"Ya," jawab saya mantap. "Menurut UU no. 45 tahun 2009, paus adalah ikan."
Saya tidak salah. Bahkan, menurut pendekatan kladistika, cabang dari taksonomi modern, paus termasuk dalam kelompok yang sama dengan ikan.
Pengalaman lain saya alami saat masih duduk di bangku SMA. Seorang guru mapel Pendidikan Agama Islam memberikan sebuah pertanyaan yang saya pikir bersifat terbuka, "Katakanlah di sebuah persimpangan tiga, ada dua kendaraan yang akan saling memotong. Satu belok, yang satu lagi lurus terus. Mana yang harusnya kita dahulukan?"
Saya menjawab, "Yang lurus." Alasannya sederhana, sebab berdasarkan peraturan lalu lintas di Indonesia, instruksinya memang begitu. Menurut saya, jawaban itu juga bisa didukung dengan teori yang saintifik: kendaraan yang bergerak lurus memiliki kecepatan yang lebih tinggi, sehingga momentumnya pun juga besar; sementara kendaraan yang hendak belok pasti sudah mengurangi kecepatan, sehingga momentumnya lebih kecil sehingga jauh lebih mudah untuk dikendalikan.
Namun, jawaban saya itu dinilai salah oleh sang guru. Pertanyaan itu rupanya bersifat tertutup dengan satu jawaban: utamakan yang belok. Sang guru menjelaskan, ketika belok, pengendara akan lebih repot karena harus mengatur perseneling dan segala macam, sehingga seharusnya pengendara yang bergerak lurus mengalah karena tinggal menekan tuas rem.
Dari dua pengalaman di atas, lantas siapa yang paling "benar"? Siapa yang "salah"?
Menurut saya, tidak ada yang salah, baik saya maupun lawan bicara yang menyatakan jawaban saya salah, tapi, saya juga mengatakan tidak ada yang paling benar.
Tidak ada yang paling benar. Akan tetapi, saya yakin ada jawaban yang tepat, yaitu yang paling sesuai dengan konteks keadaannya.
Di cerita kedua, guru saya menjelaskan dengan sudut pandang seorang guru PAI yang sedang menanamkan sikap altruis pada peserta didik. Maka, dalam hal ini, guru saya benar, apalagi saya merasakan sendiri bagaimana rempongnya mengatur kopling kendaraan di belokan terutama di jalanan yang menukik. Akan tetapi, ketika di jalan raya, tentu saja saya akan mendahulukan pengendara yang lurus, sesuai dengan UU LLAJ pasal 113. Sebab, itulah yang ditetapkan pihak berwenang dan harus ditaati oleh semua pengguna jalan.
Dari cerita pertama, jika sesuai konteks, jawaban yang menurut saya lebih tepat adalah "paus bukan ikan". Bukan berarti jawaban "paus adalah ikan" itu salah, ya. Saya sudah menyampaikan beberapa sudut pandang yang mendukung bahwa "paus adalah ikan" di atas.
Namun, ya itu tadi, harus sesuai konteks. Di sini, konteksnya adalah saya sebagai calon pengajar di lembaga pendidikan tersebut, maka saya harusnya mengikuti standar kurikulum yang digunakan oleh lembaga tersebut. Sedikit intermezzo, saya menjawab demikian murni karena ego saya untuk memberi pelajaran. Saya tidak suka ketika orang mengetes saya hanya untuk mencemooh jawaban yang tidak sesuai dengan mereka, haha.