Mohon tunggu...
Liza Permasih
Liza Permasih Mohon Tunggu... Penulis - Menyukai dunia kata-kata, mencintai setiap momen yang tumbuh bersama para kesayangan.

Penulis merupakan seorang ibu dari tujuh orang anak yang menyukai dunia kata-kata sejak belia. Pernah menjadi kontributor tetap selama dua tahun di web parenting di The Asianparent Indonesia. Karya-karya fiksi penulis pernah dimuat di majalah Femina dan Gadis, sementara karya non fiksi, berupa kisah inspiratif tersebar dalam buku-buku antologi terbitan Gramedia Pustaka Utama. Selain menyukai dunia kata-kata, penulis juga aktif di dunia kuliner dengan memakai brand Dapur Momaliza. Mengambil nama yang sama dengan blog pribadinya, www.momaliza.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Kwatisore (Cerpen Majalah Femina)

24 Februari 2022   13:14 Diperbarui: 24 Februari 2022   14:43 3762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reina memaku pandangannya ke arah punggung lelaki muda berkulit gelap nan tegap di hadapannya. Lelaki itu, Kai, seolah tenggelam dalam dunianya. Kedua tangannya bergerak cekatan memaku bilah-bilah papan pada tiang kayu besi yang menjadi rangka rumah.

"Reina, rumah ini akan menjadi rumah yang luar biasa. " Tiba-tiba Kai berkata. Mata hitamnya yang tajam menatap wajah Reina. Reina mengalihkan pandangannya. Tak mampu menatap mata Kai. Ia tak ingin melukai Kai. Tapi Kai tak mungkin didustai. Kai tahu segala hal  tentang Reina. Seperti ia mengetahui garis-garis yang menggurat telapak tangannya sendiri. Hanya satu hal yang Kai tidak tahu. Dan Reina ingin menyembunyikannya dari Kai.

"Rumah ini untukmu." Ujar Kai bangga. Reina mencoba tersenyum. Matanya menelusuri dinding yang baru separuh jadi.  Rumah itu lebih pantas disebut gubuk. Terdiri dari beranda luas yang tertutup atap rumbia. Kai hanya membangun sebuah kamar dalam rumah itu. Kamar yang berdinding kayu dan berjendela anyaman rumbia yang memungkinkan angin  memeluk penghuninya sepanjang waktu.

Reina tahu Kai mencintai dirinya sebesar cintanya pada lautan biru di hadapannya. Reina tak ragu sedikit pun tentang kesungguhan lelaki itu. Lelaki yang kini tengah menakar raut wajahnya dengan kerut yang dalam.

"Ada apa Reina?" Bola mata hitam itu melembut. Sesungguhnyalah ia lelaki yang lembut. Reina mendesah. Kepalanya mengeleng pelan.

Matahari senja memantulkan bias-bias jingga  di Teluk Cendrawasih. Langit yang belum sepenuhnya gelap menjelma menjadi pentas warna menakjubkan yang membuat Kai sejenak melupakan pertanyaannya.

Reina menatap cahaya yang pelahan memudar. Bintang-bintang yang berpendaran muncul dalam jumlah tak terhingga. Sesaat ia ingin lenyap bersama bayangan matahari yang hilang. Namun itu tak mungkin. Nyatanya ia masih di sini. Bersama Kai yang tengah menatap wajahnya serius.

            "Aku harus pergi, Kai." Ujarnya pada akhirnya. Tak mungkin menyembunyikannya dari Kai.

            "Bukankah kau berjanji untuk menemaniku?" tuntut Kai.

            "Ya. Tapi sekarang itu tak mungkin lagi."

            "Kenapa, Reina?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun