“Sebentar lagi sampai.”, kata kakek Soewardji.
“Apa kakek tinggal sendirian di rumah?”, tanyaku.
“Tidak, masih ada istri saya yang menemani. Anak-anak saya telah lama pergi meninggalkan dunia ini. Saat itu, para serdadu Belanda menerobos masuk rumah kami. Anak-anak ketakutan, mereka pun berlarian ke luar. Namun malang, sebuah bom granat tepat mengenai mereka di depan sebuah mobil. Mereka tewas seketika. Istri saya selamat karena sedang tidak berada di rumah saat itu. Saya sendiri tertangkap oleh para serdadu Belanda. Mobilnya sendiri masih ada di depan rumah saya sampai sekarang, sebagai saksi bisu kejadian kala itu. Istri saya sangat trauma. Dan saya sangat marah. Tetapi, akhirnya kami pun ikhlas merelakan kepergian mereka.”, jawab kakek Soewardji.
“Saya mengerti...”, jawabku lirih.
Benarlah ketika tiba di depan rumah kakek Soewardji, aku melihat sebuah mobil tua rusak berat di depan rumahnya. Cat-catnya sudah terkelupas. Lampu sorotnya hancur. Badannya penyok-penyok tak karuan. Jendela kacanya pecah. Jok mobilnya pun sudah terkoyak-koyak. Aku ngeri ketika membayangkan anak-anak kakek Soewardji tewas terkena bom kala itu. Aku cepat-cepat mengalihkan pikiranku pada hal lain.
Rumah kakek Soewardji tergolong kuno dan sangat sederhana. Seperti bangunan bersejarah saja. Bergaya ala tempo dulu. Sebagian pagar besinya rusak dan keropos. Halamannya cukup luas, ditanami dengan bunga pukul empat serta tanaman hias seperti kuping gajah, paku sarang burung dan semanggi. Aura nostalgia segera terasa begitu sampai di teras rumah. Dindingnya yang berwarna hijau telah lapuk termakan usia. Lampu bohlam lima watt lengkap dengan tempatnya yang antik terpancar dengan terangnya. Bangku dan mejanya yang berwarna coklat pudar juga terlihat antik di mataku.
Kusandarkan sepeda onthel milik kakek Soewardji di samping teras rumah. Lalu kakek Soewardji menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu, Brandal kusuruh tunggu di teras rumah.
“Assalamu’alaikum. Bu, ada di dalam? Ini bapak. Tolong bukakan pintu.”, ucap kakek Soewardji mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan terdengar ucapan lirih namun ramah, “Wa’alaikum salam. Sudah pulang pak. Bagaimana jualannya?”
“Sepeda bapak rusak gara-gara ditendang orang. Kue-kuenya banyak yang hancur. Uang lima puluh ribu bapak juga dirampas. Sisanya cuma uang dua puluh ribu saja yang masih bapak kantongi. Oh iya, ini nak Angga. Kebetulan tadi bapak ditolong olehnya. Nak Deny ini orangnya baik. Dia juga bisa bermain cello seperti bapak.”, ucap kakek Soewardji.
“Tidak apa-apa pak. Ibu mengerti keadaaan bapak. Nak Denny, terima kasih ya. Maaf sudah merepotkan. Wah, kamu hebat bisa bermain cello juga.”, kata istri kakek Soewardji.
“Tidak apa-apa nek, justru sayalah yang ingin berterima kasih pada kakek dan nenek. Saya masih perlu belajar lagi dalam bermain cello.”, balasku sambil tersipu malu.