Sadar atau tidak, hal seperti ini sering terjadi di kehidupan kita. Kasus penegakan hukum misalnya, sering menjadi sorotan publik karena dianggap pilih kasih. Seringkali hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa tidak sesuai keinginan masyarakat yang menginginkan hukuman seberat-beratnya bahkan sampai eksekusi mati. Nyatanya, jika kita melihat dari kacamata hukum, tidak sesederhana itu. Hukuman harus dijatuhkan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar, artinya, sesuatu yang tidak teratur dalam pasal tidak bisa dihukumi. Selain itu, untuk menggunakan pasal itu, dibutuhkan bukti yang banyak dan sangat kuat.
Bapak saya yang seorang polisi pernah bercerita. Saya agak lupa detilnya, jika ada yang lebih paham, mohon dikoreksi, ya. Jadi ceritanya, pernah ada sebuah kasus penyelundupan barang dari luar negeri. Penyidik yang mengajukan pelanggaran tersebut ditolak lantaran tidak punya wewenang atas kasus tersebut. Kasus tersebut diwenangi oleh Bea Cukai, dan jika mau dilakukan peradilan, harus pihak Bea Cukai yang mengajukannya. Sayangnya, oknum Bea Cukai dalam cerita bapak saya itu menolak menangani kasus itu, entah apa alasannya. Namun, pada akhirnya kasus itu tetap naik ke pengadilan, tidak dengan pasal ekspor-impor, tapi dengan pasal pemalsuan dokumen yang wewenangnya dipegang oleh kepolisian.
Intinya, kasus tersebut tidak dianggap sebuah masalah dari segi ekspor-impor, tapi bisa dipermasalahkan jika dipandang dari sudut keresmian dokumen.
Nah, bagaimana? Bahasan soal sudut pandang ini menarik, bukan? Itu baru beberapa contoh. Masih banyak lagi contoh-contoh problema lain yang intinya berada pada sudut pandang dan konteksnya yang paling cocok, bukan pada siapa yang paling benar.
Kembali lagi soal kacamata dan perspektif. Di luar konteks agama dan kepercayaan, saya sendiri sebisa mungkin tidak menganggap bahwa "kebenaran" yang saya yakini bukan "kebenaran sejati". Maka, saya tidak berani memberikan orang lain jawaban atau keputusan yang "benar", tetapi saya selalu berusaha memberi jawaban atau keputusan yang memiliki dasar dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, saya juga berusaha tidak memaksa ataupun bersikap reaktif terhadap jawaban atau keputusan orang lain yang tidak sesuai dengan saya, tentu selama hal tersebut memiliki dasar yang cukup.
Singkatnya, ketika sesuatu memiliki argumen yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan, saya tidak akan mendebatnya. Nah, bagaimana dengan Anda?
***
Penulis:
Listian Nova. Penombak bebas (freelancer) yang suka bertualang di berbagai dimensi kata, baik fiksi, opini, sastra, maupun ceracau ngawur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H