Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[KolaborasiRTC] Dispersi

17 April 2016   17:54 Diperbarui: 17 April 2016   18:08 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: tumblr.com"][/caption]A,

Hari ini saya melihat kamu duduk di halaman loteng rumahmu lagi. Padahal sedang turun hujan. Kamu membiarkan tubuh kamu basah. Padahal kamu alergi dingin. Kamu selalu berujar pada semua orang bahwa kamu suka hujan. Padahal kamu selalu menggigil kala ia datang. Kamu terlalu banyak berbohong, tapi paling banyak kepada diri kamu sendiri.

Saya tahu kamu belum makan hari ini, tapi kamu selalu bilang kamu kenyang makan cinta. Padahal kamu punya maag akut. Saya sering mengingatkan pada kamu bahwa cinta tidak bisa dimasak, tapi kamu bilang makanan mentah terkadang lebih bergizi.

 

Setiap kali matahari memberi salam pada hujan

sadarilah kalau cinta itu masih ada.

Cinta yang pernah selimuti mimpimu dengan keindahan pagi

yang pernah lindungi hatimu dari dingin embun malam hari

yang pernah penuhi hari-harimu dengan bahagia sejati.

Cinta itu masih ada.

 

Saya melihat kamu tersenyum di bawah hujan. Kamu menengadah. Saya tidak tahu pada siapa kamu tersenyum. Mungkin kamu tersenyum pada langit yang berjasa memberi ruang untuk hujan, pada awan-awan yang berjasa menampung air hujan, atau pada hujan. Mungkin juga kamu tersenyum pada saya, tapi mana mungkin.

Senyum kamu yang sekarang masih sama seperti senyum yang beberapa tahun lalu, beberapa bulan lalu, dan yang kemarin saya lihat. Meski saya sendiri tidak pernah tahu kepada apa kamu tersenyum. Kamu mengulangi senyum yang sama lagi dan lagi setiap hari kala hujan seolah waktumu tidak terikat waktu mereka. Kamu mencipta zona waktumu sendiri, dan terkurung di dalamnya.

Zona waktu kamu tidak mengenal detik, menit, atau jam. Zona waktu kamu hanya mengenal hujan dan tidak hujan. Kamu tidak menua kala hujan, dan menua banyak kala tidak hujan. Dalam sekejab kamu menjadi panik dan kalap apabila hujan tidak juga turun. Kamu terlalu takut tua.

 

Dia sedang bermanifestasi

dari ingkar menjadi janji

dari kehampaan menjadi arti

dari masa lalu yang kelam

menjadi masa depan.

.

Kamu hanya perlu meninggalkan rumah tanpa jendela itu

untuk membiarkan angin menghempas wajah dan tubuhmu yang hampir sepucat masa lalu

lalu lihatlah jalan cerita lain yang sedang menunggu.

 

Hujan turun semakin deras. Kamu mulai tertawa. Sedikit-sedikit, lama-lama lepas. Tawa kamu lepas seperti tahu yang kamu mau akan segera datang. Kamu menggigil di tengah-tengah tawa. Kamu menangis tak karuan di dalam hati.

Tapi kamu tertawa.

Kamu mulai membaringkan tubuh kamu, dan menutup matamu. Sejak dulu kamu selalu percaya menutup mata bisa mempercepat waktu. Ketika pertama kali melihat kamu melakukan hal ini, saya sempat heran mengapa harus mempercepat waktu kala hujan sudah di sini, hingga akhirnya saya sadar kamu ingin yang lain.

Lama kelamaan hujan mulai reda. Kamu tahu hari akan segera menjadi cerah lagi, kamu tahu kamu akan segera menua lagi. Namun ada detik-detik khusus yang kamu senangi. Ada sebuah titik pertemuan antara hujan dan tidak hujan.

Kamu membuka matamu lebar-lebar ketika hujan semakin reda. Tidak ada satu detik pun yang ingin kamu lewati. Tawamu menggila pada detik hujan berhenti. Ada sebuah lengkungan cantik di langit. Lengkungan cantik yang kamu puja-puja selama ini, yang kehadirannya kamu jelmakan sebagai obat penenang, yang kemunculannya tidak mau lewati biar sedetik saja. Lengkungan cantik yang mereka percaya adalah jembatan para dewa, beberapa lagi yakin ada Pelukis Maha Agung di atas sana. Saya meragukan keduanya. Bagaimana mungkin dewa atau Pelukis Maha Agung rela membiarkan kamu menggigil kedinginan selama itu demi melihat sebuah lengkungan di langit?

 

Setiap kali hujan memberi salam pada pelangi

sadarilah kalau cinta itu telah kembali di sini.

Dia hanya pergi sejenak bersama cerita yang tak akan diingat lagi

tapi hadir kembali di antara jemari ini dan dan bahu yang selalu kamu sandari

.

Pada setiap air mata yang kamu teteskan

pada setiap potongan elegi yang kamu lantunkan

pada setiap jendela hati yang kamu singkapkan

sadarilah

dia semakin meninggalkan metafora

dia semakin nyata dan semakin dalam

 

Tawamu makin menggila, terlalu banyak kebahagiaan dan kepuasan dalam diri kamu. Meski saya tahu, sebagian diri kamu sadar betul saat ini akan segera berlalu. Tapi kamu yakin akan menantinya lagi esok, meski harus menggigil, meski harus alergi, meski harus menangis dalam hati,

Meski harus belum makan,

Meski harus berbohong.

Tawamu menggila dan menggila, tanpa kamu tahu siapa yang membiaskan cahaya ke air hujan hingga tercipta tujuh warna yang kamu puja.

 

Setiap kali pelangi memberi salam pada matahari,

sadarilah cinta itu masih ada.

 

 

 

Yang kamu tahu saya cuma penyebab cuaca panas terik yang menuakan kamu,

17 April 2016, Matahari

-

*Tulisan ini merupakan kolaborasi prosa dan puisi oleh saya dan Pical Efron dalam rangka memeriahkan Event Bulan Kolaborasi RTC yang diadakan oleh komunitas Rumpies The Club.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun