Ya, makanan Ibu yang sering berubah jadi rindu ketika jauh adalah oseng-oseng tahu--olahan tumis tahu yang dipotong kotak-kotak dengan bumbu bawang merah, bawang putih dan beberapa cabai hijau, bermandikan kecap khusus yang sudah hafal benar di lidah--. Bahkan bukan cuma jadi rindunya saya. Pun jadi makanan yang masuk daftar rindu kakak perempuan saya. Entah kenapa, selera kami soal makanan hampir identik, sama!Sebenarnya bukan hanya oseng-oseng tahu sih. Sebab, hampir makanan Ibu seperti diciptakan cocok dengan indera pengecap saya juga kakak dan adik. Serundeng sapinya juga enak, sop senereknya apalagi. Ibu memang Juaranya.
Tidak hanya ketika saya pulang, ketika saya harus kembali ke kota dimana saya sedang berjuang, Ibu pun selalu bertanya "Mau bawa makan?". Tentu tawaran Ibu, tidak bisa saya tidak iyakan. Bukan cuma satu tempat makan, dua pernah saya temukan tertata rapi di tas jinjing yang saya bawa. Ah, Ibu.
Ibu adalah sosok yang adil. Perlakuan istimewa ini tidak hanya diberlakukan untuk saya sendiri, tawaran dan tindakan Ibu pun sama diberikan pada kedua saudara kandung saya, kakak dan adik.
Setiap kakak datang ke rumah dan harus pergi lagi ke tempat tinggalnya yang baru, Ibu menyempatkan dirinya untuk sibuk di dapur meracik makanan yang kakak suka. Begitu juga adik.
Adik. Saya ingat, adik pernah bilang "Makan di rumah, saja Mah". Padahal, untuk ke rumah juga butuh waktu, sebab perjalanannya dari asrama menuju rumah yang letaknya berada di beda kota. Ya..meski tidak bisa berlama-lama, walau hanya hitungan jam berada di rumah dan itu pun di waktu tertentu saja. Ternyata Adik memilih ke rumah saja demi mencicipi makanan buatan Ibu. Beruntung, Ibu selalu siap sedia. Sebelum Adik meminta, Ibu sudah lebih dahulu menyiapkannya. Sepanci sop iga,misalnya. Ibu lagi-lagi memang Juaranya.
Juara meracik bukan hanya bumbu tapi juga rindu dalam setiap makananya.
Mahalnya Momen Berkumpul di Rumah
Di masa-masa seperti ini, saya sering menjadi iri pada keluarga yang setiap hari bisa bertemu dalam satu atap. Sering berharap bisa juga seperti mereka, yang setiap hari libur bisa bertamasya satu keluarga atau yang lebih sederhana sekadar berkumpul di rumah sambil memakan cireng buatan sendiri (meski berpuluh-puluh kali sering tak berhasil). Ya.. saya sering sekali baper, tapi untungnya "tidak" untuk menyalahkan keadaan.
Dulu, saya kira momen duduk melingkar dihadapan makanan buatan Ibu sembari membahas kejadian hari ini atau rebutan remote saling memenangkan stasiun televisi adalah suatu yang tidak berarti apa-apa, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun, setelah masing-masing dari kami pergi untuk melanjutkan kehidupan yang sudah ditakdirkan, ternyata momen tersebut sekarang jadi amat mahal. Mahal karena momen-momen sederhana tersebut tidak hanya membuat kami dekat tapi juga kompak menjadi satu keluarga.
Pernah merasa nyesek ketika saya jadi satu-satunya anak Ibu dan Bapak yang sedang berada di rumah? Tentu. Tidak hanya saat sedang di rumah, saat sendiri di kota yang berbeda seperti ini pun saya masih sering terkena homesick? Ingin sedih, tiba-tiba rasanya ingin menangis tapi harus bagaimana lagi? Ah. Tidak seharusnya saya merasa menjadi orang yang paling menyedihkan,kan?.
Kakak tidak di rumah bukan karena saya diam-diam memakai bajunya, tetapi karena kakak sekarang punya tanggung jawab lain mengurus keluarga baru yang dibinanya. Begitu juga adik, adik tidak lagi di rumah bukan berarti karena dulu tangisnya pernah saya hiraukan. Tetapi, karena ia ingin memperlihatkan pada kami (Bapak,Ibu, kakak juga saya) bahwa adik yang dulu dianggap paling kecil di keluarga ini bisa menjadi kebanggaan dan tak hanya melindungi keluarga, lebih dari itu. Pun saya, pergi dari rumah bukan berarti tega meninggalkan Ibu dan Bapak, namun ada yang harus saya buktikan pada mereka.