Reina terdiam. Alangkah sulit menjelaskan pada Kai. Bahwa kini semua tak lagi sama.
      "Aku akan kembali ke asalku." Reina menundukkan kepala.
      "Asalmu di sini, Reina." Mata tajam Kai menuntut.
      "Sebagian." Reina mengangkat kepala. Tatapnya jatuh ke batas laut yang kini tampak gelap. "Sebagian lagi berasal dari balik samudra itu."
      "Kau tak mengenal mereka, Reina. Dan mereka tak mengenalmu. Kau, hanyalah...." Kai terdiam. Tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Reina tersenyum sendu. Ia mafhum apa yang ada di balik kepala lelaki yang dicintainya ini. Seperti ia mafhum akan anggapan seluruh warga Desa Kwatisore tentang dirinya.
Reina menghirup udara memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Samar-samar ia mencium aroma tajam yang menguar dari tubuh Kai. Betapa ingin ia memeluk tubuh perkasa  dan membenamkan kepalanya pada dada bidang yang teduh itu. Tapi ia tak bisa, tak akan pernah bisa. Dan Kai sungguh tahu itu.
Bintang-bintang bermunculan di atas langit malam Teluk Cendrawasih. Kai tak mampu banyak bicara. Reina adalah jiwanya. Sejak belia ia mengenal Reina yang unik. Lain dari yang lain. Reina yang pemalu dan selalu menemuinya diam-diam.
Tak perlu diragukan lagi, Kai mencintai Reina seperti ia mencintai bulir pasir putih di tepi pantai.Ia menggilai Reina seperti ia tergila-gila pada kehangatan matahari Papua. Tak ada yang bisa menggantikan Reina. Ia adalah satu dari sekian sebab yang memantik semangat hidup Kai.
      "Tapi, rumah ini kubangun untukmu, Reina." Kai berbisik sendu.
      "Aku tahu..."