Berkali-kali Ibas mengingatkan dan memberikan gambaran kepada Miliarni tentang Mustafa. Seperti yang tadi sudah dijelaskan, bahwa perasaan yang tersemat di hati Ibas, menjadi sebuah alasan bagi Miliarni, bahwa suara sumbang Ibas tentang Mustafa tidak lain hanyalah sebuah upaya untuk memisahkan mereka.
Yang ditakutkan oleh Ibas pun kejadian, Mustafa berselingkuh dari Miliarni, ia menghamili Rini anak semata wayang Pak Jahro. Patah hati mengoyak perih di hati Miliarni, tangis menjadi hujan, harapan runtuh bagaikan jurang yang perlahan dikikis gelombang. Berlubang, sakit, dan ambruk tanpa bisa diselamatkan.
Sejak kejadian itu Miliarni tidak pernah punya kekasih, banyak laki-laki di kampung yang suka dengan wajah rupawannya, bahkan pemuda kota yang kebetulan datang ke desa tak pernah bisa meluluhkan hatinya. Mungkin cinta mencipta terauma baginya, atau bias-bias cintanya pada Mustafa tidak pernah lekang dimakan waktu.
Hingga suatu ketika, pernah terbesit di pikirnya untuk membunuh perasaan itu, mungkin membunuh pemilik perasaan itu atau membunuh seseorang yang sudah menciptakan perasaan itu. Dan saban kali melihat Mustafa berlalu di hadapannya, luka itu selalu berhasil membuat matanya berkaca-kaca menahan perih.
~~~
Tandas sudah kopi hitam di dalam cangkir, masam wajah Pak Jahro tak bisa disembunyikan, meski tamunya seorang perempuan tua tak berdaya. Tetap saja amarah yang membuncah di hati tak mampu dibendung. Cahaya lampu 5 watt mencipta bayangan gelap di dinding kayu. Gadis muda yang duduk disamping Pak Jahro, berhadapan dengan Mustafa, sama tunduk seperti Mak Minah.
“Punya duit berapa untuk acara nikahan?” Suara Pak Jahro membuat serangga di luar rumah menahan napas.
“Kami tidak punya duit.” Jawab Mak Minah jujur tanpa berani menatap wajah Pak Jahro.
Embusan napas panjang meluncur dari dua lubang hidung Pak Jahro. Keluhan bercampur amarah sudah bersarang di ujung lidahnya, tapi ketika mata di balik kaca mata tebalnya itu melihat ke arah Mak Minah, semua itu sirna bagai senja di telan malam. Masalalu sudah membuatnya gamang.
Belum sempat jauh langkah Mak Minah dan Mustafa meninggalkan pintu depan rumah Pak Jahro malam itu, ledakan amarah berbentuk sumpah serapah terdengar menggelegar hingga ke telinga mereka.
Bu Ida, istri Pak Jahro yang menyusun cangkir bekas minum tamu mereka ke dalam nampan, hanya bisa diam tanpa berani menatap wajah suaminya. Rini menangis, menyerap setiap kemarahan Pak Jahro yang meledak-ledak bagai petasan di bulan ramadan. Seumur hidup tak pernah Pak Jahro marah sedemikian mantapnya kepada anaknya, apalagi sampai memukul dan berkata menyesal sudah memiliki anak macam Rini. Malam itu semua perasaan malu, marah, dan tak berdaya, ditumpahkannya hingga tengah malam berlalu. Anjing-anjing liar melolong mencipta ngeri.