Tidak ada yang ingin diduakan. Semua ingin menjadi pertama, syukur-syukur yang terakhir. Lalu, apa kabar anak nomor dua kalau begitu?
Menjadi anak kedua atau anak tengah acap kali dihubungkan dengan sesuatu yang kurang menguntungkan. Seperti dianggap kurang mendapat perhatian dari orang tuanya jika dibandingkan si kakak yang pernah terlahir pertama atau si adik yang menjadi paling kecil di keluarga.
Bahkan ada istilah psikologis yang khusus untuk melabeli si anak dua ini. Namanya middle child syndrome atau sindrom anak tengah.
Sindrom atau hal-hal (seperti emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi.
Soal urutan kelahiran dengan kepribadian seseorang bukanlah sesuatu yang baru. Teori tentang pentingnya urutan kelahiran pada perkembangan kepribadian ini diyakini oleh Alfred Adler pada tahun 1964.
Di mana dalam teorinya menyatakan adanya ciri khas kepribadian dari masing-masing anak tergantung dari urutan ia dilahirkan. Namun teori tersebut tidak sepenuhnya benar, karena hasilnya justru banyak bertentangan.
Ya, kepribadian seorang memang tidak hanya berpatok pada urutannya saja. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi seperti faktor dari lingkungan keluarga itu sendiri.
Saya jadi ingat tokoh bernama Aurora yang diperankan oleh Sheila Dara Aisha dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Aurora yang berbakat tetapi sering merasa terabai.
Aurora si anak nomor dua yang menganggap keluarganya telah kehilangan dirinya dan membuat ia memendam lukanya sendiri.
Namun semua berakhir bahagia, ketika Aurora akhirnya pergi mengejar mimpinya selama ini. Berkat dukungan keluarganya.
Apakah Aurora adalah tipikal anak nomor dua?
Merasakan Sendiri Menjadi Anak Nomor Dua
Aurora hadir dalam film, saya hadir di dunia nyata. Maksudnya saya juga anak nomor dua.
Memang benar menjadi nomor dua sering tidak terpikirkan banyak orang. Seperti perkataan orang-orang kepada saya yang lebih sering menanyakan "anak pertama, ya?" atau "Bungsu, ya?" jarang yang kemudian melontarkan "anak tengah, ya?" HAHA.
Apakah saya menyesal karena dilahirkan di antara saudara-saudara saya? Ehem, pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.
Sebab yang terpenting percayalah bahwa anak kedua tidak selamanya sengenes apa katanya dan semenjengkelkan dugaan-dugaan yang sering membayanginya.
Karena saya merasakan sendiri. Berada di tengah juga menguntungkan.
Seperti menjadi di tengah-tengah ternyata menjadikan posisi anak tengah lebih mudah untuk dekat dengan kakak atau adik. Apalagi jika jarak kelahiran tidak terlalu jauh. Seperti saya dan kakak, juga adik. Yang masing-masing berbeda jarak empat tahun.
Dan itu terasa ketika kami sama-sama sudah tidak anak-anak lagi. Sebagai anak kedua saya jadi sering dicurhati, apa saja.
Yang lucu lagi, terkadang momennya bersamaan. Anak kedua menjadi tempat curhat paling baik. Lalu anak kedua curhat pada siapa dong? Tinggal pilihlah.
Selain sering dipercaya menyimpan rahasia, anak kedua juga cenderung menghindari pertikaian karena menyukai perdamaian. Jika kakak pertama dan adik sedang tidak sejalan, anak kedua pasti akan mencari tahu apa sebabnya (jika sempat), kalau tidak ya mending menghindar karena tidak ingin ikut campur. Eh.
Begitulah anak nomor dua, tidak hanya terabaikan tetapi sengaja abai juga bisa. Fleksibel.
Karena kita tidak bisa memilih diurutan berapa kita dilahirkan di dunia bukan? Toh memang bukan kewewenangan kita, tetapi sudah urusan takdir Yang Kuasa.
Bagi saya menjadi anak nomor dua malah disyukuri, karena saya bisa memiliki dan merasakan peran yang bersamaan dalam satu waktu: Ya menjadi kakak, ya menjadi adik. Sempurna.
Kalau kamu anak ke berapa nih?
Salam,
Listhia H. Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H