Saya tidak tahu rupamu di bawah langit merah muda bergantung bintang- bintang, apalagi di sini. Saya hampir menyerah ketika tiba- tiba kupu- kupu dalam perut saya memberontak.
“Hei…”
Itu kamu! Kamu menyapa saya! Saya tahu itu kamu, saya memandang ke depan dan tertegun. Sebagian diri saya terasa seperti terenggut. Kamu berada di depan saya. Saya tidak tahu harus menangis atau tertawa, kamu persis seperti dugaan saya, kamu tidak memakai topeng.
Saya ingin bertanya banyak, ingin bertanya mengapa semua orang lain memakai topeng, ingin bertanya mengapa kamu tidak membeli topeng juga, ingin bertanya sejak kapan peraturan wajib memakai topeng diberlakukan. Namun, bibir saya kaku, bahkan seluruh diri saya kaku, tidak keluar apapun dari bibir saya. Sepasang kupu- kupu yang berhasil keluar dari perut saya menarik kedua ujung bibir saya agar saya tersenyum, rupanya mereka sadar saya tertegun sampai lupa tersenyum. Jadi, tersenyum. Itulah satu- satunya yang saya lakukan.
“Mau ke mana?” tanya kamu. Saya dapat melihat kamu menyeritkan dahi sedikit, memicingkan mata sedikit, sekaligus memiringkan kepala sedikit.
Sejenak saya lupa mau ke mana. Benar- benar lupa. Itu pertama kalinya saya lupa mau ke mana. Saya tahu ini saatnya untuk berbicara sesuatu, setidaknya jika lupa katakan saja apapun yang ada di otak saya. Namun otak saya juga tidak bekerja. Saya memandang ke arah langit, biru muda, matahari bersinar terik. Bukan, ini bukan langit merah muda itu, namun mengapa saya tetap tidak bisa bicara?
Saya akhirnya berbicara, namun saya tidak tahu apa yang saya bicarakan, saya terbata- bata. Saya merasa kehilangan diri saya sendiri.
“Oh oke”, ujar kamu lagi, sambil tersenyum. Tersenyum!
Kamu berlalu, saya pun berlalu ke arah yang berlawanan. Saya pura- pura melenggang dengan yakin, padahal saya masih lupa.
Satu yang saya yakin, saya kini tahu rupa kamu. Tidak perlu mencari di lorong berwarna- warni, tidak perlu menunggu tanda dari kupu-kupu lagi.
***