Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fiksi | Sarung Pelunas Utang

14 Mei 2020   21:39 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:35 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pak, kemarin Bu Tutik ke rumah. Katanya..."

"Hari ini Bapak bakal bawa uang kontrakan kita, Bu." kataku berusaha untuk memberi rasa tenang.

"Memangnya masih ada orang yang bisa memberikan kita utang lagi, Pak? Pak Ahmad, Pak Firman, Bu Retno, Bu Yanti? Bukannya mereka sudah terlalu banyak kita repotkan!" nada bicara istriku mendadak menjadi tinggi, tetapi aku bisa memahami situasi ini.

"Pokoknya Ibu tidak usah khawatir. Tugas Ibu mendoakan Bapak saja, ya. Doakan balon-balon ini laris manis. Bapak pergi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Sebentar Pak. jangan pergi dulu!"

Istriku mengambil sesuatu dari dalam kamar. Aku rasa aku melupakan sesuatu.

Tidak lama kemudian istriku datang dengan menjinjing sesuatu. Sebuah kantong plastik hitam.

"Ini, Pak." Istriku nampaknya sudah tidak marah. Raut wajahnya sudah kuhafal lagi.

"Oh iya. Yasudah Bapak pergi dulu, ya."

Ku letakkan kantong plastik hitam itu di boncengan sepedaku. Aku berpamitan lagi. Meninggalkan istriku dengan utang-utang. Maaf.

***
Kukayuh sepedaku, yang hari ini rasanya terasa berat. Sepertinya utang itu memilih ikut bersamaku. Tidak apa-apalah daripada mengganggu pikiran istriku di rumah.

"Balon..balon...balon..."

Sejujurnya aku saja ragu. Apakah ada di situasi seperti ini bakal ada yang memanggilku? Aku rasa orang akan lebih memilih membeli sembako daripada jualanku.

"Balon..balon..balon..."

Tetapi tidak ada salahnya bukan jika aku isi balon-balon ini dengan doa-doaku juga?

***

"Kangggggg balooon beliiiiii!"

Suara itu bagai kode berhenti untukku. Kang balon, begitu panggilan mereka untukku.

"Mau balonnya satu ya, Kang?" kata anak kecil itu sambil tersengal-sengal  karena berlari mengejarku.

"Yang tayoooo ya kang!" dia menunjuk balon berbentuk bus biru. Bus yang aku tahu namanya dari anak-anak kecil yang sering merengek sambil menunjuk balon itu. Aku segera mengambil balon yang ia minta, lalu memberi pemberat batu.

"Boleehh. Ini ya."

"Fahriiiiiiiiii!" teriak seorang ibu sambil melangkah ke arahku. Aku duga pasti Ibu dari anak ini. Benar.

"Duh, Kang! Gimana sih ini anakku kok dikasih balon!" Ibu itu gantian meneriakiku.

"Fahri mauu balon ini bu! MAUUUUUUUU!"

Anak kecil itu tantrum di depan mataku dan ibunya.

"Nih kan gara-gara kamu, Kang. Besok-besok jangan lewat sini lagi deh!"

Kini Ibu dan anak itu meninggalkanku begitu saja. Malahan tambah satu lagi, balonku juga ikut meninggalkanku tanpa apa-apa.

***

Waktu terus berputar, begitu juga roda sepedaku yang harus aku putar. Putar-putar juga pikiranku. Harus bagaimana sekarang?Memperjuangkan nasib satu balon saja, aku tidak mampu. Apakah ini membuat balon yang lain ingin terbang saja lalu menghilang, seperti harapanku?

***

Matahari sudah ada di atas kepala. Waktu duhur sudah tiba. Aku menepikan sepeda dan balonku di sebuah Musala biasa aku datangi.

Sudah jam segini balon-balonku masih saja senang berada di tempatnya. Sepertinya mereka sedang asyik berbincang membicarkan aku yang payah atau malahan sedari aku bawa dari rumah mereka sudah saling berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Rupanya aku membawa balon-balon yang setia kawan. Hiburku.

Aku memasuki musala dengan kantong plastik hitam pemberian istriku. Kantong plastik hitam berisi baju koko dan sarung yang selalu bersih.

"Masa' menghadap Allah, cuma modal bau matahari. Kamu harus rapi dan wangi, Pak." terngiang perkataan istriku ketika aku mendengar alasan mengapa baju koko dan sarungku selalu dalam kondisi wangi.

Aku letakkan kantong plastik hitam itu di dalam musala, aku ambil baju kokoku saja. Lalu segera mengambil wudu dan berganti. Setengah hari berteman matahari, membuat air wudu seperti berkali-kali lipat segarnya.

***
Selesai mengambil wudu dan berganti baju, aku segera masuk ke musala lagi. Mengambil sarung lalu mengenakannya. Mengharap belas kasih Pada Sang Pemberi Rezeki.

Tapi kantong plastik hitam itu tiba-tiba sudah hilang. Isinya. Sarung itu sudah tidak di tempatnya lagi. Tidak mungkin terjatuh, karena sewaktu aku masuk Musala ini aku yakin aku membawanya.

Sampai kemudian pandanganku terfokus pada seseorang. Laki-laki yang sedang salat di saf paling depan itu sepertinya aku kenal. Sarungnya. Ya, aku yakin sekali itu sarungku karena musola ini tidak pernah aku lihat menyediakan sarung.

Laki-laki itu sudah sampai pada salam terakhir. Aku biarkan saja. Aku tidak mungkin merusak doa-doanya.

***

"Maaf, Pak. Apakah ini sarung milik, Bapak?" suara itu membuyarkan lamunanku. Entah kapan aku mulai melamun.

"Iya Pak."

"Terima kasih ya, Pak. Maaf saya tidak izin dulu tadi. Saya kira milik Musala ini."

"Tidak apa-apa, saya juga ikhlas, Pak. Mari!" kataku meminta izin untuk salat dan mengakhiri percakapan kami.

Aku meninggalkan laki-laki yang tak kukenal itu. Sambil kukenakan sarung, aku mengambil posisi untuk melakukan salat empat rakaat. Lalu berdoa. Doaku siang ini lebih panjang. Sepanjang harapan yang sedang kucoba untuk aku hadirkan lagi.

"Ya Allah, jadikanlah hamba menjadi orang yang pandai bersyukur pada tiap rezeki yang KAU berikan."

Aamiin

***

"Sedang sepi ya, Pak?" laki-laki itu ternyata belum pergi. Dia masih duduk di depan musola sembari melihat sepeda bututku dan balon-balonku yang tak laku-laku. Pasti.

"Ya begini, Pak. Namanya orang jualan."

"Pak, boleh bapak hitung balon yang bapak bawa?" laki-laki itu kini memandangku sambil tersenyum. Sumringah sekali.

Aku menuju sepedaku sambil pura-pura menghitung, "Ada 14, pak." 

Tanpa dihitung lagi pun aku sudah tahu jawabannya. Jelas-jelas baru satu balon yang kulepas hari ini.

"Saya beli semua, ya!" laki-laki  itu mengambil sesuatu dari saku celana pendeknya.

"..tttaa...ttaapi, Pak?" kataku masih tidak percaya.

"Nanti bapak kasih saja ke anak-anak yang Bapak temui, ya. Karena saya nggak mungkin bawa balonnya semua."

"Beneran, pak?" aku masih terkejut. Jarang sekali orang mau memborong balonku. Lagian juga buat apa?

"Iya, ini uangnya. Ambillah semua. Anggap saja sisanya adalah uang sewa saya meminjam sarung Bapak tadi, ya."

Sambil berdiri dari duduknya, laki-laki itu memberikan segepok uang. Tertulis dari kertas yang masih melingkar. Lima juta rupiah. Saking banyaknya tanganku saja tidak kuat saat menerimanya. Tanganku gemetar.

"Jangan khawatir, itu uang halal. Memang rezeki Bapak. Sudah terima saja, ya."

Laki-laki itu menjabat tanganku, mungkin mencoba menenangkanku sekaligus sebagai tanda pamit. Tak banyak berkata, ia langsung berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan Musala. Mobil yang tidak sesederhana penampilannya.

Aku masih mematung. Rasanya benar-benar seperti mimpi, tapi ini bukan mimpi.

"Pak...bolehkah saya tahu nama bapak?" aku sedikit berteriak. Setidaknya aku bisa membalas lewat doa-doaku, batinku.

"Afifah. Ingat saja nama anakku." sepertinya ia tahu apa maksudku.

"Terima kasih, Pak!!!!" 

Sebelum benar-benar menghilang di telan pintu mobilnya, laki-laki yang tidak pernah aku tahu namanya itu melambaikan tangannya padaku.

"Afifah?" sepertinya aku hafal benar nama itu.

Ya, Allah. Begitu cepatnya KAU mengabulkan doaku. Aku tahu ini juga pasti doa perempuan yang paling kusayangi. Istriku: Afifah.

***

"Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya" (Huud: 6).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun