Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Caraphernelia

11 Januari 2019   23:46 Diperbarui: 12 Januari 2019   22:40 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana Tuhan akan pertemuan memang mengejutkan. Seperti sebuah "kado"  yang disiapkanNya untukmu. Pertemuan bisa menjelma jadi apa saja.

Semarang, 15 Januari 2011

Cuaca hari ini seperti tahu perasaan hatinya, cerah tanpa awan. Matahari belum terlalu tinggi. Masih pagi. Gadis itu masih asyik mematut dirinya di depan cermin. Beberapa kali ia membelai rambutnya sendiri,memasangkan jepit pita merah muda di sebelah kanan yang  selalu tak benar di matanya. Seolah masih belum puas, tak hentinya dia melihat wajahnya sendiri, sembari sesekali menebalkan bedak tabur di wajahnya yang rasanya percuma diberi bedak lagi. Wajah gadis itu bahkan mengalahkan sinar matahari. Dia sedang benar-benar bahagia.

Gadis pada usianya memang slalu ingin menarik, sedang proses pencarian jati diri. Masa-masa mudah tergoda. Termasuk hal-hal yang serba merah muda . Cinta.

Hingga tiba-tiba keasyikannya didepan cermin teralihkan oleh bunyi mirip saxophone.Seseorang berusaha membuka pintu kamarnya. Perempuan dewasa dengan daster bermotif perasaannya : berbunga-bunga. 

"Kinanthi, Ayo cepat.. kasihan temanmu udah nunggu dari tadi.." suaranya menyadarkan gadis itu untuk melihat jam di dindingnya.

"Yah, Bunda kenapa engga bilang sih kalo udah jam segini. Kinan jadi telat.., "

Tangannya yang asyik membelai rambut berubah haluan menyambar tas gendong motif bunga-bunga, lagi. 

***

"Eh, Josua.. udah lama yah, nunggu",tanpa komando  gadis itu segera duduk di jok belakang sepeda motor.

"Udah  , Tuan Putri?"

"Sudaah.. Yok!!"

"Kalau udah, turun dong "

"Ihh kamu, masi aja ngajak ngelucu dulu. Kita ini beda sekolah loh. Jangan sampai aku telat . Kalo kamu yang telat sih aku rela hehe", katanya  menimpal dengan cekikikan.

"Loh..jadi gitu. Turunin beneran deh ini kalo gitu" jawab Josua berubah judes.

"Eh bercandaa. Yuk yuk.." gadis itu merajuk.

Mesin motor pun dinyalakan, suaranya makin menjauh  dan samar-samar keduanya hilang. Menuju sekolah meraih cita-cintanya.

***

Bandung, 5 Januari 2016

Tatapannya menyapu dan ruangan ini  memang masih kosong. Suasana lengang. Mirip  saat jam kuliah pagi.  Tak biasanya, padahal jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Kalender pun mengabarkan ini malam minggu. Kemana muda-mudi yang membawa romansa dan bau parfum pheromone. Apa mereka takut baunya luntur terkena hujan? Ah iya, tempat ini mungkin justru malah sedang bahagia--atau gadis itu--, karena tak perlu jadi penonton kisah klise gejolak muda-mudi labil.

Kemudian seseorang mencairkan pandangan Kinanti yang sempat membeku  di depan pintu sebuah Cafe. Wajah yang sudah tak asing.  Senyum dua centimeter kanan kiri pada bibir wanita itu barangkali jadi make up wajib daripada  pipi ber-blush on yang rasanya ingin mengalahkan pesona senja atau gincu yang mirip vampire persis setelah menghisap korbannya.  Kinanti mulai mencair kena radiasi senyumnya.

"Selamat sore, Mbak. Silakan, tempat biasa?"

Seperti lirik lagu-lagu yang sering didengar. Kalimat itu sudah dia hafal beserta nada dan intonasinya. Kinanti tak perlu banyak bicara,cukup anggukan kepala dan wanita itu mendapatkan jawabannya.

"Baik, mari saya antar mbak"

Padahal Kinanti sebenarnya tak perlu penunjuk,  sudah dia hafal diluar kepala. Barangkali mematuhi pepatah yang bilang katanya :  Pembeli adalah Raja .

Langkah wanita itu membawanya pada sebuah sofa di pojok kanan ruangan ini. Dekat Jendela. Jendela yang menggantikan fungsi tembok. Besar . Dari sofa kulit berwarna cokelat  ini pemandangan kota Bandung bisa terlihat jelas. Ya, cafe dilantai dua  ini menyediakan apa yang ia inginkan. Pemandangan kota.

Entah berapa kali Kinanthi menyempatkan untuk singgah disini. Semenjak awal menginjakkan kaki di Bandung, hampir sepulang kuliah cafe inilah yang menjadi pelampiasan dan cukup segelas es cokelat yang menjadi teman setianya.

Baginya Cafe ini membuat waktunya serasa diperlambat. Ya ditempat ini dia lebih suka sendiri-menjadi sendirian. Merenung tentang hidup dan perasaan yang  berfluktuasi.

"Mbak , mau pesan apa?"

"es cokelat-es nya tolong dibanyakin ya mbak, sama roti bakar cokelat keju. cokelatnya dibanyakin juga yah"

"Oya mbak, tunggu akan segera kami buatkan"

Kinanti cukup tersenyum dan wanita itu segera menjauh dari sofanya. Seperti biasa Kinanti mengeluarkan netbooknya. Berselancar di dunia maya adalah senjata yang cukup ampuh  membuatnya terlihat sibuk.

Seperti tempat ini, dunia mayanya pun terasa hampa. Tak ada email masuk, pemberitahuan pada beberapa akun media sosialnya pun nihil. Jika ada paling mengirimkan permintaan bermain game.

Kinanti mulai bosan dan mentutup jendela pencariannya. Pandangannya beralih pada jendela yang lain. Jendela disampingnya. Hujan masih menguyur kota bunga. Gerimis mesra yang membuat jalan-jalan kota tak begitu ramai lalu lalang kendaraan. Di sepanjang jalan pun suasana nampak terlihat hangat terkena lampu jalan yang mulai menyala. Hari hampir petang disambut senja yang sebentar lagi datang. Ya, Kinanti suka menunggu senjanya disini.

Tiba-tiba lamunanya terpecah, ketika suara wanita yang mengantarkannya tadi datang membawa nampan yang berisi pesanannya.

"Maaf mbak, ini pesanannya ya." ujar wanita ramah itu sambil meletakan segelas es cokelat dan  sepotong roti bakar di samping netbooknya.

"terima kasih"

Lagi-lagi, Kinanti tak ingin banyak bicara hari itu dan biarkan senyumnya menjawab lebih banyak. Setelah itu si wanita ramah segera pergi membiarkannya sendirian.

Kinanti mencoba meraih gelas berisi es cokelat kesukaannya. Dia tak suka cokelat. Justru ia lebih menyukai es, ia suka mengunyahnya. Dia tak juga lapar, roti bakar itu cuma pemanis mejanya. Biar ramai.

Hari ini tak ada tugas yang mengejarnya. Semua  nampak membuat hidup  menuntutnya untuk santai. Namun justru dia bingung dan harus berbuat apa.  

Lamunannya kembali pada jendela  berkaca besar disampingnya. Sepertinya peri hujan masih senang bermain hingga senja memilih buru-buru pulang. Senja yang lewat sebentar. Kali ini senja  tak juga sempat mampir. Kinanti pun menghela nafas dan memejamkan matanya sebentar, membuang beban pikiran di udara.             

Ia membuka matanya lagi. Tiba-tiba ia tertarik pada netbook di mejanya. Membuka beberapa folder dan melihat gambar-gambar barangkali bisa membuat pikirannya lebih segar.

***

Folder bertuliskan kata : Abu-abu.

Klik .

Masa-masa yang membuat dia berdebar selain Ujian Kelulusan, kisah merah mudanya. Cinta.

Waktunya seperti terlempar ke masa lalu. Gambar-gambar itu berhasil jadi pelontar yang membawanya pada kisah yang sudah jauh ia tinggalkan. Masa-masa kejayaan putih abu bersama sahabat terbaik masih begitu hangat dalam ingatan. Terasa baru kemarin terjadi. Kinanti teringat teman-temannya yang sekarang tersebar dimana-mana. Yang membuat berkumpul  menjadi sebuah acara debat kusir yang tak kunjung usai. Mempertemukan secara utuh kata kebersamaan menjadi tak mudah. Ya, Kinanti tiba-tiba merindu.

Roti bakar yang sedari tadi hanya menjadi penonton, akhirnya menjadi perhatiannya. Sepotong roti itu mulai ia kunyah. Dia tak sungguh lapar. Hanya berharap rindu bisa tertelan habis bersama roti bakarnya.

Tiba-tiba sebuah foto berhasil membuat neuron-nya bekerja lebih cepat. Ya, gambar itu berhasil membuat ia berada pada titik lain, masa lalu yang ia hidari.

Foto sebuah tangan yang bertuliskan gravity namanya. Kinanthi.

Tangan itu pernah ia sengaja lupakan , namun tak bisa menghapus kenangan. Tangan milik sesorang yang pernah menghiasi hati dan mengisi hari-harinya. Setidaknya sebelum kejadian yang membuat mereka bertahan itu pupus. Tangan milik Josua.

Kinanti menutup matanya, berharap kenangan itu tak pernah menghampirinya lagi. Tapi, semua percuma dan tak berhasil.Justru hujan berhasil datang tak cuma di luar ruangan ini. Tapi dari matanya sendiri. Matanya berlakrimasi.

***

Bumi yang berotasi terlalu cepat atau   matahari memangkas jarak revolusi? Waktu merangkul semesta  dan kenangan membututi kita.

Kenangan membawanya pada lima tahun yang lalu.

Kisah mereka memang seperti pada kisah merah muda seusianya. Penuh drama.  Namun ada yang menyesakkan. Perbedaan bukan hanya saat mereka pergi ke sekolah maupun toilet, tapi saat mereka harus menghadap Tuhan, beribadah.

Sebenarnya perbedaan itu tak pernah menjadi alasan perdebatan untuk mereka. Karena pada akhirnya Kinanthi dan Josua pernah menjadi satu. Usia muda membuat mereka tak memikirkan tentang perbedaan yang ada. Justru membuat mereka lebih mendewasa. Toleransi yang digaungkan pada pelajaran pendidikan kewarganegaran bukan cuma teori namun benar-benar berhasil dipraktikkan.

Perbedaan tak membuat Kinanti menyesal pernah mencintainya. Tak sedikitpun. Hanya sesak yang kadang meradang mendengar nada --nada sumbang dari sekitar yang membuat Kinanthi mendadak lesu tak bergairah. Kinanti suka membela dirinya sendiri ; Mereka tak pernah tahu bagaimana berada diposisinya.

Jatuh cinta itu seperti hujan. Semaunya datang bahkan saat kau tak sempat berteduh.

Pada akhirnya akan ada takdir pada sebuah cerita cinta. Seperti cinta Kinanti dan Josua yang harus berakhir meski bukan keinginan mereka. Siapa yang bisa menolak takdir yang tiba?

Dia ingat ketika harus  mendadak berubah dan meminta untuk mengakhiri semua. Kelulusan masa abu-abu tepatnya. Padahal saat itu kisah mereka sebenarnya sedang dalam keadan baik-baik saja. Namun, barangkali itulah waktu yang benar-benar ditunggu, bagi Kinanti juga Josua.

Ya, perpisahan terbaik adalah pada saat semua menjadi baik. Perpisahan bukan soal beda, hanya memberi waktu untuk mencoba lebih paham. Bahwa hidup adalah pilihan untuk tetap bertahan atau pergi. Ikhlas barang kali yang paling pantas untuk dikenang keduanya. Meski rasa sakitnya tetap tak bisa dihindarkan, tak bisa kemudian berpura-pura semua lantas baik-baik saja.

Ada cinta yang datang diikrarkan tanpa keyakinan

Kinanthi terpejam agak lama dan menghela nafas panjang. Dia berhasil membuat polusi masa lalu di cafe ini. Caraphernelia.

"Tuhan, ternyata terlalu menyayangiku dan kamu" batinnya lagi.

***

1Pheromone ,  berasal dari bahasa Yunani yang artinya Phero adalah pembawa dan mone bermakna sensasi, katanya sih hormon untuk menarik lawan jenis seperti saat ingin membuat jatuh cinta.

2Neuron , sel dalam sistem saraf manusia yang berfungsi untuk menyimpan dan mengirim informasi

3Lakrimasi , istilah yang diambil dari bahasa latin; Lacrima yang artinya air mata

4Caraphernelia, penyakit patah hati setiap kali seseorang meninggalkanmu dan dia meninggalkan kenangan yang menyakitkan.

***

Tulisan ini dibuat tahun 2015 lalu dan sudah pernah dibukukan bersama-sama dalam judul "Apologia".Sengaja diunggah kembali dengan sedikit revisi. Selamat menikmati, mohon maaf jika masih janggal :))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun