“Nak Denny mengingatkan saya pada anak laki-laki saya yang sudah lama meninggal. Saya kangen sekali. Kehadiran nak Denny di sini membuat saya senang.”, ucap istri kakek Soewardji sembari menitikkan air matanya. Beliau betul-betul merasa kehilangan anaknya.
Kemudian, istri kakek Soewardji membelai lembut kepalaku. Entah kenapa, aku merasakan suatu perasaan hangat yang mengalir ke seluruh tubuhku. Aku tersenyum haru. Sudah lama aku tidak merasakan hal semacam ini. Perasaan yang telah lama hilang itu seakan kembali berlabuh di hatiku.
“Pastinya nak Denny lelah sedari tadi. Istirahat dulu saja di sini.”, kata kakek Soewardji.
“Terima kasih kek. Saya mengerti.”, balasku sembari tersenyum.
Saat masuk ke dalam rumah, aura nostalgia makin terasa. Kulihat sebuah televisi dan telepon kuno yang terletak di atas meja kecil di ruang tengah. Foto-foto hitam putih semasa era perjuangan dulu terpajang rapi di dinding. Dan kulihat cello milik kakek Soewardji tersimpan di sebuah lemari tua. Di sampingnya terdapat beberapa piringan hitam, partitur, lencana dan juga tanda penghargaan sebagai pahlawan pejuang kemerdekaan. Meski umur barang-barang tersebut jauh melampaui umurku, semuanya masih terawat dengan baik. Aku terkesima melihatnya.
Tak lama, deras hujan mulai turun. Suasana begitu damai. Aku terlelap karena kelelahan. Setengah jam kemudian, aku terbangun begitu mendengar bunyi telepon dari ponselku. Rupanya kakakku yang menelepon.
“Denny, di mana kamu?! Kamu nggak apa-apa?! Kakak lagi di rumah nih! Jangan bilang kalau kamu diam-diam lagi pacaran! Memang kamu nggak kangen sama kakak?”
“Tenang. Aku nggak apa-apa. Sekarang aku lagi di rumah seorang veteran di Gang Sirih. Namanya kakek Soewardji. Beliau tinggal berdua sama istrinya. Mereka baik dan ramah. Barangkali kakak ingin bertemu dengan mereka juga? ”, jawabku.
“Tentu saja. Baiklah, kakak segera ke sana. Yakin kamu nggak apa-apa?”, balasnya.
“Iya. Sudahlah kapten, jangan khawatir!”, jawabku dengan penuh semangat.
“Hmm, kamu nggak seperti biasanya... Ada yang berbeda dengan kamu. Kepalamu terbentur ya?”, kakakku sepertinya merasa keheranan.