Senyumku sirna, pitamku menaik. "Maaf, Ghost. Sejak kecil aku dididik dengan suasana keislaman yang kental, dan sudah menjadi keharusan bagiku mendidik anak-anakku dengan didikan Islam pula. Jujur, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kamu, aku sangat tersanjung. Sebab aku sendiri tidak akan mampu untuk berpindah agama. Lebih baik aku hancur karena terpisah darimu dari pada harus berpindah agama, sebab agama adalah hal yang sangat fundamental bagiku. Maaf jika aku belum bisa seberani kamu, Ghost." Kuhapus air mata, menahan amarah yang bercampur kepedihan dan juga bingung bagaimana harus menyikapi keadaan ini.
Muka Ghost memerah, menggeram. Ia menyeringai. Aku merasa bersalah tak mampu mengontrol emosiku. Ghost beranjak menuju parkiran, aku tetap dalam dudukku, memandang lekat-lekat punggungnya yang menjauh. Ah, kata-kataku terlalu kasar padanya. Langkah Ghost kemudian terhenti, lama, kemudian berbalik menghampiriku, menarik kursi duduk di sampingku. "Aku harus bagaimana lagi agar bisa terus bersama kamu, Lis?" Ghost memegang tanganku, emosiku campur aduk. Bahagia karena Ghost tidak benar-benar akan meninggalkanku, tapi juga bingung harus menjawab apa.
"Ghost, kamu tahu bagaimana perasaanku padamu. Tapi aku juga tidak mau menjadi penghancur hubunganmu dengan keluargamu. Mereka yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Selesaikanlah dulu dengan keluargamu, biacarakan baik-baik. Aku akan tetap menunggu kamu kembali, seperti tadi. Karena aku yakin, kamu akan selalu kembali. Â Jika kita berjodoh, semesta akan selalu menemukan cara untuk mempersatukan." Kami saling membalas senyum dan tatapan berusaha saling menguatkan.
Dan begitulah kiranya, aku yakin, masalah ada untuk memperingatkan kita. Bahwasanya ia dapat menguatkan ikatan batin antara dua insan, dapat pula menjadi penegas dari perpisahan. Aku hanya berharap, semoga Tuhan senantiasa memberikan pembelajaran terbaik bagiku dan bagi Ghost juga. Apapun hasilnya, aku akan belajar pasrah.
Kami berpisah, Ghost bersiap untuk menghadiri wisuda temannya. Aku ke lokasi pelatihan. Esok paginya kami berjanji untuk  bertemu  kembali, semoga permasalahan ini sudah menemui titik terangnya.
Tapi hati memang tak seharusnya dibiarkan ditumpuki harapan, kecewa itu menyakitkan. Keesokannya, sampai dengan sore, Ghost mendadak tidak bisa dihubungi. WA tidak dibalas, telfon tak jua diangkat meski sudah puluhan panggilan. Baiklah, Ghost, jika ini keputusan kamu. Kita selesai sampai di sini. Jam sebelas malam aku memesan ojek online ke Terminal Purabaya. Pulang, aku butuh rumah untuk mendamaikan suasana kebatinanku.
      Pukul 02.34, tiga jam sudah pantatku penat cuma duduk dalam bus, setengah perjalanan lagi menuju Jember. Aku posting hasil racauan galauku ke story WA. Ada yang merespon, jadilah sesi curhat dini hari tambah membikin dingin hati yang sedari tadi AC Bus berhasil membuat jemari mengkerut.     Â
"Cinta yang serius itu, sampean mencari santri, pintar baca kitab, suka ziarah kubur, ganteng, sehat, wirausahawan, punya ekonomi yang cukup. Tidak harus punya gaji tetap, yang penting tetap berpenghasilan. InsyaAllah makmur, Mbak." Begitu Akbar, mahasiswa dua tingkat di bawahku dulu, memberikan nasihat ketika kuhujani curhatan.
      "Ndak ah, nunggu saja. Ndak mau nyari. Yakin Allah sudah mempersiapkan untukku dengan sebaik-baiknya." Timpalku sekenanya disertai emot ngakak.
      "Santri temenan niki. Puasrah pol-polan." Akbar mengajukan kedua jempolnya lewat emoticon.
      "Soalnya kalau nyari kesannya ngebet, kebelet banget." Aku nyengir, Akbar ngakak.