Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerpen: Sepercik Luka di Lantai Tempat Kita Pernah Menari

26 September 2015   17:46 Diperbarui: 24 November 2015   23:46 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Hari-hari berikutnya, saya terluka setiap kali mendapat firasat bahwa semua hal-hal kecil yang Pijar lakukan kepada saya hanyalah formalitas semata, tanpa perasaan ataupun emosi terlibat di dalamnya. Ketika saya menenangkan diri di rumah, luka itu akan hilang, namun esoknya ketika mendapat perlakuan formalitas dari Pijar lagi, saya terluka lagi.

Lagi.

Dan lagi.

Anehnya, meski tangan kanan saya sering terluka, saya tetap selalu hadir setiap malam Senin. Suatu kali, saya berpikir untuk bertanya kepada Pijar, siapa tahu ia tahu bagaimana cara menyembuhkan luka percik.

“Pernah terluka seperti saya? Pernah dengar obatnya mungkin? Atau ke mana saya harus pergi?” tanya saya.

“Tidak pernah dan tidak tahu, Kiran,” jawab Pijar singkat, tanpa menoleh ke saya. ia menjawab sambil tetap melukis. Apakah ia sudah lelah dengan saya? Ataukah ia benar-benar tidak tahu? Tapi jawaban sesingkat “tidak pernah dan tidak tahu” bukan jawaban yang semestinya keluar dari mulut seseorang yang mendapatkan julukan “Pijar”. Tapi ah sudahlah, toh dia juga hanya tersenyum formalitas ketika pertama kali tahu saya terluka. Pijar memang tidak pernah punya ketertarikan sedikitpun bahkan untuk sekedar mencari jalan keluar. Pijar bahkan mungkin tidak tahu bahwa luka ini disebabkan karenanya.

***

“Kiran! Kiran! Mengapa bengong saja? Dari tadi tatapan matamu kosong. Oh Kiran, kamu benar-benar butuh istirahat,” suara Mala menyadarkan saya.

Saya hanya mengangguk secukupnya.

“Hei Kiran, kelihatannya lukamu makin parah. Percikan itu mulai mengotori lantai rumahku. Lihatlah!” seru Mala tiba-tiba. Saya memandang sekeliling, dan terkejut. Kami sedang berada di ruang serba guna Mala. Lantai ruang serba guna yang 60 persennya sudah dipenuhi lukisan Pijar kini menjadi berwarna-warni tak karuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun