Di luar konteks agama dan kepercayaan, seberapa sering Anda meyakini sesuatu seyakin-yakinnya; beradu sampai ngotot, atau bahkan sampai terbawa sakit hati? Saya pribadi jarang mengalaminya, namun bukan karena saya orang bijak atau berhati lapang dan semacamnya, tapi karena saya menghindari perdebatan sebisa mungkin. Apalagi, saya seringkali menganggap bahwa semua orang "benar", termasuk saya ...
Awalnya, saya pikir saya hanya seorang penakut, bahkan saya sempat berpikir bahwa saya tidak punya pendirian. Namun, setelah memasuki dunia sekolah alam dan mulai mengenal konsep bakat, saya akhirnya paham bahwa saya sebenarnya tidak begitu.Â
Sebenarnya, saya bukan penakut atau tidak punya pendirian, tapi saya punya bakat harmony, yaitu cenderung mencari titik tengah dan irisan dari masing-masing pendapat. Dan jika dipikir-pikir, tidak semua pendapat saya anggap "benar". Ada semacam standardisasi yang membuat saya menganggapnya "benar", yaitu argumennya. Barangkali, yang satu ini karena pengaruh bakat intellection yang saya miliki.
Nah, kembali ke pertanyaan awal. Pernahkah Anda meyakini sesuatu seyakin-yakinnya, bahkan sampai ngotot membelanya? Jika iya, saya sarankan Anda untuk membaca tulisan saya di bawah ini. Jika tidak, yah, saya juga menyarankan Anda untuk membacanya--brangkali bisa menjadi kudapan renyah untuk pikiran Anda.
Kacamata
Entah kenapa akhir-akhir ini saya menjumpai banyak sekali orang-orang beradu mulut, entah itu kolom komentar, di jalan, di perumahan, WC umum, bahkan sampai mengekor ke dalam mimpi saya. Tak jarang adu mulut itu sampai menonjolkan urat, bahkan ada yang sampai berujung adu tampar, atau setidaknya, berujung sakit hati yang akhirnya menjadi sebab adu mulut berikutnya. Mereka ngotot bahwa pendapat merekalah yang paling benar. Duh, sebagai orang dengan bakat harmony yang kuat, semua konflik ini membuat saya sering mengelus dada, meskipun saya hanya jadi pendengar.
Akhirnya, daripada semakin pusing, saya memutuskan untuk melepas penat dengan berkendara di jalanan Penajam. Seperti biasa, untuk menangkal sinar matahari Penajam yang menyolok mata, saya menggunakan kacamata hitam andalan saya.
Sepanjang perjalanan menggunakan kacamata itulah saya mendapatkan momen inner peace saya. Saya menjadi sedikit maklum ketika menyadari alasan kenapa orang-orang itu tak lelah ribut-ribut, yaitu perspektif mereka.
Jadi, mengenakan kacamata hitam ala Boboho ini seharian membuat saya memikirkan kembali renungan lama saya, bahwa ternyata banyak hal yang kita anggap benar di dunia ini rupanya hanya sesuatu yang disepakati oleh mayoritas orang, dan bukan kebenaran yang sejati. Bahkan, sering kali, kebenaran itu hanya terletak di kacamata atau perspektif yang kita pakai.
Di masa lalu, saya pernah mengikuti wawancara kerja di sebuah lembaga pendidikan. Pewawancara mempertanyakan jawaban di lembar ujian saya yang intinya menyatakan bahwa paus adalah ikan.
"Memangnya paus itu ikan," katanya, dengan ekspresi puas karena berhasil menjebak saya lewat soal Ujian Pengetahuan Umum itu.
"Ya," jawab saya mantap. "Menurut UU no. 45 tahun 2009, paus adalah ikan."
Saya tidak salah. Bahkan, menurut pendekatan kladistika, cabang dari taksonomi modern, paus termasuk dalam kelompok yang sama dengan ikan.
Pengalaman lain saya alami saat masih duduk di bangku SMA. Seorang guru mapel Pendidikan Agama Islam memberikan sebuah pertanyaan yang saya pikir bersifat terbuka, "Katakanlah di sebuah persimpangan tiga, ada dua kendaraan yang akan saling memotong. Satu belok, yang satu lagi lurus terus. Mana yang harusnya kita dahulukan?"
Saya menjawab, "Yang lurus." Alasannya sederhana, sebab berdasarkan peraturan lalu lintas di Indonesia, instruksinya memang begitu. Menurut saya, jawaban itu juga bisa didukung dengan teori yang saintifik: kendaraan yang bergerak lurus memiliki kecepatan yang lebih tinggi, sehingga momentumnya pun juga besar; sementara kendaraan yang hendak belok pasti sudah mengurangi kecepatan, sehingga momentumnya lebih kecil sehingga jauh lebih mudah untuk dikendalikan.
Namun, jawaban saya itu dinilai salah oleh sang guru. Pertanyaan itu rupanya bersifat tertutup dengan satu jawaban: utamakan yang belok. Sang guru menjelaskan, ketika belok, pengendara akan lebih repot karena harus mengatur perseneling dan segala macam, sehingga seharusnya pengendara yang bergerak lurus mengalah karena tinggal menekan tuas rem.
Dari dua pengalaman di atas, lantas siapa yang paling "benar"? Siapa yang "salah"?
Menurut saya, tidak ada yang salah, baik saya maupun lawan bicara yang menyatakan jawaban saya salah, tapi, saya juga mengatakan tidak ada yang paling benar.
Tidak ada yang paling benar. Akan tetapi, saya yakin ada jawaban yang tepat, yaitu yang paling sesuai dengan konteks keadaannya.
Di cerita kedua, guru saya menjelaskan dengan sudut pandang seorang guru PAI yang sedang menanamkan sikap altruis pada peserta didik. Maka, dalam hal ini, guru saya benar, apalagi saya merasakan sendiri bagaimana rempongnya mengatur kopling kendaraan di belokan terutama di jalanan yang menukik. Akan tetapi, ketika di jalan raya, tentu saja saya akan mendahulukan pengendara yang lurus, sesuai dengan UU LLAJ pasal 113. Sebab, itulah yang ditetapkan pihak berwenang dan harus ditaati oleh semua pengguna jalan.
Dari cerita pertama, jika sesuai konteks, jawaban yang menurut saya lebih tepat adalah "paus bukan ikan". Bukan berarti jawaban "paus adalah ikan" itu salah, ya. Saya sudah menyampaikan beberapa sudut pandang yang mendukung bahwa "paus adalah ikan" di atas.
Namun, ya itu tadi, harus sesuai konteks. Di sini, konteksnya adalah saya sebagai calon pengajar di lembaga pendidikan tersebut, maka saya harusnya mengikuti standar kurikulum yang digunakan oleh lembaga tersebut. Sedikit intermezzo, saya menjawab demikian murni karena ego saya untuk memberi pelajaran. Saya tidak suka ketika orang mengetes saya hanya untuk mencemooh jawaban yang tidak sesuai dengan mereka, haha.
Sadar atau tidak, hal seperti ini sering terjadi di kehidupan kita. Kasus penegakan hukum misalnya, sering menjadi sorotan publik karena dianggap pilih kasih. Seringkali hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa tidak sesuai keinginan masyarakat yang menginginkan hukuman seberat-beratnya bahkan sampai eksekusi mati. Nyatanya, jika kita melihat dari kacamata hukum, tidak sesederhana itu. Hukuman harus dijatuhkan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar, artinya, sesuatu yang tidak teratur dalam pasal tidak bisa dihukumi. Selain itu, untuk menggunakan pasal itu, dibutuhkan bukti yang banyak dan sangat kuat.
Bapak saya yang seorang polisi pernah bercerita. Saya agak lupa detilnya, jika ada yang lebih paham, mohon dikoreksi, ya. Jadi ceritanya, pernah ada sebuah kasus penyelundupan barang dari luar negeri. Penyidik yang mengajukan pelanggaran tersebut ditolak lantaran tidak punya wewenang atas kasus tersebut. Kasus tersebut diwenangi oleh Bea Cukai, dan jika mau dilakukan peradilan, harus pihak Bea Cukai yang mengajukannya. Sayangnya, oknum Bea Cukai dalam cerita bapak saya itu menolak menangani kasus itu, entah apa alasannya. Namun, pada akhirnya kasus itu tetap naik ke pengadilan, tidak dengan pasal ekspor-impor, tapi dengan pasal pemalsuan dokumen yang wewenangnya dipegang oleh kepolisian.
Intinya, kasus tersebut tidak dianggap sebuah masalah dari segi ekspor-impor, tapi bisa dipermasalahkan jika dipandang dari sudut keresmian dokumen.
Nah, bagaimana? Bahasan soal sudut pandang ini menarik, bukan? Itu baru beberapa contoh. Masih banyak lagi contoh-contoh problema lain yang intinya berada pada sudut pandang dan konteksnya yang paling cocok, bukan pada siapa yang paling benar.
Kembali lagi soal kacamata dan perspektif. Di luar konteks agama dan kepercayaan, saya sendiri sebisa mungkin tidak menganggap bahwa "kebenaran" yang saya yakini bukan "kebenaran sejati". Maka, saya tidak berani memberikan orang lain jawaban atau keputusan yang "benar", tetapi saya selalu berusaha memberi jawaban atau keputusan yang memiliki dasar dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, saya juga berusaha tidak memaksa ataupun bersikap reaktif terhadap jawaban atau keputusan orang lain yang tidak sesuai dengan saya, tentu selama hal tersebut memiliki dasar yang cukup.
Singkatnya, ketika sesuatu memiliki argumen yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan, saya tidak akan mendebatnya. Nah, bagaimana dengan Anda?
***
Penulis:
Listian Nova. Penombak bebas (freelancer) yang suka bertualang di berbagai dimensi kata, baik fiksi, opini, sastra, maupun ceracau ngawur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H