Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Momen Terbaik Keluarga Saya, Cukup Bisa Berkumpul di Rumah!

15 Maret 2018   23:10 Diperbarui: 15 Maret 2018   23:33 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu cara saya untuk mengingat keluarga yaitu dengan memasang foto mereka bersama hiasan lampu tumblr di kamar kosan (dokpri)

Diingat-ingat, ternyata pernikahan kakak di tahun 2013 adalah momen terakhir kali dimana kami bisa berkumpul lalu mengabadikannya dalam satu bingkai foto. Setelahnya, sampai tahun berganti sampai di tahun 2017, momen untuk kembali mengulangnya jadi langka. Teramat mahal karena uangpun kadang tak bisa membeli waktu.Kesibukan yang tak sama juga tempat kami yang jadi berbeda, dua alasan utama yang bisa mendasarinya. Terutama kami, sebagai anak-anak yang kini telah beranjak dewasa.

Beberapa yang menjadi teman saya di media sosial sebelah mungkin sudah pernah membaca tulisan bercetak miring diatas. Ya, memang tulisan bercetak miring yang baru saja dan nantinya akan kalian temukan dan baca adalah kutipan status saya di awal tahun yang lalu. Sengaja, saya letakkan di tiap-tiap bagian yang saya anggap pantas. Sebab dari status itu masih banyak hal yang bisa saya ceritakan tentang bagaimana sederhananya momen terbaik yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan keluarga kami.

Sejauh dan Sesibuk Apapun, Kembalilah Pada Tempat Bernama Rumah

Seperti kata orang, sesuatu akan terlihat berharga ketika kita meninggalkannya. Pun begitu dengan sebutan tempat bernama rumah. Dulu sewaktu saya masih menghabiskan banyak waktu di rumah, saya kira rumah adalah sesuatu yang membosankan. Hingga momen pergi semisal jalan-jalan ke luar kota menjadi yang dinanti. Tetapi, saya sadar saya bisa keliru. 

Sebab hari ini, ketika tak banyak waktu lagi untuk di rumah, saya justru jadi merindukan untuk kembali ke masa-masa itu lagi, dimana rumah masih sering saya beri cap suatu yang membosankan (padahal tidak).

Kakak yang sudah berkeluarga dengan kesibukannya mengurus anak dua, Saya yang disibukkan tugas-tugas lagi di kota Jogja, serta Adik yang sekarang waktunya telah banyak diatur oleh negara karena kewajiban yang mengikatnya. Hanya Bapak dan Mama, berdua, yang tinggal disini, di rumah ketika anak-anaknya harus bergelut bersama rutinitas di kota yang tak lagi sama.

 Ya, ternyata bukan hanya saya yang merasa. Kakak juga adik saya kira  sama halnya. Apalagi posisi kami yang hampir serupa, sama-sama tidak lagi banyak menghabiskan waktu di tempat dimana tawa kami sering pecah karena berbalas tebak-tebakan walau tak lucu atau tangisan yang (sebenarnya tak perlu) hanya karena tak dibelikan sesuatu yang dimau. Rumah.

Rindu yang Terbuat dari Makanan Buatan Ibu

Salah satu alasan yang membuat saya rindu pulang ke rumah adalah makanan Ibu. Saya tahu Ibu juga tahu, sebab sampai ada yang saya hafal ketika saya mengabarkan keinginan pulang pada Ibu. "Mau dimasakin apa?", katanya dalam pesan singkat yang sering saya terima. Dan saya pun juga tahu, sebenarnya tanpa saya beritahu pun Ibu sudah mengetahui jawabannya.

Makanan favorit yang selalu berhasil saya rindukan adalah suatu yang amat sederhana. Mudah, tapi tetap saja sulit saya menemukan yang rasanya seperti buatan Ibu. Ada bumbu rahasia yang cuma Ibu miliki, dengan perasaan cinta.

 Ya, makanan Ibu yang sering berubah jadi rindu ketika jauh adalah oseng-oseng tahu--olahan tumis tahu yang dipotong kotak-kotak dengan bumbu bawang merah, bawang putih dan beberapa cabai hijau, bermandikan kecap khusus yang sudah hafal benar di lidah--. Bahkan bukan cuma jadi rindunya saya. Pun jadi makanan yang masuk daftar rindu kakak perempuan saya. Entah kenapa, selera kami soal makanan hampir identik, sama!Sebenarnya bukan hanya oseng-oseng tahu sih. Sebab, hampir makanan Ibu seperti diciptakan cocok dengan indera pengecap saya juga kakak dan adik. Serundeng sapinya juga enak, sop senereknya apalagi. Ibu memang Juaranya.

Tidak hanya ketika saya pulang, ketika saya harus kembali ke kota dimana saya sedang berjuang, Ibu pun selalu bertanya "Mau bawa makan?". Tentu tawaran Ibu, tidak bisa saya tidak iyakan. Bukan cuma satu tempat makan, dua pernah saya temukan tertata rapi di tas jinjing yang saya bawa. Ah, Ibu.

Ibu adalah sosok yang adil. Perlakuan istimewa ini tidak hanya diberlakukan untuk saya sendiri, tawaran dan tindakan Ibu pun sama diberikan pada kedua saudara kandung saya, kakak dan adik.

Setiap kakak datang ke rumah dan harus pergi lagi ke tempat tinggalnya yang baru, Ibu menyempatkan dirinya untuk sibuk di dapur meracik makanan yang kakak suka. Begitu juga adik.

Adik. Saya ingat, adik pernah bilang "Makan di rumah, saja Mah". Padahal, untuk ke rumah juga butuh waktu, sebab perjalanannya dari asrama menuju rumah yang letaknya berada di beda kota. Ya..meski  tidak bisa berlama-lama, walau hanya hitungan jam berada di rumah dan itu pun di waktu tertentu saja. Ternyata Adik memilih ke rumah saja demi mencicipi makanan buatan Ibu. Beruntung, Ibu selalu siap sedia. Sebelum Adik meminta, Ibu  sudah lebih dahulu menyiapkannya. Sepanci sop iga,misalnya. Ibu lagi-lagi memang Juaranya.

Juara meracik bukan hanya bumbu tapi juga rindu dalam setiap makananya.

Mahalnya Momen Berkumpul di Rumah

Di masa-masa seperti ini, saya sering menjadi iri pada keluarga yang setiap hari bisa bertemu dalam satu atap. Sering berharap bisa juga seperti mereka, yang setiap hari libur bisa bertamasya satu keluarga atau yang lebih sederhana sekadar berkumpul di rumah sambil memakan cireng buatan sendiri (meski berpuluh-puluh kali sering tak berhasil). Ya.. saya sering sekali baper, tapi untungnya "tidak" untuk menyalahkan keadaan.

Dulu, saya kira momen duduk melingkar dihadapan makanan buatan Ibu sembari membahas kejadian hari ini atau rebutan remote saling memenangkan stasiun televisi adalah suatu yang tidak berarti apa-apa, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun, setelah masing-masing dari kami pergi untuk melanjutkan kehidupan yang sudah ditakdirkan, ternyata momen tersebut sekarang jadi amat mahal. Mahal karena momen-momen sederhana tersebut tidak hanya membuat kami dekat tapi juga kompak menjadi satu keluarga.

Pernah merasa nyesek ketika saya jadi satu-satunya anak Ibu dan Bapak yang sedang  berada di rumah? Tentu. Tidak hanya saat sedang di rumah, saat sendiri di kota yang berbeda seperti ini pun saya masih sering terkena homesick? Ingin sedih, tiba-tiba rasanya ingin menangis tapi harus bagaimana lagi? Ah. Tidak seharusnya saya merasa menjadi orang yang paling menyedihkan,kan?.

Kakak tidak di rumah bukan karena saya diam-diam memakai bajunya, tetapi karena kakak sekarang punya tanggung jawab lain mengurus keluarga baru yang dibinanya. Begitu juga adik, adik tidak lagi di rumah bukan berarti karena dulu tangisnya  pernah saya hiraukan. Tetapi, karena ia ingin memperlihatkan pada kami (Bapak,Ibu, kakak juga saya) bahwa adik  yang dulu dianggap paling kecil di keluarga ini bisa menjadi kebanggaan dan tak hanya melindungi keluarga, lebih dari itu. Pun saya, pergi dari rumah bukan berarti tega meninggalkan Ibu dan Bapak, namun ada yang harus saya buktikan pada mereka.

Teruntuk bapak dan Ibu, jangan khawatir. Anak-anakmu yang jauh bukan berarti melupakan rumah yang selama ini jadi saksi bertumbuh. Sebab, di rumah adalah senyaman-nyamannya tempat meski banyak tempat yang kami singgahi. Dimana pun kami berada, 'api' itu tetap kami simpan. Hingga saat pulang ke rumah tiba,kehangatan keluarga tidak akan pernah padam.

Setidaknya yang saya hadapi sekarang ini membuat saya jadi sadar. Sadar bahwa waktu terus berjalan dan takdir yang menempatkan keberadaan masing-masing dari kami. Hidup ini tidak statis, selalu dinamis. Meski jarak bisa mengukur jauh dekat, namun keberadaan keluarga tidak terukur dari seberapa jarak yang memisahkan.  Sekarang karena jarak saya tahu rasanya, sejauh dan sesibuk apapun berada, rumah adalah tempat untuk kembali. Begitulah momen terbaik keluarga saya yang sederhana tetapi amat mahal bagi kami, cukup bisa berkumpul di rumah.

Sudah sangat bahagia luar biasa!

Momen termahal kami (dokpri)
Momen termahal kami (dokpri)
Salam,

Listhia H Rahman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun