Saya menjadi panik dan berlari ke arah kamar mandi. Namun rupanya Mala lebih panik lagi karena selanjutnnya setiap lantai yang saya pijak berwarna-warni, terpercik luka saya. Ketika tiba di kamar mandi, saya menyalakan wastafel, bermaksud membasuh luka saya dengan air. Namun yang keluar dari wastafel bukan air, melainkan percik-percik cahaya yang berwarna-warni juga. Mala yang mengikuti saya ke kamar mandi berteriak panik.
Selanjutnya saya merasa sangat pusing. Ruangan seperti berputar dan saya tidak mengenali diri saya lagi.
***
“Kiran! Bangun, Kiran! Sudah siang,” saya dapat mendengar suara ibu memanggil saya.
Saya membuka mata perlahan. Tunggu. Apakah semua itu hanyalah mimpi? Saya melirik ke arah tangan saya. Tidak ada luka sama sekali. Percik-percik cahaya itu tidak ada.
Oh, baguslah.
Lagipula, sewajarnya memang darah lah yang keluar dari luka. Ah, mimpi memang selalu ada-ada saja. Apakah alam bawah sadar saya memang sekreatif itu sampai bisa bermimpi terluka percik? Dalam hati saya tergelak, sekaligus merasa sangat lega.
Sekarang semuanya akan berjalan secara lebih normal, tidak perlu lagi khawatir. Saya bisa melakukan apa pun dengan tenang, bisa melakukan hobi-hobi saya dengan tenang, tidak ada lagi kunjungan ke rumah Mala setiap Senin, tidak ada lagi luka aneh yang memunculkan percik-percik cahaya. Semuanya masih baik-baik saja di dunia nyata, kan?
“Ini hari apa? Mengapa membangunkan saya pagi sekali?” tanya saya pada ibu.
“Minggu, Kiran. Tapi ibu bangunkan pagi-pagi karena ibu sudah dapat dokter yang tepat. Jadwalnya padat sekali, jadi ibu membuat janji di pagi hari.”