Mohon tunggu...
Drg. Lisnaini
Drg. Lisnaini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Messi, FIFA dan MEA

16 November 2015   10:08 Diperbarui: 16 November 2015   13:04 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ekspresi bintang Barcelona, Lionel Messi, ketika melawan Celta Vigo pada lanjutan La Liga, Rabu (23/9/2015). Dalam pertandingan ini, Barcelona takluk dengan skor 1-4. MIGUEL RIOPA/AFP"][/caption]Jika membaca judul di atas., apa yang terlintas dalam benak anda? Tentang bola? Pemain bola? PSSI? Sepak menyepak? Atau apa? Hehe.., ternyata bukan itu semua, karena yang akan saya ungkapkan di sini adalah tentang pajak! Lho, apa ada hubungannya? Tentu saja ada. Bahkan sangat erat sekali. Jadi, let’s rock and roll brothers...

Terus terang, tulisan ini saya buat karena terinspirasi dari tulisan kompasianer Metik Marsya yang di-share di media ini beberapa hari yang lalu. Tulisan yang menggelitik itu sempat membuat saya terhenyak oleh realita karena ternyata negara ini sedang terengah-engah lantaran kekurangan (penerimaan) uang dari pajak. kekurangan tersebut diperkirakan mencapai kisaran angka Rp. 250 triliun!!! Dan angka itu berarti target penerimaan pajak tahun ini hanya akan tercapai sekitar 80% which is the lowest in history ever! OMG...

Bahwa negara ini butuh sekali uang dari pajak untuk kelangsungan hidupnya, tentu mayoritas masyarakat dewasa sudah mengetahuinya (dan semoga juga memahaminya). Tapi mengapa negara ini bisa mengalami shortfall penerimaan pajak sampai sebesar itu? Dimana salah atau kurang-nya? Saya akan mencoba menjawabnya sebagai bentuk kegalauan dan keresahan saya melalui tulisan sederhana ini, semoga dapat membawa manfaat bagi semuanya, terutama bagi kejayaan bangsa tercinta ini.

Memungut Pajak

Saya teringat beberapa tahun lalu ada kegiatan pajak yang dinamakan Sensus Pajak Nasional. Petugas-petugas pajak menyisir rumah-rumah, toko-toko dan perusahaan-perusahaan untuk didata identitas dan kegiatan bisnisnya. Maksud dari kegiatan ini adalah meningkatkan basis data pajak, dan tujuannya adalah adalah agar jumlah pembayar pajak meningkat, sehingga tentu saja akan meningkatkan penerimaan pajak. Bagaimana cerita suksesnya dari kegiatan ini saya tidak terlalu paham. Saya hanya ingin mengurai kembali secuil adegan dalam proses sensus itu saja, yang masih terekam dalam benak saya, yaitu misalnya: ada rumah yang didatangi petugas sensus pajak, tapi pintu gerbangnya tidak bergeser sedikitpun, alias gerbang rumahnya tersebut tetap tertutup rapat sampai petugas pajak berlalu pergi, tanpa hasil.

Ada juga yang dibukakan pintu pagarnya namun hanya ditemui oleh pekerja (baca: asisten rumah tangga) di rumah itu saja, sehingga bisa dipastikan tidak ada data yang diperoleh oleh petugas sensus tersebut. Dari adegan tersebut, saya menunggu, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh petugas pajak itu dikemudian hari terhadap pemilik-pemilik rumah itu? Apa sanksi atau konsekuensi logis yang akan diterima oleh para pemilik rumah tersebut? Ternyata sampai detik ini nothing important happens, mereka aman-aman saja. Hehehe... asoy juga ya...

Itu cerita tentang sensus yang dilakukan di rumah-rumah (mewah).

Bagaimana dengan yang terjadi di toko-toko? Ternyata tidak jauh berbeda ceritanya. Cerita bahwa pemilik toko melayani dengan setengah hati dan/atau dengan perasaan yang malas atau gerah karena merasa terusik kegiatan usahanya (kala didatangi pegawai pajak) adalah cerita biasa. Bahkan cerita bahwa para pemilik toko menemui petugas pajak dengan galak, tentu juga sudah pernah kita dengar. Barangkali bagi mereka, petugas pajak itu cuma bikin repot saja ya.. Tidak ada kebaikan, apalagi cuan (untung) yang bisa diperoleh. Petugas pajak cuma bikin amsyong, hihihi...

Padahal, mereka bisa hidup tenang, bisa jualan dan cari penghidupan adalah karena peran serta pajak juga. Jalan raya, jembatan, listrik, sekolah, rumah sakit, puskemas, polisi yang menjaga keamanan warga, dan bangunan dan fasilitas-fasilitas publik lainnya itu semua didanai dari pajak! Bayangkan jika mereka punya rumah mewah, tapi akses jalan dan penerangannya tidak ada, dan sewaktu-waktu ada pencuri yang leluasa menyatroni rumah mereka, mau?! Ya tentu tidak mau lah, bisa amsyong kuadrat!!

Itu... #marioteguh.mode.on

Lionel Messi dan Pajak

Contoh paling menarik dan aktual dalam urusan beratnya membayar pajak adalah kasus pajak skandal yang melibatkan mega bintang Lionel Messi. Pesepak bola dari Barcelona ini, beserta ayahnya, dituduh menggelapkan pajak senilai lebih dari 4 juta euro (sekitar Rp. 63 miliar). Hmmm, apakah uang senilai Rp. 63 miliar itu besar dan memberatkan bagi Messi? Bagi saya -dan yang membaca tulisan saya ini, hehe...-, alamaaak., tentu saja angka itu buesarrr dan memberatkan abis! Penghasilan seumur hidup yang dikumpulkan dengan penghasilan orang-orang se-kampung pun belum tentu bisa mencapai segitu. Tapi lain bagi Messi. Messi ini tercatat sebagai pesebak bola dengan bayaran tertinggi di dunia. Dalam setahun saja, penghasilannya mencapai 47,8 juta poundsterling, atau hampir mencapai 1 trilyun sehingga tentu angka Rp. 63 miliar untuk membayar pajak bukanlah hal yang berat bagi Messi. Just a piece of cake. Tapi ternyata Messi terbelit juga dalam skandal itu. Kalau saya jadi Messi, mungkin jika ditagih pajak 2 (dua) kali lebih besar dari angka itupun saya akan rela membayarnya. Kan uang saya masih ratusan milyar. Hope so, hehehe...

Dari 3 (tiga) cerita tersebut di atas, dapat ditarik benang merah kesamaannya, yaitu bahwa semua orang malas membayar pajak. Tidak peduli apakah banyak uangnya ataupun yang buuanyak uangnya, tetap saja malas membayar pajak. Apalagi yang belum punya banyak uang, alias pas-pasan. Selain malas bayar pajak., bisa ngamuk juga, dan petugas pajak bisa menjadi sasaran amuknya. Hiiiiiii, horrorrr.....

Apakah itu hanya cerita fiktif? Of course not, It happens!!

Jadi mengapa semua orang malas membayar pajak dan cenderung berusaha menghindarinya? Bukankah pajak itu untuk kemakmuran bangsanya sendiri yang akhirnya akan dia nikmati juga hasilnya? Bukankah pajak itu untuk menunjang kenyamanan kehidupannya juga? Bahkan., bukankah dengan uang pajaknya itu maka negara ini bisa menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu?? Tidakkah mereka peduli dan menyadari disadarinya hal-hal semacam itu?

Saya berusaha mencari jawabannya, tapi tidak juga saya temukan, kecuali bahwa semua orang merasa malas atau keberatan jika uangnya keluar tanpa mendapat keuntungan atau imbalan yang bisa dirasakan secara langsung. Harus ada keuntungan atau imbalan yang senilai dengan uang pajak yang dikeluarkannya. Jadi, tidak peduli seberapapun besarnya kekayaannya, kalau harus keluar uang (cash out flow) tanpa profit yang sepadan, maka itu hanya akan membebani saja. Di jaman yang hedonis dan konsumtif seperti sekarang ini, nature nya manusia itu ingin mengumpulkan uang yang sebanyak-banyaknya., bukan mengeluarkan uang secara sukarela for nothing.

Jadi bagaimana supaya masyarakat mau membayar pajak dengan tertib? Saya kira hanya satu saja jawabannya, yaitu: harus dipaksa! Sosialisasi dan himbauan saja tidak akan pernah cukup jika tidak dibarengi dengan penegakkan hukum (law enforcement) yang kuat. Bukankah dalam undang-undang disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa?! Jadi ya memang harus dipaksa, baru bayar pajak. Coba kita lihat para pegawai negeri (PNS), apakah mereka akan bayar pajak dengan tertib jika pajaknya tidak langsung dipotong oleh bendaharanya? Atau apakah para pegawai swasta akan tertib membayar pajak jika tidak langsung dipotong oleh perusahaannya? Guess not...

Lalu bagaimana cara memaksa orang/perusahaan agar membayar pajak dengan tertib sesuai aturan yang berlaku? Tentu petugas pajaknya harus memiliki kewenangan yang kuat dan lengkap untuk mengumpulkan pajak bagi negara ini. Kewenangan seperti apa yang dibutuhkan? Macam-macam tentunya., tapi menurut saya, intinya adalah kewenangan yang tinggi dalam membuat aturan, dalam memperoleh data yang komprehensif, dan kewenangan yang kuat dalam mengumpulkan/menarik pajak. Dengan begitu maka para pemungut pajak bisa lebih kuat dan lengkap kewenangan dan amunisinya untuk menarik pajak. Negeri ini memang sarat paradoks, pajak sebagai jantung sumber dana pembangunan tetapi kewenangan yang dimiliki oleh otoritas pajaknya masih kedodoran.

Bagaimana institusi pajak di Spanyol bisa membongkar skandal pajak dari sosok- sosok hebat seperti Luis Figo dan Lionel Messi, bagaimana IRS (Internal Revenue Service- institusi pajak di Amerika) bisa membongkar penggelapan pajak para pengurus FIFA (FIFA adalah kasus yang sangat menarik sekali untuk diikuti. Bagaimana FBI bekerja sama dengan IRS menelisik dan mengumpulkan data, bagaimana mereka menggunakan informan, bagaimana mereka menggerebek para eksekutif FIFA, perlu sekali dicontoh dan diapresiasi) tentu karena institusi pajaknya dibekali dengan kewenangan yang tinggi. Bukan kewenangan yang just so-so atau yang rata-rata saja. It is crazy when we expect extraordinary result with an ordinary effort.

Di negara ini, andai saja petugas pajaknya mempunyai kekuatan data dan kekuatan untuk mengumpulkan pajak, maka para pemilik rumah/toko/perusahaan itu tinggal dikirimi surat lengkap beserta data di dalamnya saja. That’s all, petugas pajak tidak perlu berkeringat jalan-jalan keliling, menyisir jalanan tanpa hasil seperti itu. Seperti ngabisin waktu dan energi saja euy... Jika pemilik rumah/toko/perusahaan itu tidak merespon dalam waktu tertentu, maka dengan kewenangannya petugas pajak tinggal memblokir akses keuangan atau rekening-nya (bank, atm, kartu kredit, dlsb). Setelah itu, pasti si pemilik rumah/toko/perusahaantersebut akan menyadari kesalahannya dan segera menghubungi kantor pajak. Bisa jadi, itu adalah sebuah contoh yang simpel but trust me, it works. Dengan begitu maka saya yakin penerimaan pajak akan terdongkrak naik dengan cepat dan tidak mungkin terjadi shortfall. Jangankan Rp. 1.300 triliun, lebih dari itupun saya yakin negara ini akan mampu, sehingga uang pajak mampu untuk menghidupi negara ini, tanpa negara harus menimbun hutang yang semakin lama semakin memprihatinkan.

Tapi jika kewenangan institusi pajaknya semakin kuat, apakah kedudukannya dalam kepemerintahan bisa netral, alias tidak memihak pada kepentingan salah satu kelompok atau golongan? Maybe... maybe not... Tidak usah bicara masalah tendensi keberpihakan intitusi pajak, karena semua jabatan pasti mempunyai tendensi untuk memihak. Dari jabatan yang di kelurahan hingga jabatan presiden, perdana menteri ataupun raja, akan bisa memihak kesana kemari. Thats not the point at all. The point is, Negara ini butuh intitusi pajak yang kuat nan hebat agar bisa mensupport negara ini menjadi negara yang mandiri dan berwibawa!

Masyarakat Ekonomi Asean

Dunia ini terasa semakin lama semakin bergerak untuk berubah dengan cepatnya. Perubahan teknologi dan perubahan sosial ekonomi terjadi dengan sangat cepat dan mencengangkan. Jarak antar negara juga seakan semakin tipis dan tiada sekat, borderless. Waktu pun juga tanpa terasa berlalu dengan singkat bin cepat. The clock is ticking,the hours are going by, so fast... Wush... wush... wuuussh....

Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA yang disepakati oleh para pemimpin Asean lebih dari satu dekade lalu ternyata tanpa terasa sudah siap menerjang di depan mata. Artinya sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara telah segera terbentuk pada akhir tahun 2015 ini, tinggal menunggu hitungan minggu saja! MEA ini tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa dengan bebasnya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga arus pasar tenaga kerja ahli atau tenaga kerja profesional, seperti ahli konstruksi, arsitektur, dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya, bebas mengalir kemana-pun dia suka. Semua ketentuan yang menghalangi perekrutan tenaga kerja asing akan dihapus!! Wuiiiih, dahsyatt sekali itu men!!

Siapkah negara ini, di semua lini, menghadapi MEA itu? Atau., akan berhasilkah negara ini menyambut si MEA?! Semoga saja., tentunya sikap positif harus selalu kita kedepankan kan. Lalu, bagaimana dengan institusi pajak negara ini? Sudah siapkah untuk mengambil banyak keuntungan dan manfaat dari MEA itu? Mampukah petugas pajak negara ini memetik hasil yang maksimal dari keadaan yang borderless itu? Ataukah hanya akan tergagap gagap saja karena just run the business as usual?

Menurut saya, cmiiw... dengan kewenangan atau kemampuan dalam menarik pajak yang seperti sekarang ini, terus terang kok saya harap-harap cemas alias tidak yakin ya. Agak ngeri juga membayangkan si MEA itu. Sekarang saja sudah mulai banyak tenaga kerja dan perusahaan asing, terutama dari China, yang sudah masuk di negara ini. Apakah mereka sudah tertib dalam membayar pajaknya? Itu baru permulaan lho., baru start. Bagaimana nantinya? 1 bulan.., 2 bulan... atau beberapa bulan setelah MEA berlaku, apakah petugas pajaknya sudah kuat menghadapinya? Apakah petugas pajaknya sudah siap untuk profit taking dari MEA, dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan dari setiap perubahan iklim perekonomian global? Siapkah??

Kira-kira pertanyaan itu harus saya tujukan kepada siapa ya? Agar saya bisa segera bercerita kepada keluarga, saudara atau kawan-kawan di lingkungan saya, bahwa negara kita ini telah sangat siap menyambut MEA, sehingga mempunyai uang yang buanyak untuk menguatkan cadangan devisa, untuk melanjutkan pembangunan, untuk membangun jalan tol dan jalan kereta api di luar Jawa, untuk membangun berbagai fasilitas-fasilitas umum, fasilitas-fasilitas pendidikan dan kesehatan, untuk menyantuni anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu, untuk meningkatkan subsidi sehingga harga-harga kebutuhan pokok atau the cost of living menjadi turun, untuk ini untuk itu.... tanpa digelayuti dengan kekhawatiran karena hutang negara yang semakin menggunung..

Jadi, kepada siapa saya harus bertanya? Tell me dwonk...

Jangan Biarkan Keadaan Mengendalikanmu, Engkaulah Yang Harus Mengubah Keadaanmu

(Jackie Chen)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun