Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Cerpen: Ruang Terbang Parama

13 September 2015   17:23 Diperbarui: 13 September 2015   19:43 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Alka kecil suka membangun rumah dari mainan balok-balok kayu. Bukan rumah yang besar, apalagi mewah. Bukan rumah dengan detail-detail yang berlebihan seperti milik orang kaya. Rumah yang Alka bangun sederhana. Ada kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan ruang baca. Ruang baca? Alka kecil tahu bahwa Parama, boneka kecilnya, suka sekali membaca.

Parama adalah sebuah boneka prajurit seukuran ibu jari. Kepalanya berbentuk kubus, rahangnya kotak sempurna. Senyumnya lucu. Baju prajuritnya gagah sekali. Parama sangat berkharisma.

Alka tahu Parama bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. Alka selalu bilang pada semua orang bahwa Parama seringkali terlihat sedang terbang di dalam ruang bacanya. Parama memang tidak memiliki sayap, namun buku bisa membawa Parama terbang menjelajah dunia. Orang-orang dewasa hanya tertawa ketika mendengar Alka berkisah tentang Parama.

Maka, ruang baca dalam rumah balok kayu itu Alka beri nama Ruang Terbang Parama.

*** 

Alka kecil tumbuh besar seperti kamu dan saya. Alka sudah tidak lagi membangun rumah dari balok kayu. Alka pernah tiba di satu titik di mana ia merasa rumah balok kayunya tidak berarti lagi. Alka tiba di satu titik di mana membaca majalah mode remaja lebih menarik daripada melihat Parama terbang, satu titik di mana berbelanja aksesori rambut jauh lebih menarik daripada menceritakan kisah Parama pada orang-orang. Namun, tidak sekali pun Alka melupakan Parama, boneka kecil itu selalu ada di atas meja belajarnya.

Teman-teman Alka yang berkunjung ke rumahnya seringkali bertanya mengapa Parama tidak dibuang saja. Sudah banyak goresan di wajah dan baju Parama. Namun Alka tidak pernah mau membuang Parama. “Saya akan buang Parama jika sudah menemukan yang baru, yang lebih dari Parama,” ujarnya selalu. Parama adalah bagian yang sangat penting dalam hidup Alka, jadi Alka maupun teman-temannya tahu bahwa tidak mungkin ada satu pun yang dapat menggantikan posisi Parama.

*** 

Alka sedang berjalan di kompleks rumahnya, ia baru saja pulang dari membeli sayur, ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Alka refleks menoleh, ternyata seorang laki-laki seumurannya. Seseorang yang belum pernah Alka kenal sebelumnya.

“Tinggal di daerah sini?” tanya laki-laki itu.

Alka mengangguk, ia cukup berhati-hati.

“Saya baru pindah ke sini….”

Alka mengangguk lagi.

“Parama...,” ujar laki- laki itu sambil mengulurkan tangannya, mengajaknya bersalaman.

Alka tersentak mendengar namanya, namun ia mengulurkan tangan juga, menyambut salam Parama. Mereka bersalaman.

“Parama...” gumam Alka masih bingung.

“Namamu Parama juga?” Parama tergelak.

Alka menggeleng dengan cepat, “Alka. Nama saya Alka.”

Alka nyaris menceritakan boneka prajuritnya yang memiliki nama sama dengan laki-laki itu, namun ia mengurungkan niat itu dengan cepat karena hal itu pasti akan terdengar sangat konyol.

“Kalau senggang coba berkunjung ke rumah saya. Atau sekarang kamu sedang senggang?” tanya Parama sambil tersenyum.

Alka memang sedang tidak ada pekerjaan yang cukup penting hari ini, jadi Alka mengangguk.

Kemudian mereka berjalan beriringan dalam kesunyian. Alka memperhatikan Parama, laki-laki itu. Ia memiliki rahang kotak yang menarik sekali.

“Di sini,” ujar Parama tiba-tiba. Alka tersentak, Alka langsung merasa tampaknya ia harus mulai membiasakan diri tidak tersentak dengan apa pun yang Parama lakukan.

Alka mulai memandangi rumah di hadapannya. Rumah ini sederhana, tidak ada apa pun yang spesial. Tampaknya Parama tahu Alka sedang memandangi rumahnya.

“Sebelumnya lahan ini adalah tanah kosong, orang tua membelinya karena saya baru saja pindah ke kota ini untuk kuliah. Jadi dibuat sederhana saja, saya tinggal sendiri di sini,” jelasnya.

Alka hanya mengangguk. Parama sepertinya orang yang baik, dan terpelajar.

“Masuk, jangan sungkan.”

Alka membuntuti Parama masuk ke dalam rumah. Mereka mulai berkeliling di dalamnya. Rumah ini sangat nyaman, mungkin karena masih baru, pikir Alka.

“Nah, ini ruang baca,” kata Parama sambil menepuk bahu Alka. Alka tersentak, lagi.

“LAGI?” Alka spontan berbicara cukup keras.

“Apa?”

Alka hanya menggeleng. Parama tampak bingung.

Alka masuk ke ruang baca itu sebelum Parama sempat mempersilakan. Banyak rak buku. Lantai ruangan itu dilapisi karpet warna hijau rumput, langit-langitnya dilapisi wallpaper bergambar awan-awan, seperti langit.

“Kenapa ruang baca? Kenapa langit? Kenapa?” tanya Alka terburu- buru.

“Kenapa ruang baca? Karena saya suka membaca. Kenapa langit? Karena buku membawa saya terbang?”

“Terbang ke mana? Mana bisa? Semua ini tidak ada artinya, kamu tahu? Terbang? Oh ya? Terbang?” Alka mulai kebingungan, hampir marah, sebagian dari dirinya berpikir ini mungkin cuma mimpi.

Parama hanya tersenyum, lalu mengambil sebuah buku besar dan tebal bersampul biru langit, polos. Parama membukanya, Alka hanya memperhatikan dengan bingung. Bagian dalam buku itu kosong.

“Kosong?” suara Alka mulai terdengar parau, ia semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Parama mengulurkan tangannya, Alka pun menyambutnya karena saat itu ia sudah tidak bisa lagi berpikir. Parama menuntun Alka masuk ke dalam buku itu. Selanjutnya, semua yang dapat dilihat Alka adalah awan. Mereka ada di langit, langit yang tidak pernah Alka kenal. Langit dengan awan berwarna-warni. Untuk beberapa waktu, Alka hanya memasrahkan dirinya pada keadaan. Menikmati apa yang selama ini orang bilang terbang. Bersama Parama. Alka bisa merasakan angin yang lembut menyapanya, memainkan rambut panjangnya. Tubuh Alka terasa ringan. Tangannya melepaskan genggaman Parama. Alka tahu tidak perlu selalu bergenggam tangan untuk terbang, selama mereka masih terbang beriringan.

Kala terbang, waktu sudah tidak penting lagi. Alka tidak tahu sudah berapa lama mereka terbang, namun Alka tidak merasa bosan sedikit pun.

“Apakah waktu merupakan hal yang nyata di sini?” tanya Alka kepada Parama.

“Saya kira kamu tuhannya,” jawab Parama sambil tertawa.

***

“Halo, Bulan,” sapa Alka malam itu melalui jendela kamarnya, “Saya tahu selelah apa kamu harus berjaga setiap malam untuk menerangi saya. Namun saya baru saja pulang dari tempat di mana kamu bisa liburan… sepuasnya! Tidak ada malam!”

Alka bisa melihat bulan sabit memutar dirinya, membentuk suatu senyuman. Alka tahu bulan ikut senang mendengarnya. Kemudian Alka menutup jendela kamarnya dan terlelap, sambil tersenyum.

*** 

Pagi itu, setelah mandi dan berpakaian, Alka langsung berlari ke arah rumah Parama. Alka ingin terbang beriringan. Alka berlari dengan penuh semangat. Ia tahu Parama pasti akan menyambutnya dengan hangat, mereka akan terlibat pembicaraan yang menyenangkan, kemudian Parama akan mengajaknya terbang, tentu saja. Semuanya begitu jelas di benak Alka.

Namun kali ini Alka tidak menemukan rumah Parama. Tidak ada rumah di lahan itu, tidak ada ruang baca. Hanya ada rerumputan. Namun Alka melihat Parama di sana. Parama tidak sendiri. Ia duduk di rumput bersama seseorang lain yang tidak Alka kenal, seorang gadis berambut sebahu dengan gaun yang manis sekali. Alka bisa melihat dengan jelas Parama sedang menyelipkan bunga di telinga gadis itu, kemudian mereka berdua tertawa bahagia. Kaki Alka menjadi lemas. Ia berlari pulang.

Alka mengambil kotak berisi mainan balok kayunya. Kemudian ia kembali berlari ke luar, berlari sekencang-kencangnya dengan kesal. Berlari terasa sangat melelahkan. Alka pun mencoba untuk terbang, ia yakin ia mampu karena kemarin ia baru saja terbang.

Lalu Alka terbang, tanpa tujuan.

Alka terus terbang hingga ia menemukan sebuah pulau yang tampaknya tidak berpenghuni. Alka pun turun perlahan ke sana. Alka mengeluarkan balok-balok kayunya dan mulai membangun rumah, disertai dengan ruang baca.

Namun ketika rumah itu selesai, Alka menyadari bahwa tanpa Parama, semua ini tidak ada artinya. Sempat tebersit di benak Alka untuk kembali pulang dan mengambil boneka Parama-nya, namun ia sadar, boneka Parama sudah terganti oleh Parama yang lain, laki-laki yang pernah mengajaknya terbang walau hanya sekali.

Alka menyerah. Alka menangis.

Menangis…

Menangis…

Menangis…

M e n a n g i s…

M   e   n   a   n   g   i   s…

 

Esoknya, seluruh dunia digegerkan oleh berita yang mengejutkan. Sebuah pulau tenggelam tak bersisa. Tidak ada yang tahu mengapa.

 

 

 

 

 

Ruang Terbang Parama,

tidak lagi terbang beriringan

12 September 2015

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun