Radit resmi dikeluarkan dari sekolah setelah hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara atas kepemilikan narkoba. Aku dan Adrian segera ke Lapas untuk menjenguk Radit. Dia pasti sedang tergoncang sekali batinnya, butuh teman untuk sekedar berbagi kesedihan. Aku masih tak habis pikir, mana mungkin seorang Radit melakukan hal itu?
Baca juga:Â Trouble Makes (8)
"Bagaimana kabarmu, Dit?" Sapaku.
"Baik. Kamu?"
"Aku baik juga."
"Sendiri ke sini?" Wajah Radit terlihat muram, sama  sekali enggan tersenyum dan menatap mataku saat bicara.
"Diantar teman." Adrian menunggu di luar, enggan untuk ikut menjenguk.
"Kudengar Rades mengenalkanmu pada Najwa ya?"
Pertanyaan itu lunas menikam jantungku yang tidak pernah mempersiapkan diri bahwa seorang Radit akan mempertanyakannya.
"Tahu dari siapa?"
"Aku punya banyak telinga sekalipun terpenjara di sini."
Aku diam.
 "Pasti dia bilang kalau wajah kamu mirip Najwa, dan pasti dia cerita kalau dulu Najwa itu mantan aku terus dia pacaran dengan Najwa hingga Najwa mati dikubur dekat danau yang ia sebut danau keabadian, iya kan?"
Aku hanya mengagguk. Semakin bingung apa sebenarnya yang sedang terjadi.
"Kalau kamu penasaran tentang apakah aku pacaran sama kamu hanya karena kamu mirip Najwa, kamu bisa menyimpulkan sendiri dari diary-ku yang sempat kamu baca tanpa seiizinku, dulu."
Belum sempat aku merespon Radit, ponselku berdering. Dari seberang telefon, "Aku di depan rumah kamu." Suara sengak yang menyebalkan itu lagi....
Drama macam apa lagi yang akan aku hadapi, Tuhan?
"Rades ya?" Tanya Radit dengan senyum sinisnya.
Aku hanya tersenyum mengangguk.
"Ya sudah sana. Nanti pacar barumu marah lagi kalau kamu lama-lama di sini."
"Maksud kamu apa, Dit?"
Tanpa menjawab, ia berdiri hendak pergi.
"Tunggu." Aku serahkan sekantong plastik berisi makanan dan sebuah novel karya Dan Brown kesukaannya, "Untuk teman bosanmu." Kubilang.
Ia terima dengan malas, aku pamit pulang.
***
"Ayo!" Begitu sampai di rumah, Rades langsung menarikku turun dari motor Adrian.
"Kemana?"
Ia tak menjawab. Aku dipaksa masuk dalam mobilnya. Adrian langsung pergi, enggan kembali ikut campur urusan dua saudara ini. Sepanjang perjalanan tak satupun dari kami yang membuka mulut untuk bicara. Aku hanya memandangi wajahnya, entah kenapa semakin lama aku menatapnya, hatiku semakin nyilu, apa iya aku suka padanya?
"Ngapain kamu ngeliatin aku?" Tanyanya dengan nada sengak khas Rades. Ah, sudah lama rasanya ia tidak berbicara cerewet padaku.
Aku diam, menatap ke depan. Malu juga ia menegurku begitu.
"Bilang saja kamu seneng ngeliat aku." Ucapnya pelan hampir tak terdengar.
"Kamu bilang apa?"
"Apa? Aku tidak bilang apa-apa." Jawabnya dingin.
Sampai di sebuah villa. Rades masuk, ia berkeliling dan berteriak memanggil papa, mama dan adiknya bergantian. Namun tak ada satupun yang menyahut. Dan munculah tukang kebun yang biasa mejaga villa keluarganya, memberikan informasi bahwa Pak Ryo dan yang lain sedang keluar pamit mencari makan.
"Kenapa kamu ngajakn aku ke sini?" Tanyaku basa-basi.
"Randa yang minta. Permintaannya emang selalu merepotkan." Gerutunya pelan lalu diam.
Jadilah kami berdua duduk dalam diam di ruang tamu, membiarkan televisi ramai diantara kesunyian kami. Rades sibuk menelfon Pak Ryo yang tak kunjung diangkat. Aku haus, aku ke dapur. Rades mengikuti.
"Kamu bisa masak?" Tanyanya saat aku membuka pintu lemari pendingin mencari sesuatu yang bisa aku minum. Sebenarnya aku juga lapar. Di sana hanya terdapat sekotak susu dan es krim.
"Masak ya bisa, tapi rasanya nggak jamin deh bisa dimakan. Hehe. Mau ini?" Kusodorkan sekotak es krim ke dadanya.
Ia mengambilnya lalu memukulkanya pelan ke kepalaku.
"Huu... Ngakunya cewek, tapi g bisa masak." Gerutunya.
Ia tertawa puas, kemudian ia mengambil dua sendok, satu disodorkannya padaku. Jadilah kami berdua menghabiskan sekotak es krim rasa coklat berdua. Suasana mulai mencair. Ia banyak tertawa melempar lelucon yang belum pernah aku dengar dari seorang Rades. Ada apa lagi ini, Rades? Apa jangan-jangan kamu ini bipolar? Punya kepribadian ganda?
Sekotak es krim sudah habis, Pak Ryo dan yang lain tak kunjung datang. Mengantuk, akhirnya aku merebahkan diri di sofa panjang. Belum lagi lelap, Randa sudah duduk di atas perutku. Aku terperanjat kaget.
"Kak, ayo kita naik kuda." Pinta Randa memanja.
"Kak Prinsa-nya masih lelah, sayang. Biarkan dia istirahat dulu." Tante mengingatkan. Tapi Randa tak mau tahu. Ia menarikku keluar villa menuju peternakan kuda. Ya ya ya, seperti yang Rades katakana tadi, Randalah yang meminta Rades menjemputku.
Dengan semangat, Randa memperkenalkan Hercules, kuda poni kesayangannya. Randa sudah pintar menunggang kuda. Sementara aku baru pertama kali. Jadilah sesorean ini si duo R, Randa dan Rades mendadak jadi guru privatku untuk menunggang kuda. Sementara Pak Ryo dan istrinya menyiapkan makan malam.
Tuhan, hamba tidak egois kan jika berharap jika momen ini berlangsung selamanya? Rasa bahagianya seperti darah yang mengalir keseluruh tubuh, melewati setiap sel tubuhku tanpa terkecuali. Aku bagahia, dan aku tidak bisa membohongi hati ini lagi. Ceria ini, kebersamaan ini, wakt ini, izinkan aku tetap menikmatinya selamanya, Tuhan. Aku egois ya? Tapi bukankah semua makhluk hidup memang egois? Setidaknya merasa bahagia adalah hak semua orang.
***
Tapi Tuhan memiliki rencana lain rupanya.
Malam itu sudah menunjukkan jam 8. Pak Ryo memutuskan untuk kami menginap saja malam ini, baru besok subuh kembali ke rumah. Tapi Randa menangis terus, meminta pulang. Akhirnya mau tidak mau kami semua sepakat untuk pulang. Sesampainya di kediaman Pak Ryo, sudah ada 3 orang polisi sedang mengobrol dengan Pak Satpam. Melihat kedatangan kami, polisi itu segera meminta waktu untuk berbicara dengan Pak Ryo dan Rades. Pak Ryo menyuruh istrinya untuk membawa Randa yang sudah tertidur lelap untuk segera masuk saja.
 "Saudara Nanryo Arades harap ikut kami ke kantor."
Buuumm! Kata-kata itu seolah bom atom yang tiba-tiba menggelinding dan meledak tanpa peringatan, sejak awal kedatangan mereka sebenarnya aku sudah menaruh perasaan yang tidak enak.
Rades cuma diam saja saat seorang petugas memegang tangannya mengarahkan untuk segera masuk ke dalam mobil polisi. Segala elakan dan ketidak relaan kami tak berguna untuk menahan Rades.
Ada apa ini? Kenapa Rades tiba-tiba saja di tangkap? Apa ini ada hubungannya dengan Radit? Tuhan, rencana apa lagi yang sedang Engkau kerjakan pada kami? Â
Penangkapan sekitar pukul satu dini har itu, menyisakan tanda tanya besar yang melutup-letup dalam ruang ketidak terimaan kami. Tanpa komando, Pak Ryo dan aku berangkat ke kantor polisi malam itu juga. Betapa terkejutnya aku  ternyata di sanapun telah berjajar 4 orang anggota geng TM yang lain. Geng TM terciduk. Dulu memang aku sangat berharap riwayat geng TM segera tamat, tapi kali ini kenapa aku merasa tidak rela? Apa karena di sana ada Rades?
Menurut keterangan yang aku dapat, geng TM ditangkap atas tuntutan dari seseorang yang tidak mau disebut identitasnya karena geng TM telah bertindak sebagai bandar narkoba. Tidak hanya itu, ada pula laporan yang menyatakan bahwa geng TM melakukan tindakan kesewenangan/kekerasan, terdapat 15 orang korban. Bahkan terbubuhkan pula laporan pencemaran nama baik atas nama korban Alan dan Radit yang dijadikan kambing hitam oleh geng TM untuk menutupi tindak kejahatan mereka.
Menurut kepolisian bukti-buktinya itu dapat dipertanggung jawabkan, namun setiap ditanya mati-matian, kepolisian seolah menyembunyikan para saksi dan pelapor. Dan entah mengapa, firasatku menuding bahwa Radit yang berada dibalik kejadian ini. Oh, Tuhan! Jangan Kau buat suasana lebih parah lagi dari ini.
Aku dapat melihat dengan jelas wajah pucat Rades dan anggota Geng TM lainnya. Rades hanya diam tertunduk, meski Herman berkali-kali mencoba menyangkal tuduhan yang dilayangkan pada mereka dan bersambut dukungan dari anggota Geng TM lainnya. Namun apa mau dikata, polisi menyajikan foto-foto korban yang sedang dipukuli oleh Geng TM. Begitu pula foto Geng TM yang sedang melakukan transaksi narkoba dangan pelanggannya. Tak ada lagi alasan atau pembelaan yang dapat meloloskan mereka. Pak Ryo yang tak mengerti apa-apa sebelumnya dan tak mengira akan seperti parahnya, hanya diam seribu bahasa dalam kecemasannya.
"Maaf, Pak Polisi. Dari mana semua foto ini didapatkan? Jangan-jangan ini hanya foto editan, Pak. Rekayasa saja." Herman saja yang masih berusaha keras penasaran, siapa yang dapat menangkap basah mereka hingga sempat memfotonya.
"Ini semua atas kesaksian dari saudari Rinta Ananta." Salah satu polisi membuka informasi.
"Rinta siapa, Pak? Kami nggak kenal dia."
"Hmm... Rinta teman sebangkuku." Aku spontan ikut menimpali.
Bagaimana bisa Rinta melakukan ini? Dari mana ia bisa mendapatkan semua foto-foto ini?
"Benar kalau kami memukuli Alan, tapi kami menolak disebut pengedar." Rades akhirnya turut buka mulut.
"Des ?!....." Bentak Herman dengan mata membelalak yang sepertinya tak terima dengan tindakan Rades yang menelanjangi aib Geng TM.
"Mungkin kamu bukan pengedarnya. Tapi apa kamu bisa menjamin kalau teman-teman kamu yang lain ini  juga bukan pengedar? Pertanyaan itu mencekik, muncul keraguan terhadap teman-temannya yang lain.
Alhasil, Geng TM harus rela menginap di hotel gratis ini, dan besok tinggal menunggu kapan jadwal sidang kasus mereka. Kasihan Rades, dia harus mendekam di penjara, padahal belum tentu dia bersalah, sejujurnya sih sedikit banyak aku mengakui keyakinanku tentang terkaitnya Geng TM dengan Radit dan Alan. Aku sendiri pernah menyaksikan penganiyaan itu, tapi kenapa aku tidak rela Rades di tahan? Bolehkan aku berharap Rades dibebaskan sementara geng TM lainnya tetap dipenjara? Ah, egoissnya. Duh, bisa-bisanya disaat seperti ini aku punya pikiran sepicik ini.
Aku dan Pak Ryo segera pulang. Karena sudah malam, aku menginap di Rumah Pak Ryo yang sebelumnya sudah memberi tahu mama jika malam ini aku tidak pulang. Tidak tega jika harus meninggalkan Pak Ryo sendirian memikirkan jalan keluar, pahit memang melihat kedua anaknya ditahan, maka subuh itu juga dia menghubungi 3 pengacara yang juga temannya, ketiganya bersedia membantu untuk kasus kedua anaknya. Syukulah. Semoga Rades dan Radit dapat segera bebas.
Randa sempat bangun dan menangis memanggil-manggil Rades. Kasihan Randa yang tak tahu apa-apa. Aku segera membawanya ke kamarnya dan turut ikut menemani Randa hingga tertidur lelap setelah aku bacakan dongeng.
Mataku masih enggan terpejam. Bagaimana pula aku bisa tidur setelah kejadian hari ini? Apa Rades di sana bisa tidur nyenyak? Duh, kenapa aku kawatir banget ya sama Rades? Bukannya selama ini Rades sudah terbiasa hidup keras, aku yakin Rades bukanlah orang lemah. Dia pasti bisa melewati ini semua.
Baca Juga: Trouble Maker (Part 1)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI