"Ah, syaratnya yang lain saja dong." Ghost memohon, karena kumis itu belum pernah dipangkas habis, hanya dirapikan, sejak pertama tumbuhnya.
"Hmmm.... Traktir es krim terus dimakan bareng di Suramadu." Kami nyengir. Mengingat memori selama setahun terakhir.
"Waduh, lima menit lagi  berangkat ni. Aku pulang kampung dulu ya,  Ghost. Kutunggu kau di Jember." Ucapku akhirnya menetapkan perpisahan.
Dalam pikiranku, kereta ini akan membawaku pergi jauh darinya dan mungkin tak akan berjumpa lagi, berharap semoga Tuhan menjauhkannya dariku. Sebab aku sendiri tidak sanggup untuk mengambil keputusan menjauh darinya. Ada sebentuk perasaan liar yang mendadak menodong untuk dilepaskan. Aku yang seorang santri, berani meloloskan perasaanku pada non-muslim seperti Ghost. Tapi bukankah cinta tidak pernah salah? Perasaan yang tumbuh di hati bukanlah hal yang salah. Setiap orang berhak dijatuhi cinta, dan sepertinya mulai dari subuh ini hati akan siap untuk patah sepatah-patahnya.
***
      Empat bulan tak  bertemu dan sepi dari komunikasi. Aku ke Surabaya karena diundang menjadi pemateri suatu pelatihan adik-adik mahasiswa. Kami sempat bertemu, sebentar.
"Aku tidak mungkin berpindah agama, dan aku juga tidak akan memaksamu untuk berpindah agama." Ucapku saat percakapan kami kian menuai benang kusut perihal kelanjutan hubungan ini. Ghost hanya diam, aku memainkan sedotan pada es jeruk di depanku.
"Saya bersedia pindah agama." Pernyataan singkat Ghost membuat jantungku memukul mukul tulang rusuk, memaksa keluar dari dadaku. Aku kehabisan kata-kata, takjub. Air asin keluar dari kedua sudut mataku, menggenang, siap mengalir.
"Tapi saya mohon sama kamu satu hal..." Ghost memenggal penjelasan membuatku ditimpa penasaran. "Saat kita menikah nanti, saya berharap kamu tidak akan menceraikan saya sampai akhir hayat kita. Pengorbanan saya ini tidak kecil, Lis. Saat saya pindah agama nanti, keluarga dan teman pasti menjauh, mengucilkan. Hanya kamu yang saya punya. Saya tak tahu lagi jika kamupun meninggalkan saya setelah apa yang saya lakukan untukmu nanti." Ghost memandangiku lekat-lekat.
"Itu pasti." Aku mengangguk mantap, air mataku mengalir dan sekujur tubuhku merinding.
 "Dan ketika kita memiliki anak nanti," Ghost tersenyum, aku tersenyum menghapus air mata, "Kita biarkan anak-anak kita nanti memilih agamanya sendiri, kita tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk agama apa." Matanya nanar menahan badai dalam batinnya, "Sebenarnya saya juga punya ketakutan lain, bagaimana menghadapi keluarga, tetangga dan orang-orang yang seagama denganmu, bagaimana jika tahu keadaan saya lalu semakin bangga merasa agamanya yang paling benar dan merendahkan agamaku?"