Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Distorsi

27 November 2015   18:41 Diperbarui: 27 November 2015   20:07 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Livia Halim, No. 12

Aku terdiam di tempatku. Semua ini terjadi begitu cepat, tak sedikit pun aku memiliki waktu untuk berpikir dengan jernih. Aku memutuskan untuk memasrahkan diriku pada situasi yang aneh ini. Jika laki-laki yang ternyata bernama James di depanku ini ingin membunuhku, baiklah.

DORR!

Aku melihat James tumbang di depanku, darah mengalir dari kepalanya. Darah itu mulai bercucuran dan mengalir ke lantai. Dalam beberapa detik aku terpaku sambil memandangi mayat James di hadapanku.

“Apakah aku terlalu lama, Rheinara?”

Aku memandang ke depan. Ran berdiri di sana sambil memegang sebuah pistol di tangan kekarnya.  Perlahan-lahan ia berjalan mendekati tempat kakiku berpijak, ia bahkan melangkahkan kakinya melewati tubuh James. Aku masih terdiam. Bolak-balik aku memandangi tubuh James yang terbujur kaku dan Ran yang kini sudah berdiri tegap persis di depanku.

“Bagaimana, Rheinara? Mau ikut aku ke neraka?” tanyanya sambil melengkungkan ujung kiri bibirnya dan mengulurkan tangannya.

“Aku sudah berada di neraka sejak kecil, Ran,” jawabku akhirnya, “Aku tidak tahu apa yang hendak kamu lakukan setelah ini. Tapi kamu harus tahu nerakaku jauh lebih panas daripada neraka mana pun di alam semesta.”

“Kamu masih ingin tahu di mana Nugie berada sekarang?” kali ini aku melihat tatapan mata Ran mulai menjadi sedikit terlihat… teduh? Tunggu! Aku benci orang ini. Baiklah, matanya mungkin indah, tangannya juga… tapi aku benci orang ini! Ingat itu, Anna! Atau Rheinara!

Kugelengkan kepalaku.

Apa? Mengapa aku menggeleng? Mengapa? Hei siapa pun kamu yang sekarang sedang menguasai tubuhku, tolong! Aku tidak mau menggeleng! Aku ingin tahu di mana Nugie! ia masih mencintaiku, aku yakin!

“Tidak? Oh baiklah. Kemari…” Ran masih memandangku dengan tatapan itu. Ia kemudian berjongkok sedikit dan menyentuh darah yang berceceran di lantai dengan jari-jarinya.

“Apa yang sedang kamu…” aku tidak sempat melanjutkan pertanyaanku karena Ran terlanjur berdiri dan perlahan-lahan mengoleskan darah James yang kini berlumuran di jarinya, ke bibirku. Aku terdiam. Matanya masih memandangiku dengan tatapan yang sama.

“Kau tampak lebih cantik jika bibir pucatmu itu diwarnai seperti ini, Rheinara,” ucapnya.

“Tidak, jangan panggil aku dengan nama gadis itu, panggil aku Nugie.”

“Baiklah kalau begitu,” jawab Ran. Kemudian ia mencium bibirku.

Aku jatuh cinta.

Iya, jatuh cinta.

Untuk pertama kalinya aku bisa benar-benar melupakan Rheinara. Aku benar-benar jatuh cinta kepada Ran.

“Gie…” desah Ran pelan setelah ia mencium bibirku. Aku dapat melihat bibirnya juga ikut berlumuran darah James akibat bersentuhan dengan bibirku. Kemudian ia tersenyum, senyum paling indah yang pernah ia lengkungkan. Oh ya, aku baru ingat ada satu pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan.

“Di mana Rheinara?”

“Kuterbangkan dia jauh ke jantung bulan mati, bersama secangkir white frappe, tak lupa kubisikkan senandung saxophone Kenny G sebagai kenang-kenangan. Bagaimana menurutmu, Gie? Dia akan bahagia, bukan?”

Aku tersenyum, ya sudah, biarkan saja gadis itu menjadi milik sang bulan mati, bulan yang selama ini dipuja-pujanya tanpa ampun.

“Bawa aku ke nerakamu, Ran,” ujarku akhirnya.

Namun, sebelum kami sempat beranjak, belasan suster rumah sakit berdatangan ke arah kami dengan panik. Rupanya mereka berhasil mendobrak pintu yang kuncinya sudah ditelan oleh James. Aku dapat mendengar perkataan-perkataan mereka.

“Oh, Tuhan!!”

“Anna! Ran! Apa yang kalian lakukan kepada James?”

“Astaga. Dasar orang-orang gila!”

“Ini pasti salahmu, suster Riana. Seharusnya kamu yang menjaga James agar tetap berada di kamarnya. Mengapa ia bisa sampai ke sini. James kan merupakan salah satu pasien paling berbahaya di rumah sakit ini.”

“Maaf, kukira tidak seberbahaya itu, dia kan hanya suka berkhayal bahwa dirinya adalah dokter.”

“Astaga… jangan-jangan… obat-obatan dan alat suntik yang selama ini selalu hilang entah ke mana itu... Oh, Tuhan… apakah selama ini James yang mencurinya?”

“Apa James membunuh dirinya sendiri?”

“Tapi, Ran juga memegang pistol!”

“Oh, Tuhan!”

“Mengapa mereka bertiga dibiarkan bertemu.”

“Mengapa bisa ada dua pistol di sini? Mengapa?”

“Gawat!”

“Gawat!!”

“Astaga!”

Aku terdiam dengan tidak mengerti. Aku menoleh ke arah Ran, ia juga tampaknya tidak mengerti.

“Anna, sini biar kuantar kamu kembali ke kamarmu, ya,” ujar seorang suster sambil memegang tanganku. Apa dia berbicara kepadaku? Tapi siapa Anna?

“Aku bukan Anna!” teriakku sambil memberontak. Astaga, rupanya suster-suster di sini juga sudah gila. “Ran, marahi mereka! Masa mereka memanggilku dengan nama Anna. Mereka pasti sudah gila!”

Namun Ran hanya diam mematung. Mata yang beberapa waktu lalu sempat menatapku dengan tatapan tajam yang mempesona itu kini kosong, ia tidak menghiraukan aku sama sekali. Astaga. Apa yang terjadi?

“Anna, tidak ada waktu untuk ini semua, mari kembali ke kamarmu,” ujar suster tadi, ia terus memegang tanganku, bahkan sekarang berubah menjadi cengkeraman.

“Aku bukan Anna, suster! Bukan Anna! Bukan Annaaaa!” teriakku terus menerus.

“Anna, dengar. Tidak ada waktu untuk merengek seperti ini. Oh Anna, dengarlah. James meninggal. Ada banyak hal yang harus kami lakukan. Kami juga harus membersihkan darah ini, dan selanjutnya harus menyelesaikan masalah ini juga. Tolong Anna, mengertilah sedikit!”

James meninggal?

“Oh, suster Hanna! Suntik saja dia, susah sekali, sih. Kamu ini suka tidak tega. Gadis itu memang gila, jadi sudah sewajarnya disuntik agar tenang, kan?” ucap suster lain dengan nada tidak sabar.

Aku tidak terlalu mempedulikan kata-kata suster yang lain. Aku kembali fokus ke kata-kata yang sebelumnya diucapkan oleh suster yang memegang tanganku. Dia bilang James meninggal?

 

Tapi kan, aku James.

***

“Kania, bangunan besar yang di sana itu apa? Sejak pindah ke kota ini beberapa minggu lalu, baru sekarang aku melewati jalan ini.”

“Oh, ada yang bilang bangunan itu adalah rumah sakit jiwa, Tiara. Anehnya, aku tidak pernah melihat ada orang yang keluar dari bangunan itu. Bangunan itu juga tampaknya sudah sangat tua dan tidak terurus. Tapi terkadang orang-orang yang lewat di sini masih suka mendengar suara teriakan-teriakan. Bahkan kemarin, katanya ada suara pistol.”

“Jangan menakut-nakuti aku, Kania. Sudah malam ini. Ayo kita jalan lebih cepat. Aku jadi resah.”

Kemudian Kania dan Tiara pun berjalan beriringan menembus kegelapan malam.

 

Sementara itu, jauh di atas sana,

Rheinara sedang menyeruput white frappe kesukaannya.

 

***

Silakan membaca fiksi bersambung lainnya dan bergabung di FB Fiksiana Community.

sumber ilustrasi: www.wallpaperup.com, www.pinterest.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun