"Masa' menghadap Allah, cuma modal bau matahari. Kamu harus rapi dan wangi, Pak." terngiang perkataan istriku ketika aku mendengar alasan mengapa baju koko dan sarungku selalu dalam kondisi wangi.
Aku letakkan kantong plastik hitam itu di dalam musala, aku ambil baju kokoku saja. Lalu segera mengambil wudu dan berganti. Setengah hari berteman matahari, membuat air wudu seperti berkali-kali lipat segarnya.
***
Selesai mengambil wudu dan berganti baju, aku segera masuk ke musala lagi. Mengambil sarung lalu mengenakannya. Mengharap belas kasih Pada Sang Pemberi Rezeki.
Tapi kantong plastik hitam itu tiba-tiba sudah hilang. Isinya. Sarung itu sudah tidak di tempatnya lagi. Tidak mungkin terjatuh, karena sewaktu aku masuk Musala ini aku yakin aku membawanya.
Sampai kemudian pandanganku terfokus pada seseorang. Laki-laki yang sedang salat di saf paling depan itu sepertinya aku kenal. Sarungnya. Ya, aku yakin sekali itu sarungku karena musola ini tidak pernah aku lihat menyediakan sarung.
Laki-laki itu sudah sampai pada salam terakhir. Aku biarkan saja. Aku tidak mungkin merusak doa-doanya.
***
"Maaf, Pak. Apakah ini sarung milik, Bapak?" suara itu membuyarkan lamunanku. Entah kapan aku mulai melamun.
"Iya Pak."
"Terima kasih ya, Pak. Maaf saya tidak izin dulu tadi. Saya kira milik Musala ini."
"Tidak apa-apa, saya juga ikhlas, Pak. Mari!" kataku meminta izin untuk salat dan mengakhiri percakapan kami.