untuk membiarkan angin menghempas wajah dan tubuhmu yang hampir sepucat masa lalu
lalu lihatlah jalan cerita lain yang sedang menunggu.
Â
Hujan turun semakin deras. Kamu mulai tertawa. Sedikit-sedikit, lama-lama lepas. Tawa kamu lepas seperti tahu yang kamu mau akan segera datang. Kamu menggigil di tengah-tengah tawa. Kamu menangis tak karuan di dalam hati.
Tapi kamu tertawa.
Kamu mulai membaringkan tubuh kamu, dan menutup matamu. Sejak dulu kamu selalu percaya menutup mata bisa mempercepat waktu. Ketika pertama kali melihat kamu melakukan hal ini, saya sempat heran mengapa harus mempercepat waktu kala hujan sudah di sini, hingga akhirnya saya sadar kamu ingin yang lain.
Lama kelamaan hujan mulai reda. Kamu tahu hari akan segera menjadi cerah lagi, kamu tahu kamu akan segera menua lagi. Namun ada detik-detik khusus yang kamu senangi. Ada sebuah titik pertemuan antara hujan dan tidak hujan.
Kamu membuka matamu lebar-lebar ketika hujan semakin reda. Tidak ada satu detik pun yang ingin kamu lewati. Tawamu menggila pada detik hujan berhenti. Ada sebuah lengkungan cantik di langit. Lengkungan cantik yang kamu puja-puja selama ini, yang kehadirannya kamu jelmakan sebagai obat penenang, yang kemunculannya tidak mau lewati biar sedetik saja. Lengkungan cantik yang mereka percaya adalah jembatan para dewa, beberapa lagi yakin ada Pelukis Maha Agung di atas sana. Saya meragukan keduanya. Bagaimana mungkin dewa atau Pelukis Maha Agung rela membiarkan kamu menggigil kedinginan selama itu demi melihat sebuah lengkungan di langit?
Â
Setiap kali hujan memberi salam pada pelangi
sadarilah kalau cinta itu telah kembali di sini.