***
Lagi.
Dan lagi.
Anehnya, meski tangan kanan saya sering terluka, saya tetap selalu hadir setiap malam Senin. Suatu kali, saya berpikir untuk bertanya kepada Pijar, siapa tahu ia tahu bagaimana cara menyembuhkan luka percik.
“Pernah terluka seperti saya? Pernah dengar obatnya mungkin? Atau ke mana saya harus pergi?” tanya saya.
“Tidak pernah dan tidak tahu, Kiran,” jawab Pijar singkat, tanpa menoleh ke saya. ia menjawab sambil tetap melukis. Apakah ia sudah lelah dengan saya? Ataukah ia benar-benar tidak tahu? Tapi jawaban sesingkat “tidak pernah dan tidak tahu” bukan jawaban yang semestinya keluar dari mulut seseorang yang mendapatkan julukan “Pijar”. Tapi ah sudahlah, toh dia juga hanya tersenyum formalitas ketika pertama kali tahu saya terluka. Pijar memang tidak pernah punya ketertarikan sedikitpun bahkan untuk sekedar mencari jalan keluar. Pijar bahkan mungkin tidak tahu bahwa luka ini disebabkan karenanya.
***
Saya hanya mengangguk secukupnya.
“Hei Kiran, kelihatannya lukamu makin parah. Percikan itu mulai mengotori lantai rumahku. Lihatlah!” seru Mala tiba-tiba. Saya memandang sekeliling, dan terkejut. Kami sedang berada di ruang serba guna Mala. Lantai ruang serba guna yang 60 persennya sudah dipenuhi lukisan Pijar kini menjadi berwarna-warni tak karuan.