Mohon tunggu...
Drg. Lisnaini
Drg. Lisnaini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Messi, FIFA dan MEA

16 November 2015   10:08 Diperbarui: 16 November 2015   13:04 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh paling menarik dan aktual dalam urusan beratnya membayar pajak adalah kasus pajak skandal yang melibatkan mega bintang Lionel Messi. Pesepak bola dari Barcelona ini, beserta ayahnya, dituduh menggelapkan pajak senilai lebih dari 4 juta euro (sekitar Rp. 63 miliar). Hmmm, apakah uang senilai Rp. 63 miliar itu besar dan memberatkan bagi Messi? Bagi saya -dan yang membaca tulisan saya ini, hehe...-, alamaaak., tentu saja angka itu buesarrr dan memberatkan abis! Penghasilan seumur hidup yang dikumpulkan dengan penghasilan orang-orang se-kampung pun belum tentu bisa mencapai segitu. Tapi lain bagi Messi. Messi ini tercatat sebagai pesebak bola dengan bayaran tertinggi di dunia. Dalam setahun saja, penghasilannya mencapai 47,8 juta poundsterling, atau hampir mencapai 1 trilyun sehingga tentu angka Rp. 63 miliar untuk membayar pajak bukanlah hal yang berat bagi Messi. Just a piece of cake. Tapi ternyata Messi terbelit juga dalam skandal itu. Kalau saya jadi Messi, mungkin jika ditagih pajak 2 (dua) kali lebih besar dari angka itupun saya akan rela membayarnya. Kan uang saya masih ratusan milyar. Hope so, hehehe...

Dari 3 (tiga) cerita tersebut di atas, dapat ditarik benang merah kesamaannya, yaitu bahwa semua orang malas membayar pajak. Tidak peduli apakah banyak uangnya ataupun yang buuanyak uangnya, tetap saja malas membayar pajak. Apalagi yang belum punya banyak uang, alias pas-pasan. Selain malas bayar pajak., bisa ngamuk juga, dan petugas pajak bisa menjadi sasaran amuknya. Hiiiiiii, horrorrr.....

Apakah itu hanya cerita fiktif? Of course not, It happens!!

Jadi mengapa semua orang malas membayar pajak dan cenderung berusaha menghindarinya? Bukankah pajak itu untuk kemakmuran bangsanya sendiri yang akhirnya akan dia nikmati juga hasilnya? Bukankah pajak itu untuk menunjang kenyamanan kehidupannya juga? Bahkan., bukankah dengan uang pajaknya itu maka negara ini bisa menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu?? Tidakkah mereka peduli dan menyadari disadarinya hal-hal semacam itu?

Saya berusaha mencari jawabannya, tapi tidak juga saya temukan, kecuali bahwa semua orang merasa malas atau keberatan jika uangnya keluar tanpa mendapat keuntungan atau imbalan yang bisa dirasakan secara langsung. Harus ada keuntungan atau imbalan yang senilai dengan uang pajak yang dikeluarkannya. Jadi, tidak peduli seberapapun besarnya kekayaannya, kalau harus keluar uang (cash out flow) tanpa profit yang sepadan, maka itu hanya akan membebani saja. Di jaman yang hedonis dan konsumtif seperti sekarang ini, nature nya manusia itu ingin mengumpulkan uang yang sebanyak-banyaknya., bukan mengeluarkan uang secara sukarela for nothing.

Jadi bagaimana supaya masyarakat mau membayar pajak dengan tertib? Saya kira hanya satu saja jawabannya, yaitu: harus dipaksa! Sosialisasi dan himbauan saja tidak akan pernah cukup jika tidak dibarengi dengan penegakkan hukum (law enforcement) yang kuat. Bukankah dalam undang-undang disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa?! Jadi ya memang harus dipaksa, baru bayar pajak. Coba kita lihat para pegawai negeri (PNS), apakah mereka akan bayar pajak dengan tertib jika pajaknya tidak langsung dipotong oleh bendaharanya? Atau apakah para pegawai swasta akan tertib membayar pajak jika tidak langsung dipotong oleh perusahaannya? Guess not...

Lalu bagaimana cara memaksa orang/perusahaan agar membayar pajak dengan tertib sesuai aturan yang berlaku? Tentu petugas pajaknya harus memiliki kewenangan yang kuat dan lengkap untuk mengumpulkan pajak bagi negara ini. Kewenangan seperti apa yang dibutuhkan? Macam-macam tentunya., tapi menurut saya, intinya adalah kewenangan yang tinggi dalam membuat aturan, dalam memperoleh data yang komprehensif, dan kewenangan yang kuat dalam mengumpulkan/menarik pajak. Dengan begitu maka para pemungut pajak bisa lebih kuat dan lengkap kewenangan dan amunisinya untuk menarik pajak. Negeri ini memang sarat paradoks, pajak sebagai jantung sumber dana pembangunan tetapi kewenangan yang dimiliki oleh otoritas pajaknya masih kedodoran.

Bagaimana institusi pajak di Spanyol bisa membongkar skandal pajak dari sosok- sosok hebat seperti Luis Figo dan Lionel Messi, bagaimana IRS (Internal Revenue Service- institusi pajak di Amerika) bisa membongkar penggelapan pajak para pengurus FIFA (FIFA adalah kasus yang sangat menarik sekali untuk diikuti. Bagaimana FBI bekerja sama dengan IRS menelisik dan mengumpulkan data, bagaimana mereka menggunakan informan, bagaimana mereka menggerebek para eksekutif FIFA, perlu sekali dicontoh dan diapresiasi) tentu karena institusi pajaknya dibekali dengan kewenangan yang tinggi. Bukan kewenangan yang just so-so atau yang rata-rata saja. It is crazy when we expect extraordinary result with an ordinary effort.

Di negara ini, andai saja petugas pajaknya mempunyai kekuatan data dan kekuatan untuk mengumpulkan pajak, maka para pemilik rumah/toko/perusahaan itu tinggal dikirimi surat lengkap beserta data di dalamnya saja. That’s all, petugas pajak tidak perlu berkeringat jalan-jalan keliling, menyisir jalanan tanpa hasil seperti itu. Seperti ngabisin waktu dan energi saja euy... Jika pemilik rumah/toko/perusahaan itu tidak merespon dalam waktu tertentu, maka dengan kewenangannya petugas pajak tinggal memblokir akses keuangan atau rekening-nya (bank, atm, kartu kredit, dlsb). Setelah itu, pasti si pemilik rumah/toko/perusahaantersebut akan menyadari kesalahannya dan segera menghubungi kantor pajak. Bisa jadi, itu adalah sebuah contoh yang simpel but trust me, it works. Dengan begitu maka saya yakin penerimaan pajak akan terdongkrak naik dengan cepat dan tidak mungkin terjadi shortfall. Jangankan Rp. 1.300 triliun, lebih dari itupun saya yakin negara ini akan mampu, sehingga uang pajak mampu untuk menghidupi negara ini, tanpa negara harus menimbun hutang yang semakin lama semakin memprihatinkan.

Tapi jika kewenangan institusi pajaknya semakin kuat, apakah kedudukannya dalam kepemerintahan bisa netral, alias tidak memihak pada kepentingan salah satu kelompok atau golongan? Maybe... maybe not... Tidak usah bicara masalah tendensi keberpihakan intitusi pajak, karena semua jabatan pasti mempunyai tendensi untuk memihak. Dari jabatan yang di kelurahan hingga jabatan presiden, perdana menteri ataupun raja, akan bisa memihak kesana kemari. Thats not the point at all. The point is, Negara ini butuh intitusi pajak yang kuat nan hebat agar bisa mensupport negara ini menjadi negara yang mandiri dan berwibawa!

Masyarakat Ekonomi Asean

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun