “Bayar, atau aku kasih tahu Bapakmu, biar ia pukulin kamu. Ia kan lagi kesal karena saudara ayammu, si Samson hilang.”
“Tapi saya enggak punya duit, Bang.”
“Ah, bohong kamu.” Ditariknya tas Bujang hingga bocah itu terhuyung dan tersandar di pinggir sumur. Diperiksanya isi tas tadi dan ditemukannya selembar uang lima puluh ribu rupiah serta beberapa recehan seribu rupiah. “Banyak sekali duitmu. Kamu habis mencuri ya?” dilemparnya tas tadi kembali ke Bujang.
Tanpa menjawab, Bujang langsung berlari memeluk tasnya. Untunglah si bangsat itu enggak nemuin rokokku. Pikirnya, walau hatinya kesal sebab uangnya ludas diambil semua.
Sesampai di rumah, bapaknya ternyata tertidur di tengah rumah, mendengkur bagaikan seekor babi. Ia tidak membangunkan bapaknya dan memberitahu tentang pemalakan yang dilakukan oleh Mustafa padanya, sebab jelas sekali uang yang dipalak Mustafa adalah uang bapaknya yang dicurinya tadi malam selepas salat isya di surau.
~~~
Senyum pura-pura di wajah Miliarni itu sangat terlihat jelas. Orang bodoh sekali pun tahu bahwa senyum itu hanyalah rekayasa belaka. Senyum seperti itu akan mencuat pabila Polisi Ibas berjumpa dengannya.
Dulu semasa SMA, Ibas—sebelum menjadi Polisi—jatuh cinta kepada Miliarni. Mereka adalah teman dekat yang kemana-mana selalu berdua. Jarang sekali ada persahabatan yang bisa bertahan ketika salah satu dari mereka jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Cinta sebelah hati. Cinta yang membuat persahabatan mereka terasa tak pernah sama lagi, tak lagi terasa tulus, selalu ada perasangka dibalik semua kebaikan yang dilakukan.
Jalan mereka yang awalnya bergandengan, kini malah berubah berlainan arah, jauh, dan semakin menjauh. Apalagi ketika Miliarni jatuh cinta kepada seorang lelaki bajingan yang terkenal nakal sejak masih SMA. Lelaki itu adalah Mustafa. Cinta pertama dan mungkin terakhir bagi Miliarni.
Berkali-kali Ibas mengingatkan dan memberikan gambaran kepada Miliarni tentang Mustafa. Seperti yang tadi sudah dijelaskan, bahwa perasaan yang tersemat di hati Ibas, menjadi sebuah alasan bagi Miliarni, bahwa suara sumbang Ibas tentang Mustafa tidak lain hanyalah sebuah upaya untuk memisahkan mereka.
Yang ditakutkan oleh Ibas pun kejadian, Mustafa berselingkuh dari Miliarni, ia menghamili Rini anak semata wayang Pak Jahro. Patah hati mengoyak perih di hati Miliarni, tangis menjadi hujan, harapan runtuh bagaikan jurang yang perlahan dikikis gelombang. Berlubang, sakit, dan ambruk tanpa bisa diselamatkan.
Sejak kejadian itu Miliarni tidak pernah punya kekasih, banyak laki-laki di kampung yang suka dengan wajah rupawannya, bahkan pemuda kota yang kebetulan datang ke desa tak pernah bisa meluluhkan hatinya. Mungkin cinta mencipta terauma baginya, atau bias-bias cintanya pada Mustafa tidak pernah lekang dimakan waktu.
Hingga suatu ketika, pernah terbesit di pikirnya untuk membunuh perasaan itu, mungkin membunuh pemilik perasaan itu atau membunuh seseorang yang sudah menciptakan perasaan itu. Dan saban kali melihat Mustafa berlalu di hadapannya, luka itu selalu berhasil membuat matanya berkaca-kaca menahan perih.
~~~
Tandas sudah kopi hitam di dalam cangkir, masam wajah Pak Jahro tak bisa disembunyikan, meski tamunya seorang perempuan tua tak berdaya. Tetap saja amarah yang membuncah di hati tak mampu dibendung. Cahaya lampu 5 watt mencipta bayangan gelap di dinding kayu. Gadis muda yang duduk disamping Pak Jahro, berhadapan dengan Mustafa, sama tunduk seperti Mak Minah.
“Punya duit berapa untuk acara nikahan?” Suara Pak Jahro membuat serangga di luar rumah menahan napas.
“Kami tidak punya duit.” Jawab Mak Minah jujur tanpa berani menatap wajah Pak Jahro.
Embusan napas panjang meluncur dari dua lubang hidung Pak Jahro. Keluhan bercampur amarah sudah bersarang di ujung lidahnya, tapi ketika mata di balik kaca mata tebalnya itu melihat ke arah Mak Minah, semua itu sirna bagai senja di telan malam. Masalalu sudah membuatnya gamang.
Belum sempat jauh langkah Mak Minah dan Mustafa meninggalkan pintu depan rumah Pak Jahro malam itu, ledakan amarah berbentuk sumpah serapah terdengar menggelegar hingga ke telinga mereka.
Bu Ida, istri Pak Jahro yang menyusun cangkir bekas minum tamu mereka ke dalam nampan, hanya bisa diam tanpa berani menatap wajah suaminya. Rini menangis, menyerap setiap kemarahan Pak Jahro yang meledak-ledak bagai petasan di bulan ramadan. Seumur hidup tak pernah Pak Jahro marah sedemikian mantapnya kepada anaknya, apalagi sampai memukul dan berkata menyesal sudah memiliki anak macam Rini. Malam itu semua perasaan malu, marah, dan tak berdaya, ditumpahkannya hingga tengah malam berlalu. Anjing-anjing liar melolong mencipta ngeri.
~~~
Siang itu, hujan turun sangat lebat ketika sebuah mobil pikap yang berasal dari kota berhenti di depan rumah Mak Minah. Terpal jingga yang menutupi bagian belakang mobil, basah kuyup merembes hingga ke dalam. Pembersih kaca mobil bergerak ke kiri dan kanan, tak lama mesin mobil mati, seorang lelaki membuka pintu mobil sembari menjulurkan payung keluar dan membukanya. Ia berlari ke arah pintu rumah lalu mengetuknya beberapa kali.
Mak Minah kenal dengan lelaki itu. Itu adalah Marwan, teman dekat suaminya, Sulaiman. Mak Minah tidak pernah tahu apa pekerjaan suaminya dan Marwan, yang penting ketika pulang ke kampung suaminya itu membawa duit untuk hidup mereka.
Wajah lelah Marwan jelas menyiratkan sesuatu, hal itu membuat Mak Minah mengerutkan kening penuh pertanyaan. Marwan seakan enggan menyampaikan hal itu kepada Mak Minah. Ia bimbang hingga akhirnya terucap juga dari mulutnya.
“Botak mati dibunuh orang!” Kalimat itu singkat, padat yang tepat sasaran.
Mak Minah paham betul, siapa botak yang dimaksud Marwan. Jelas itu gelar untuk suaminya, gelar yang tak pernah diketahui oleh Mak Minah darimana asalnya.
“Aku membawa mayatnya untukmu di dalam pikap.” Tunjuk Marwan ke mobilnya.
Berlari Mak Minah ke arah mobil tanpa memedulikan hujan, tubuhnya basah dan perlahan mulai mengigil, ia berdiri di samping pikap, menyingkap sedikit terpal yang terikat tadi, dan mendapati mayat Sulaiman tak berkepala di dalam sana. Ia kenal tubuh itu, ia kenal pakaian yang dikenakan mayat itu, begitu juga dengan tatto yang ada di lengan bagian kanannya. Jelas itu mayat Sulaiman, suaminya.
Mak Minah tak kuasa menghadapi kenyataan itu, ia ambruk di atas lumpur sebelum sempat disambut Marwan yang berlari ke arahnya.
~~~
Sejak mayat Sulaiman datang, hingga dikuburkan di tanah pemakaman yang ada di ujung kampung. Mustafa tidak terlihat sedih, wajahnya biasa saja, walau tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Di dalam hati ia memang tidak bersedih, ia hanya semakin marah ketika mengingat banyak hal tentang bapaknya itu. Dulu ketika ia belum berani melawan, bapaknya sering kali memukulinya, salah sedikit main pukul, hingga ia dewasa dan berani melawan mereka sering kali saling pukul, dan apabila sudah demikian Mustafa pasti babakbelur.
Kematian Sulaiman sedikit banyak sangat disukuri oleh Mustafa, sempat terucap walau hanya dalam hatinya saja. Akhirnya bisa mati juga, walau harus menunggu cukup lama. Namun ketika ia melihat Ibunya, ia jadi gundah gulana. Siapa yang akan menafkahi kehidupan mereka jika bapaknya tak ada. Berharap pada dirinya jelas itu mustahil, sebab ia pengangguran.
Ketika bapaknya di makamkan, Mustafa tidak hadir di pemakaman, ia malah mabuk-mabukan bersama dua orang sahabatnya Herdi dan Aleng. Mereka mabuk minuman oplosan, obat batuk dicampur alkohol yang mereka beli di toko Om Johan.
Jelas Mak Minah murka luar biasa pada anaknya, dalam hati ia menyumpah, yang terlihat ia menangis berhari-hari.
~~~
Saat Ustat Haidir azan di surau untuk salat ashar, Herdi pura-pura kencing di wc surau, sedangkan Aleng berdiri di bawah pohon pisang seberang surau, mengawasi keadaan. Hingga suara Ustat Haidir memulai salat dengan mengucap takbir pertama, barulah Herdi keluar dari wc. Aleng berjalan ke dekat tangga surau, mengawasi sekitar sedang Herdi berjongkok di samping pintu surau yang menganga lebar. Kotak celengan yang terbuat dari kayu itulah incaran mereka.
Kotak celengan itu tidak bergembok, tutup atasnya bisa digeser dengan mudah. Herdi meraup uang dua ribuan yang memenuhi kotak celengan tadi, memasukkannya ke dalam kantong celana lalu menepuk pundak Aleng pertanda mereka harus segera pergi.
“Kau ambil semua uangnya?” Tanya Aleng ketika mereka sudah sampai ke pondok kecil dekat sungai tempat mereka sering nongkrong.
“Enggak, pasti aku sisakan.”
“Bagus.”
Sejak mereka sering mencuri uang dari kotak celengan surau itu, Aleng selalu memberi tahu Herdi untuk selalu menyisakan uang dalam kotak celengan tadi, paling tidak separuhnya. Agar Ustat Haidir tidak pernah curiga bahwa uang itu mereka curi.
Mustafa yang tadinya berbaring di atas pondok, bangun dan menatap ke arah dua sahabatnya tadi. “Dapat duitnya?”
Kedua sahabatnya itu mengacungkan jempol puas.
Setelah mereka menghitung uang yang mereka dapatkan, maka giliran Mustafa yang pergi ke toko Om Johan untuk membeli paket racikan oplosan yang sengaja di jual oleh Om Johan dengan harga sepesial.
Sebenarnya baik Herdi mau pun Aleng selalu tahu bahwa Mustafa pasti mendapatkan potongan harga dari Om Johan karena Mustafa sudah menjadi pelanggan tetapnya. Namun tak pernah Mustafa membagi kembalian uang tadi kepada dua sahabatnya itu, jika salah satu dari sahabatnya tadi sampai menanyakan sisa uang, maka bisa-bisa adu jotos menjadi pilihan pertama yang ingin mereka hindari.
Oleh sebab itu baik Herdi atau Aleng, mereka sering kesal pada Mustafa, walau pada akhirnya tetap saja mereka mabuk bersama-sama sampai teler.
~~~
Om Johan sangat bersyukur ketika mendengar kabar tentang hilangnya Samson—ayamnya Pak Jaki. Kegirangan sampai meloncat-loncat macam orang gila. Ia tidak terlalu suka dengan Pak Jaki. Sebab orangnya suka membual, apalagi tentang sabung ayam.
Sejak dulu ketika mereka masih SD, ketidaksukaan itu memang sudah ada, karena Pak Jaki dan teman-temannya sering kali mengata-ngatai Om Johan bencong selebor. Sebab masa itu teman-teman Om Johan hampir semuanya perempuan.
Ketika Om Johan pada akhirnya menikah, Pak Jaki sering juga menjadikan hal itu sebagai lelucon pada teman-temannya saat sabung ayam. Ia sering bilang kalau burungnya Om Johan tidak bisa hidup meski istrinya melakukan berbagai hal yang merangsang, itu juga yang katanya menyebabkan Om Johan tidak punya keturunan.
Mustafa yang tahu ketidaksukaan Om Johan pada Pak Jaki, memanfaatkan hal itu. Apabila ia membeli minuman oplosan, ia akan memberikan beberapa info tentang hilangnya Samson, terkadang ceritanya jadi berlebihan. Yang penting, Om Johan senang lalu memberikan potongan harga untuk minuman oplosan yang dibelinya.
~~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H