Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerpen: Sepercik Luka di Lantai Tempat Kita Pernah Menari

26 September 2015   17:46 Diperbarui: 24 November 2015   23:46 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Mengapa kamu sering terluka akhir-akhir ini? Apa karena kurang tidur, lantas jadi kurang fokus dan sering jatuh tersandung?” tanya Mala, kawan saya, pada suatu siang.

“Kamu tidak mengenal luka sebagaimana saya mengenalnya, Mala,” jawab saya sambil memandang ke matanya. Ia terlihat bingung. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu perlu lebih banyak istirahat, Kiran,” ujarnya kemudian.

Saya hanya termenung. Akhir-akhir ini saya memang sering luka, anehnya bukan darah yang mengalir keluar dari luka-luka ini, tapi percikan cahaya berwarna-warni. Apakah kamu sebingung Mala? Ah, biar saya kisahkan semuanya dari awal pada kamu, karena saya yakin luka ini juga bukan luka yang kamu kenal.

Mala adalah teman saya sejak kami kecil. Rumah kami berdekatan dan saya sering bersantai di rumahnya. Suatu kali, Mala bercerita bahwa ia meminta tolong kepada seorang teman yang baru dikenalnya di komunitas seninya, untuk melukis lantai ruang serba guna di rumahnya. “Ruang serba guna” ini adalah sebuah ruangan kosong di rumah Mala yang tidak jelas kegunaannya. Waktu kecil, kami sering memakainya untuk latihan menari bersama. Mala mengajak saya untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan sang pelukis ruang serba guna.

Hari pertama saya melihat sang pelukis, saya memberinya sebutan Pijar. ‘Pijar’ karena ia lebih berpijar daripada… ah, sangat sulit membandingkannya dengan apapun. Buat saya, ia jauh melebihi pijaran apapun.

“Dia akan rutin datang ke rumah saya seminggu sekali, setiap malam Senin, untuk melukis lantai tempat kita menari dulu, Kiran,” ujar Mala dengan antusias.

“Saya juga akan datang setiap Senin malam. Saya ingin melihat sang pelukis menyalakan pijarnya,” ucap saya cepat. Mala hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia senang karena saya juga tampak antusias.

Lantas, begitulah, saya ada di rumah Mala setiap Senin malam, menonton Pijar melukis lantai. Pijar jarang mengajak saya berbicara. Terkadang ia hanya menoleh pada saya untuk tersenyum. Sebuah senyum formalitas baginya, sebuah senyum paling berpijar yang pernah mata saya rekam. Pembicaraan kami hanya basa-basi keseharian, saya menikmati setiap detiknya meski saya tau Pijar tidak. Bagi Pijar, saya semata-mata hanya “teman Mala”.

Pijar melukis tuts-tuts piano di atas lantai tempat saya dan Mala menari dahulu.

“Mala bilang kamu dulu suka menari di sini?” tanya Pijar tiba-tiba. Saya tahu ini akan jadi dialog yang langka. Dialog yang tidak tentu lahir kembali esok.

“Iya, tapi sebenarnya saya tidak bisa menari. Sekolah kami punya mata pelajaran seni tari. Maka kami berlatih di sini untuk persiapan tes mata pelajaran itu,” jawab saya.

“Nanti, kamu bisa menari di atas piano. Kalau beruntung, mungkin kaki-kakimu menginjak tuts yang tepat. Mungkin juga melahirkan nada-nada yang kelak kamu senandungkan seumur hidup,” jawaban Pijar mengehentikan detik jarum jam seketika.

“Saya tidak bisa main piano juga,” ujar saya sambil menggeleng, berusaha terlihat normal.

Pijar hanya tersenyum , kemudian melukis lagi. Saya menoleh ke arah jam dinding. Jarum-jarumnya masih membeku. Saya sendiri lupa cara bernapas.

Saya tahu buat Pijar dialog ini tidak ada artinya. Saya tahu ia bahkan tidak sadar bahwa kata-katanya menghentikan detik jarum jam. Kita semua punya firasat. Dalam hal ini saya merasa ada semacam pesan tak terjelaskan yang saya tangkap. Pesan yang menyakitkan. Saya lelah dengan senyum formalitas Pijar, dialog formalitas Pijar, dan semuanya. Semua yang dia lakukan, baginya hanyalah formalitas, sementara bagi saya, senyum dan dialognya adalah tempat liburan paling mewah di seluruh dunia.

Itulah kali pertama saya terluka. Di tangan kanan saya tiba-tiba muncul sebuah luka, dengan cahaya warna-warni memercik dari dalamnya. Saya kaget, namun semacam sadar bahwa Pijar telah menorehkan luka paling indah yang pernah saya derita, tanpa menyentuh saya secara harafiah, sedikitpun.

“Kiran, mengapa keluar percik warna-warni dari tanganmu?” tanya Pijar tiba-tiba.

“Ini luka yang tidak bisa saya jelaskan.”

Pijar tersenyum lagi, senyum formalitas lagi, kemudian kembali melukis lantai. Saya berlari ke luar.

 

***

Hari-hari berikutnya, saya terluka setiap kali mendapat firasat bahwa semua hal-hal kecil yang Pijar lakukan kepada saya hanyalah formalitas semata, tanpa perasaan ataupun emosi terlibat di dalamnya. Ketika saya menenangkan diri di rumah, luka itu akan hilang, namun esoknya ketika mendapat perlakuan formalitas dari Pijar lagi, saya terluka lagi.

Lagi.

Dan lagi.

Anehnya, meski tangan kanan saya sering terluka, saya tetap selalu hadir setiap malam Senin. Suatu kali, saya berpikir untuk bertanya kepada Pijar, siapa tahu ia tahu bagaimana cara menyembuhkan luka percik.

“Pernah terluka seperti saya? Pernah dengar obatnya mungkin? Atau ke mana saya harus pergi?” tanya saya.

“Tidak pernah dan tidak tahu, Kiran,” jawab Pijar singkat, tanpa menoleh ke saya. ia menjawab sambil tetap melukis. Apakah ia sudah lelah dengan saya? Ataukah ia benar-benar tidak tahu? Tapi jawaban sesingkat “tidak pernah dan tidak tahu” bukan jawaban yang semestinya keluar dari mulut seseorang yang mendapatkan julukan “Pijar”. Tapi ah sudahlah, toh dia juga hanya tersenyum formalitas ketika pertama kali tahu saya terluka. Pijar memang tidak pernah punya ketertarikan sedikitpun bahkan untuk sekedar mencari jalan keluar. Pijar bahkan mungkin tidak tahu bahwa luka ini disebabkan karenanya.

***

“Kiran! Kiran! Mengapa bengong saja? Dari tadi tatapan matamu kosong. Oh Kiran, kamu benar-benar butuh istirahat,” suara Mala menyadarkan saya.

Saya hanya mengangguk secukupnya.

“Hei Kiran, kelihatannya lukamu makin parah. Percikan itu mulai mengotori lantai rumahku. Lihatlah!” seru Mala tiba-tiba. Saya memandang sekeliling, dan terkejut. Kami sedang berada di ruang serba guna Mala. Lantai ruang serba guna yang 60 persennya sudah dipenuhi lukisan Pijar kini menjadi berwarna-warni tak karuan.

Saya menjadi panik dan berlari ke arah kamar mandi. Namun rupanya Mala lebih panik lagi karena selanjutnnya setiap lantai yang saya pijak berwarna-warni, terpercik luka saya. Ketika tiba di kamar mandi, saya menyalakan wastafel, bermaksud membasuh luka saya dengan air. Namun yang keluar dari wastafel bukan air, melainkan percik-percik cahaya yang berwarna-warni juga. Mala yang mengikuti saya ke kamar mandi berteriak panik.

Selanjutnya saya merasa sangat pusing. Ruangan seperti berputar dan saya tidak mengenali diri saya lagi.

***

 

“Kiran! Bangun, Kiran! Sudah siang,” saya dapat mendengar suara ibu memanggil saya.

Saya membuka mata perlahan. Tunggu. Apakah semua itu hanyalah mimpi? Saya melirik ke arah tangan saya. Tidak ada luka sama sekali. Percik-percik cahaya itu tidak ada.

Oh, baguslah.

Lagipula, sewajarnya memang darah lah yang keluar dari luka. Ah, mimpi memang selalu ada-ada saja. Apakah alam bawah sadar saya memang sekreatif itu sampai bisa bermimpi terluka percik? Dalam hati saya tergelak, sekaligus merasa sangat lega.

Sekarang semuanya akan berjalan secara lebih normal, tidak perlu lagi khawatir. Saya bisa melakukan apa pun dengan tenang, bisa melakukan hobi-hobi saya dengan tenang, tidak ada lagi kunjungan ke rumah Mala setiap Senin, tidak ada lagi luka aneh yang memunculkan percik-percik cahaya. Semuanya masih baik-baik saja di dunia nyata, kan?

“Ini hari apa? Mengapa membangunkan saya pagi sekali?” tanya saya pada ibu.

“Minggu, Kiran. Tapi ibu bangunkan pagi-pagi karena ibu sudah dapat dokter yang tepat. Jadwalnya padat sekali, jadi ibu membuat janji di pagi hari.”

“Dokter? Dokter apa?” saya mulai kebingungan.

“Dokter yang katanya bisa mengobati luka percikmu, Kiran.”

 

***

 

 

 

 

 

Tidak bisa menari lagi,

Apalagi di atas tuts piano

 

26 September 2015, Livia Halim       

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun