Alka hanya menggeleng. Parama tampak bingung.
Alka masuk ke ruang baca itu sebelum Parama sempat mempersilakan. Banyak rak buku. Lantai ruangan itu dilapisi karpet warna hijau rumput, langit-langitnya dilapisi wallpaper bergambar awan-awan, seperti langit.
“Kenapa ruang baca? Kenapa langit? Kenapa?” tanya Alka terburu- buru.
“Kenapa ruang baca? Karena saya suka membaca. Kenapa langit? Karena buku membawa saya terbang?”
“Terbang ke mana? Mana bisa? Semua ini tidak ada artinya, kamu tahu? Terbang? Oh ya? Terbang?” Alka mulai kebingungan, hampir marah, sebagian dari dirinya berpikir ini mungkin cuma mimpi.
Parama hanya tersenyum, lalu mengambil sebuah buku besar dan tebal bersampul biru langit, polos. Parama membukanya, Alka hanya memperhatikan dengan bingung. Bagian dalam buku itu kosong.
“Kosong?” suara Alka mulai terdengar parau, ia semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Parama mengulurkan tangannya, Alka pun menyambutnya karena saat itu ia sudah tidak bisa lagi berpikir. Parama menuntun Alka masuk ke dalam buku itu. Selanjutnya, semua yang dapat dilihat Alka adalah awan. Mereka ada di langit, langit yang tidak pernah Alka kenal. Langit dengan awan berwarna-warni. Untuk beberapa waktu, Alka hanya memasrahkan dirinya pada keadaan. Menikmati apa yang selama ini orang bilang terbang. Bersama Parama. Alka bisa merasakan angin yang lembut menyapanya, memainkan rambut panjangnya. Tubuh Alka terasa ringan. Tangannya melepaskan genggaman Parama. Alka tahu tidak perlu selalu bergenggam tangan untuk terbang, selama mereka masih terbang beriringan.
Kala terbang, waktu sudah tidak penting lagi. Alka tidak tahu sudah berapa lama mereka terbang, namun Alka tidak merasa bosan sedikit pun.
“Apakah waktu merupakan hal yang nyata di sini?” tanya Alka kepada Parama.
“Saya kira kamu tuhannya,” jawab Parama sambil tertawa.