Mohon tunggu...
Lalu Muhamad Jaelani
Lalu Muhamad Jaelani Mohon Tunggu... -

Pemuda desa yang mengais rezeki di surabaya dan menimba ilmu di negeri naga kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bersabar, Kekuatan Tersembunyiku (3-habis)

12 April 2010   15:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit kelam, kelam menembus relung hatiku. Selalu saja terasa berat bertemu dengan yang namanya perpisahan ini, hari hari berjalan cepat, terasa cepat sekali.  Walau perpisahan adalah sunnatullah, walau ia telah diciptakan mendampingi Pertemuan. Walau semua orang tahu bahwa setiap pertemuan selalu dan pasti akan diikuti dengan perpisahan. Rasanya tetap berat, berat. Berpisah dengan keluarga di kotaraja, meninggalkan ayah, ibu dan nenek. Meninggalkan 3 orang yang telah menempa hidupku dan mengukirnya lukisan yang teramat indah.

Sosok ayah bagiku adalah sosok yang teramat aku cintai, itulah yang membuatku teramat berat untuk berpisah. Masih teringat diriku akan cerita cerita masa kecil yang selalu didongengkan menjelang tidurku. Ketika Ayah, berangkat mencari sesuap nasi di mataram. Satu sejarah ayah yang membekas dikepalaku adalah cerita tantang perjalannya mengantarkan kayu ke mataram. Waktu itu,  hanya ada beberapa kendaraan saja yang ada di desa kami, hanya ada beberapa saja manusia yang punya Televisi. Ayah berangkat bersama sama temannya untuk mengantarkan kayu ke mataram, dengan sebuah truk besar. Jalan jalan masih kecil dan tidak semulus sekarang, kiri kanan masih hutan. Sesampai di mataram, kayu diturunkan dan entah apa yang terjadi, ayah tertinggal sendiri di mataram. Truk yang dipakai menumpang sudah pulang duluan. Akhirnya ayah pulang  ke kotaraja dengan berjalan kaki, menempuh perjalanan sekitar 50 km. Alhamdulillah, beliau sampai juga ke rumah kami.


Ayah terima kasih nanda haturkan kepadamu
Yang telah mendidik dan membesarkanku bersama ibu
Ayah engkaulah guruku yang terbaik sepanjang usiaku
Yang telah membimbing masa kecilku meniti jalan Tuhanku

Allah s’moga Kau berkenan
Membalas s’gala kebaikannya
Menerimanya, dan meridhoinya
Di hadirat-Mu

[suara persaudaraan]

Sementara ibu, selain menjadi pendamping hidup ayah. Ibu adalah arsitek rumah kami, ekonomi keluarga sebenarnya lebih banyak mengalir dari usaha berdagangnya di pasar, dan itu tidak membuatnya merasa diatas angin didepan ayah. Ini yang paling aku banggakan. Alhamdulillah, keuletan dan kesabarannya membuahkan hasil yang membanggakan, berhasil mengangkat perekonomian keluargaku

Nenek, Sosok wanita yang kuat. Di usainya yang ke 83 tahun, Beliau adalah orang yang sangat konsisten dalam menjalani hidup. Beliau tidak bisa baca tulis, juga tidak bisa membaca alqur’an. Tapi semangat untuk mengabdi kepada Sang Khalik begitu luar biasa. Di usia yang senja, setiap minggu paling tidak 3 tempat beliau datangi untuk mengaji. Ada yang di lombok tengah, tapi rata rata di lombok timur. Untuk menyenangkannya cukup memberi sebotol parfum dan uang akomodasi untuk pengajian.

Tiga sosok inilah yang selalu aku ingat,  apalagi sejak SMA sudah kutinggalkan untuk sekolah. Ku ingin, dimasa tua mereka aku bisa berada disisi mereka, melayani dan menjadi penghibur hati. Ya Allah, Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku, Berkahilah hidup mereka. Siram mereka dengan kesejukanMu. Berikanlah aku kesempatan untuk berbakti kepadanya sebaga rasa syukurku kepadaMU yang telah melahirkanku diantara mereka.

Pagi itu,  kesedihanku semakin terasa, karena harus berpisah dengan istri dan mertuaku. Mereka adalah orang orang baru dalam hidupku, belum genap 5 tahun bersama mereka. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku lekat. Allahlah yang telah mengikat hati kami sehingga bisa seerat ini. Kini aku harus berpisah dengan mereka. Tangisan anakku semakin membuat hatiku pilu, tapi aku tahan sekuatnya, tak akan kubiarkan air mataku bercucuran didepan anak dan istriku.

Kereta telah bergerak, membawaku melaju ke arah barat pulau terpadat di negeri ini.

Rabbana hablana minazwajina wa zurriyyiatina qurataayun waja’alna lil muttaqima imama.

Tak ingin mengulang berbagai peristiwa buruk selama perjalanan. Kumanfaatkan waktu menunggu dikereta ini untuk menyusun rencana. Apa yang harus kulakukan sesampai di Surabaya. Dimana aku harus beristirahat sembari menunggu jadwal terbang jam 12 malam nanti. Masih ada lebih dari 6 jam lagi.

Ku telpon seorang sahabatku di surabaya, memastikan keberadannya di kantor. Tapi ternyata ia tidak sedang disana, padahal aku rencannya ingin mampir dan istirahat ditempatnya. Ya sudah, sesampai di gubeng nanti aku langsung naik taxi, masuk hotel dekat bandara, menunggu beberapa lama dan kemudian baru ke bandara. Ah. Ini rencananya yang paling realistis bagiku.

Tak terasa, sudah 6 jam aku duduk di dalam kereta ini, perlahan kereta memasuki Stasiun yang aku tuju. Alhamdulillah, akhirnya aku sampai di surabaya. langsung saja ku titipkan Koper dan Tas ku di tempat penitipan barang, letaknya cukup strategis dipojok tenggara stasiun gubeng.

Pak, saya titip barang saya,

Mas mau kemana? ke jakarta ya? tanya penjanganya.

tidak pak, saya mau sholat dulu, barusan sampai pakai KA Mutiara Timur.

Okelah mas, taruh aja barnagnya di sana. ndak usah pakai karcis.

Aku langsung balikkan badan dan berlari ke pojok selatan stasiun, disana ada Musholla kecil, sangat nyaman untuk sholat sebelum memanggil taxi. Tapi, baru saja selesai sholat, adik iparku ternyata menelpon, ia mau jemput dan mengantarku ke bandara. Apa boleh buat, aku terima saja tawarannya. Baik dek, aku tunggu diperon depan, sahutku mengakhiri panggilan telponnya. Ternyata lama juga sampainya, yang aneh dia datang bawa motor. Loh, mobilnya dimana dek? dibengkel mas, tadi tiba tiba rusak, jawabnya.

Koper dan tas, aku naikkan dimotor, sesak juga rasanya, tapi tak apalah. namanya juga naik tumpangan.

Kemana ini mas?

Langsung ke Hotel Mandiri aja, sana dekat bandara, jawabku.

Kekapalku  aja ya, ini masih lama kok, tawarnya.

Ah, maunya sih menolak saja, tapi aku tahu sekali jiwa adikku yang satu ini, tidak boleh menolak ajakannya, toh tidak ada yang dirugikan. Okelah, ayo berangkat. Langit sore sudah tampak redup, perjalanan ke ujung utara kota surabaya terasa nyaman sekali. Adikku berhenti di sebuah ruko milik temannya, Ia menurunkan barangku dan menitipkannya di ruko itu. Katanya sih, barang barang itu tidak boleh masuk ke ARMATIM. Kalau sudah masuk, tidak bisa dibawa keluar, itu prosedur militer. Perjalanan aku lanjutkan, sampailah ke tempat tujuan. Setelah memarkir motor, adikku langsung naik ke kapal perangnya, aku hanya membuntuti, tak berani rasanya terlalu jauh berpisah dengannya, apalagi didaerah seperti itu. Semua orang berseragam.

Jam 7 selepas maghrib, aku langsung keluar kapal, tak tahan aku didalam kapal perang itu, apalagi sesaat sebelum sampai ke sana, sebuah insiden kecil terjadi. AC kapal meledak, seorang tentara pingsan, ruangan menjadi pengap dan panas.

Motor, langsung melaju dengan kecepatan tinggi, membelah kota yang tampak sepi. Angin mulai terasa dingin, kukira ini hanya karena sudah malam saja, tapi ternyata hujan lebat turun sangat deras. Adikku melaju semakin cepat, membelah jutaan pagar air didepan kami. Bajuku basah, Celana, sepatuku juga basah, sementara laptop di tas punggungku masih aman, gara gara tasnya aku selimuti jaket.

Ah, tak kuat rasanya untuk memacu diri dalam kondisi hujan begini. Adikku berbelok masuk kampung dan memarkir motornya di sebuah bengkel, bengkel ini adalah bengkel kenalannya. Masuk mas, ada sosok tua yang mempersilahkan kami masuk. Sebelum masuk, kusempatkan memeras ujung celanaku. Woww, benar benar basah ternyata.  Adik menelpon temannya dan 30 menit kemudian, seorang berkulit putih dan bermata sipit datang. Membawa kijang dan barang yang aku titip di rukonya. Selanjutnya, aku diantar ke bandara dengan mobil ini. ALhamdulillah, jam 8 tepat, aku sudah tiba di bandara.

Adikku dan temannya aku suruh langsung balik ke surabaya, biar aku menunggu teman teman yang lain di sini. Sesuai perjanjian, jam 9 teman teman akan datang. Aku masih punya waktu 1 jam, kupakai untuk  memeras ujung baju dan celanaku, agar tidak terlalu terasa basa.

Jam 9, orang yang ditunggu tunggu belum juga datang, baru jam 9.30 mereka berdatangan. Ya, aku langsung membawa teman teman untuk Check In. Biar ada kesempatan istirahat di dalam sana. Akhirnya, pukul 00 kurang 15 menit, aku sudah masuk pesawat. Inilah pesawat yang akan membawaku terbang jauh ke formosa. Baru sadar diriku kalau baju dan celana masih basah. Perutku terasa sudah ndak nyaman, walau baju di bungkus jaket, tetap saja terasa dingin, kaos dalamku basah!. Ah, kuambil saja bantal dan selimut, kupaksa diriku tertidur.

Ya Allah, pause kan lah hidupku sementara waktu, aku tidak tahan dalam kondisi begini.

5 Jam sudah!, Pesawat terbang rendah dan mendarat dengan mulus di bandara taoyuan. ALhamdulillah, Allah memberiku kesempatan untuk tertidur, melupakan dinginnya pakaianku. Alhamdulillah aku telah tiba dengan selamat dan tidak ada satupun teman teman yang tahu, kalau bajuku ternyata basah, celana dan kaos kaki juga basah.

Terimakasih Ya Allah, aku telah tiba.

Lindungilah keluarga yang aku tinggalkan, lindungilah aku selama menuntut ilmu disini

Tulisan sebelumnya

Bersabar, Kekuatan Tersembunyiku (1)

Bersabar, Kekuatan Tersembunyiku (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun