Mohon tunggu...
Miayazlin
Miayazlin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penikmat kopi senja, film, buku, lagu, komedi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

BUKU HARIAN REMAJA GALAU: Rumah Baru Yang Kuno

12 Januari 2025   15:05 Diperbarui: 12 Januari 2025   15:05 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah baruku. (Gambar oleh: Almayra)

Entah apa yang merasuki orang tuaku untuk pindah ke rumah ini. Rumah tua, yang konon sudah dibangun sejak sebelum perang kemerdekaan, dan arsiteknya adalah orang Belanda. Biarpun sudah direnovasi, tetap saja kesan kunonya masih melekat. Yang paling senang adalah ibuku karena akhirnya memiliki dapur yang luas. Dapur yang tergabung sekaligus dengan ruang makan. Dulu, dapur kami kecil, bahkan meja makannya pun kecil. Hal itu tidak menjadi masalah ketika aku masih kecil, tapi setelah sekarang sudah besar meja makan itu terasa kecil, dan ruangan-ruangan di rumah kami jadi terasa sempit.

Aku yakin hal itu adalah satu faktor yang membuat orang tuaku memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar. Katanya, rumah tua ini dijual dengan harga di bawah pasaran dan sudah bertahun-tahun tidak laku. Katanya lagi, rumah ini dihuni warga dimensi lain. Pegawai pemasaran yang menjual rumah ini sudah bercerita sejak awal bahwa menghuni rumah ini akan menjadi tantangan tersendiri karena sudah banyak orang yang tertarik tapi membatalkan perjanjian di saat-saat terakhir. Aku pun semula berharap ayah dan ibuku akan membatalkan rencana untuk membeli rumah ini. Namun harapanku tidak terjadi.

Rumah kami yang lama tidak bisa juga dibilang nyaman, tapi aku sudah tinggal di sana sejak lahir, sehingga aku sudah telanjur nyaman, meskipun rumah-rumah di sana berdempetan seperti perumahan padat penduduk pada umumnya. Selain itu, yang membuatku senang tinggal di sana adalah karena aku  punya banyak teman dan di sana banyak tempat jajan. Rata-rata tetanggaku membuka warung yang menjual camilan. Sementara di rumah kami yang baru ini, sepanjang jalan tidak kulihat ada satu warung satu pun. Kurasa satu-satunya pilihan adalah pesan makanan daring.

Begitu Ayah membuka kunci rumah tadi, aku dan kakakku berlomba-lomba memilih kamar terbaik. Beruntung sebelumnya aku sudah pernah ke sini, jadi aku sudah mengamati kamar mana yang lebih besar dan memiliki pemandangan yang bagus. Rumah kami, dan beberapa rumah yang sederet dengan kami, tidak memiliki tetangga depan. Beruntung. Bagian depan rumah kami menyerupai lereng karena tekstur tanah yang menurun, ditumbuhi pohon-pohon tinggi menyerupai pinus. Jadi kami serasa tinggal di perbukitan. Menurutku itu menjadi nilai lebih rumah ini. Berada di sini seperti tidak di kota besar. Di sekitar kami banyak pohon-pohon besar dan rindang. Di malam hari tentu menakutkan, akibat penerangan yang kurang. Namun di siang hari sangatlah meneduhkan. Udara di sini terasa sejuk. Kata penjaga rumah, udara yang sejuk ini juga mungkin disebabkan ada naungan dari dimensi lain. Kata Ayah, anggap saja itu nilai plus dari rumah ini. Dimensi lain itu belum tentu seram. Hal itu pula yang menyebabkan aku memilih kamar dengan jendela menghadap ke halaman depan, tapi ukuran kamarnya tidak terlalu besar. Sedangkan kakakku mendapatkan kamar yang terbesar, bahkan lebih besar dari kamar utama yang ditempati ayah dan ibuku. Dia senang luar biasa, dan dia menganggap itu sebuah kemenangan. Padahal jendela kamarnya tidak memiliki pemandangan yang menarik karena menghadap ke halaman samping yang masih berupa rerumputan. Namun, tampaknya dia tak peduli. Size does matter. Dia senang bisa menaruh gitar dan drumnya di kamar.

Begitu melihat kamar, aku sudah membayangkan akan didekorasi seperti apa. Rasanya tak sabar untuk mengubah interiornya. Ayah sudah berjanji akan memenuhi permintaanku. Sementara ini hanya ada sebuah tempat tidur ukuran single dan sebuah lemari kayu bercat duko putih yang warnanya sudah pudar kekuningan, dengan 2 pintu, tanpa cermin. Kalau dilihat dari modelnya, aku yakin pemilik kamar ini adalah perempuan. Mungkin dia gadis seusiaku. Aku membuka lemari itu. Bau apak langsung menguar dari dalam lemari. Entah itu dulunya lemari baju atau buku. Namun, di rak bawah kulihat ada setumpuk buku-buku tebal. Rasa ingin tahuku menggelitik. Ketika kubuka buku yang terletak di tumpukan teratas, halaman-halamannya sudah kekuningan dan berdebu. Ada baris-baris tulisan tangan yang rapi. Astaga! Ini buku harian.

Aku pun mulai membaca dengan jantung berdebar. Namun, bukan salahku kalau buku ini ada di kamarku. Cuma aku pemilik sah kamar ini sekarang. Jadi aku berhak membaca buku yang ada di kamarku. Selama beberapa detik aku mengagumi tulisan yang begitu rapi. Aku yakin penulisnya perempuan. Namun, aku sempat tertegun pada halaman pertama.

DIA BIKIN GUE GONDOK. EMPET. MAMPET! NGERASA PINTER SIH NGGAK APA-APA. TAPI JANGAN KELEWATAN. GILA!

Tertulis hari Minggu, 27-12-1987.

Apa??? Tahun 1987. Aku yakin di tahun itu Ayah dan ibuku pasti belum bertemu. Jadul sekali. Ini bisa dibilang penemuan naskah kuno. Selain itu. Semuanya ditulis dengan huruf besar. Penulisnya pasti sedang marah. Aku membolak-balik buku, tapi tidak kutemukan nama pemiliknya. Baiklah. Kuputuskan untuk membalik halaman berikutnya.

Rabu, 20-1-1988

Sori, Tisha. Sudah lama aku nggak nengokin kamu.

Tunggu! Dia memberi nama buku hariannya Tisha? Kurasa dia adalah orang introvert dan tidak punya teman di kehidupan nyata. Mungkin buku hariannya adalah sahabat baiknya.

Sekarang aku sudah nggak marah-marah lagi dan I feel better. Mungkin aku bukan orang yang pendendam. Jadi aku bersyukur. Tis, sekarang aku mau cerita yang lain. Kali ini aku mau cerita tentang cowok-cowok di kelas III B.

Apa?? Jadi si penulis masih kelas 3 SMP alias kelas 9 sewaktu menulis buku harian ini. Kurasa kami punya kemiripan. Aku juga mulai menulis buku harian saat kelas 9, tapi aku menulisnya di laptop dan diberi kata sandi. Bahaya karena kakakku yang iseng bisa membacanya diam-diam jika tidak diberi kata sandi. Aku kembali membaca.

Kayaknya aku perlu mengenalkan mereka satu-persatu. Mereka itu Brim, Timon, Peron, si Mbah, Jendral. Brim itu orangnya baik, kelihatannya, nggak tahu juga aslinya bagaimana. Dia perhatian banget sama aku. Tapi aku tetap merasa risih kalau harus mengobrol dengannya, karena dia masih satu geng dengan Lena, Dewi, Mira, Siena. Itu loh, kelompok cewek-cewek yang merasa diri paling keren sedunia. Terus, kalau Peron orangnya kece. Lumayan lah, kalau dinilai 8 gitu. Tapi orangnya materialistis. Mungkin karena anak OKB (orang kaya baru). Jujur, sih, sebenarnya aku nggak suka sama dia. Guyonannya super ngeres alias mesum. Kamu juga pasti nggak bakal senang, Tis.

Kalau Timon orangnya lain lagi. Dia cuek, cakep, gagah, tapi serba berlebihan. Nilainya 8. Tapi aku nggak pernah ngobrol sama dia karena nggak pernah diajakin ngobrol. Kayaknya kalau mau naksir aku pikir lagi 1000 kali. Beda banget sama si Mbah yang kocak, kece, keren lagi. Sayangnya sama aku juga jarang ngobrol. Males. Yang terakhir, Jendral. Orangnya simpatik, gagah. Dulu waktu kelas 2 kami akrab, tapi sekarang dia berubah. Kami jadi cuek-cuekan. Duh, kayaknya nggak ada yang beres, nih!

Tanpa sadar aku tertawa. Kocak juga nih, si penulis. Naksir cowok tapi nggak pernah ngobrol. Lalu semua cowok-cowok yang ditaksirnya diberi nama samaran. Tebakanku itu semua nama samaran. Masa ada cowok bernama Timon. Setahuku Timon itu nama karakter di film Lion King.

Kakakku, Andro, yang kebetulan lewat pintu kamarku yang terbuka langsung melongok ke dalam.

"Eh, kenapa lo?! Kok, ketawa sendiri. Hiiiy kesurupan!" komentarnya setengah meledek.

"Apaan sih?! Sana pergi!" usirku.

Namun, dia malah berjalan mendekati. Apalagi setelah melihat buku yang sedang kupegang.

"Lagi baca apa? Buku porno, ya?"

Aku mencebik. "Sana, keluar!"

Andro pun langsung ngacir. Namun, baru sepersekian detik, menyusul Ibu masuk ke dalam kamarku. Aku pun cepat-cepat menyimpan diari itu kembali ke lemari.

"Makan dulu, yuk! Sudah hampir jam 1," ajaknya.

"Ibu masak?" tanyaku. Beberapa hari yang lalu dia kelihatan sudah tidak sabar untuk mencoba dapur barunya.

"Belum. Tadi beli online."

Aku pun segera bangkit dari lantai dan pergi menuju ruang makan yang besar.

-bersambung-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun