Saya selalu tahu saya ke sini untuk mencari kamu. Saya tidak tahu kamu siapa, namun saya tahu saya butuh kamu. Pemandangan di tempat ini sudah tidak asing lagi. Lorong panjang warna- warni, manusia- manusia misterius berbaris mematung, dengan memakai topeng- topeng kelinci yang sama. Mata mereka memandang kosong. Saya tidak takut, tetapi saya gemetar karena tidak menemukan kamu. Saya tahu kamu tidak bertopeng, saya tahu kamu ada di sini, namun saya tidak bisa menemukan kamu.
Saya selalu berusaha berlari menyusuri lorong ini, tetapi kaki saya selalu terasa berat, sulit sekali digerakkan. Lari saya selalu lamban. Terkadang pemandangan ini dengan cepat direnggut dari saya. Terkadang pula saya sampai ke ujung lorong, namun bagian ujung lorong ini tidak memberikan jawaban dari pencarian saya, bahkan lebih buruk, sebuah labirin. Saya tidak pernah sampai ke labirin itu, sekali pun. Karena labirin itu pun kerap kali cepat direnggut dari saya.
Saya selalu berakhir terbangun dengan mata sembab.
***
Suatu kali saya berada di tempat berbeda. Kali ini saya bersama kamu. Kita duduk di sebuah taman yang sangat besar, di malam hari. Saya bisa merasakan kehadiran banyak orang di sini, namun saya hanya memerhatikan langitnya. Langitnya merah muda, bukan hitam. Tidak ada bulan, namun banyak bintang. Bintang- bintang itu tertata rapi sekali, mereka tampak seperti digantung di sana, tepatnya sengaja digantung. Oleh siapa? Mungkin oleh saya sendiri, bagian diri saya yang lain, bagian diri saya yang selama ini terbang mencari celah di jiwa kamu.
Saya tidak mempertanyakan apapun, karena kamu begitu dekat. Saya tidak berani memandang kamu sedikitpun, atau mengatakan sepatah katapun. Sejenak saya tidak ingin tahu nama kamu. Saya cuma ingin selalu sedekat ini. Saya cuma ingin selalu terbebas dari lorong warna- warni dan manusia- manusia bertopeng kelinci.
Kamu mempertanyakan banyak hal, namun saya tidak bisa memfokuskan diri untuk mendengarnya. Sebagian besar diri saya tidak berfungsi, tapi anehnya saya merasa senang.
Saya tahu ini semua akan direnggut juga. Maka saya merekam dengan baik perasaan saya ketika saya bersama dengan kamu. Saya tidak ingat pernah memelihara ratusan kupu- kupu di dalam perut saya, tapi ketika bersama kamu, mereka seperti serentak mau keluar dari sana. Tiba- tiba saya tahu warna- warna sayap kupu- kupu itu, ada yang merah muda dengan titik- titik putih yang bersinar, seperti langit ketika bersama kamu. Ada yang warnanya warna kesukaan kamu dan warna kesukaan saya. Ada yang warnanya tidak bisa dijelaskan dengan kata- kata karena warnanya persis seperti rindu.
Pagi itu, semuanya direnggut tetapi saya merasa menang karena telah berhasil merekam perasaan bersama kamu. Saya merasa lebih bersemangat. Ibu bertanya apa yang membuat saya tampak begitu ceria, namun saya memilih untuk menyimpan semua kisah malam sebelumnya sendiri. Saya juga merasahasiakan dari ibu bahwa ternyata saya memelihara ratusan kupu- kupu. Jika ia tahu, ia bisa marah dibuatnya. Ibu tidak pernah setuju saya memelihara binatang, “bisa- bisa tidak terurus”, katanya selalu.
Langkah kaki saya hari itu menjadi sangat ringan. Saya melihat banyak manusia dengan topeng kelinci, oh tidak, bukan cuma kelinci, tapi juga topeng babi, anjing, bahkan ular. Namun bedanya, mereka tidak hanya diam berbaris. Mereka mengobrol, bercanda, dan tertawa satu sama lain. Anehnya, mereka sendiri tidak menyadari bahwa mereka sedang memakai topeng. Tunggu, atau apakah sekarang dunia ini memang mengharuskan penghuninya memakai topeng? Apakah saya terlalu sering berkunjung ke lorong topeng kelinci sampai tidak menyadari ada peraturan baru di dunia ini? Tapi ah sudahlah, yang penting kamu tidak bertopeng.
Saya bertanya- tanya kamu di mana pada siang hari seperti ini. Saya enggan bertanya pada salah satu manusia bertopeng segala binatang ini, jauh lebih enggan daripada bertanya pada para topeng kelinci. Saya memutuskan untuk terus berjalan saja.
Saya tidak tahu rupamu di bawah langit merah muda bergantung bintang- bintang, apalagi di sini. Saya hampir menyerah ketika tiba- tiba kupu- kupu dalam perut saya memberontak.
“Hei…”
Itu kamu! Kamu menyapa saya! Saya tahu itu kamu, saya memandang ke depan dan tertegun. Sebagian diri saya terasa seperti terenggut. Kamu berada di depan saya. Saya tidak tahu harus menangis atau tertawa, kamu persis seperti dugaan saya, kamu tidak memakai topeng.
Saya ingin bertanya banyak, ingin bertanya mengapa semua orang lain memakai topeng, ingin bertanya mengapa kamu tidak membeli topeng juga, ingin bertanya sejak kapan peraturan wajib memakai topeng diberlakukan. Namun, bibir saya kaku, bahkan seluruh diri saya kaku, tidak keluar apapun dari bibir saya. Sepasang kupu- kupu yang berhasil keluar dari perut saya menarik kedua ujung bibir saya agar saya tersenyum, rupanya mereka sadar saya tertegun sampai lupa tersenyum. Jadi, tersenyum. Itulah satu- satunya yang saya lakukan.
“Mau ke mana?” tanya kamu. Saya dapat melihat kamu menyeritkan dahi sedikit, memicingkan mata sedikit, sekaligus memiringkan kepala sedikit.
Sejenak saya lupa mau ke mana. Benar- benar lupa. Itu pertama kalinya saya lupa mau ke mana. Saya tahu ini saatnya untuk berbicara sesuatu, setidaknya jika lupa katakan saja apapun yang ada di otak saya. Namun otak saya juga tidak bekerja. Saya memandang ke arah langit, biru muda, matahari bersinar terik. Bukan, ini bukan langit merah muda itu, namun mengapa saya tetap tidak bisa bicara?
Saya akhirnya berbicara, namun saya tidak tahu apa yang saya bicarakan, saya terbata- bata. Saya merasa kehilangan diri saya sendiri.
“Oh oke”, ujar kamu lagi, sambil tersenyum. Tersenyum!
Kamu berlalu, saya pun berlalu ke arah yang berlawanan. Saya pura- pura melenggang dengan yakin, padahal saya masih lupa.
Satu yang saya yakin, saya kini tahu rupa kamu. Tidak perlu mencari di lorong berwarna- warni, tidak perlu menunggu tanda dari kupu-kupu lagi.
***
Malam ini saya berada di lorong berwarna- warni lagi. Kali ini saya tidak berusaha mencari kamu, tidak berusaha berlari dengan kesia- siaan, tidak berusaha masuk ke labirin. Saya hanya merasa amat perlu berbicara kepada salah satu manusia bertopeng kelinci di sana. Saya menyadari jika saya mampu menggantungkan bintang- bintang di dunia yang ini, maka seharusnya saya juga mampu sekedar berbicara kepada salah satu dari mereka. Bukankah artinya mereka muncul dari diri saya yang lain juga?
Lantas dengan tidak ragu, saya mendekati salah satu manusia bertopeng kelinci, seraya berbisik, “jika suatu hari nanti kita terlahir kembali dengan wujud dan identitas yang sama, ingatkan saya untuk mencarinya lebih awal.”
Lalu saya menarik napas dalam- dalam dan menutup mata saya.
Saya terbangun di kamar saya, saya memandang sekeliling. Matahari sudah duduk manis di atas langit, namun sinarnya mengintip melalui jendela kamar saya, saya merasa sedikit terganggu namun saya yakin itu hanya cara si matahari untuk mengucapkan selamat datang kembali di dunia yang ini kepada saya. Saya pun bangkit dari tempat tidur, berjalan pelan ke arah cermin, kemudian berkaca.
Tunggu.
Siapa ini? Saya tidak mengenali wajah saya pagi ini.
Oh ya, ada yang salah juga dengan kamar ini. Mengapa tampaknya berantakan sekali kamar saya pagi ini? Saya memandang sekeliling, dan menyadari ada banyak topeng- topeng kelinci yang rusak berserakan di lantai kamar saya.
Anehnya, lagi- lagi saya merasa senang.
Kemudian saya memungut topeng- topeng itu dan membuang semua topeng itu ke langit, agar dibakar oleh matahari dan musnah selamanya.
Lorong topeng kelinci, langit merah muda
1 September 2015
Ataukah sistem penanggalan sudah tak lagi sama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H