Saya termasuk pengguna jasa transportasi online, baik mobil, maupun motor/ojek. Untuk mobil, setahun terakhir lebih banyak menggunakan jasa taksi regular Blue Bird karena layanan online mereka telah disesuaikan, walaupun masih harus banyak perbaikan, juga karena pertimbangan praktis dengan aturan ganjil-genap di ruas utama jalan di Jakarta.
Selama menggunakan moda transportasi ini, jarang sekali mendapat driver/pengemudi perempuan. Dalam satu tahun terakhir dengan frekuensi 2-4 kali/sebulan, saya baru mendapatkan satu orang pengemudi perempuan.Â
Ojek online (ojol) kurang lebih sama. Dalam lima bulan terakhir, hampir setiap hari saya menggunakan jasa ini untuk rute rumah - stasiun MRT - kantor (pulang pergi). Total empat kali per hari.
Jika kita hitung rata-rata 20 hari kerja dalam sebulan, maka total ada 400 kali. Dari ratusan kali itu, hanya dua kali saya mendapatkan pengemudi Ojol perempuan. Ini menunjukkan jumlahnya kecil.
Dengan pengemudi perempuan Blue Bird saya sempat berbincang tentang pengalamannya. Menurutnya memang tidak mudah menjalani profesi ini karena taksi adalah dunia kerja sangat 'laki-laki' dalam pandangan budaya kita. Selain karena faktor keamanan, jam kerja yang tidak biasa serta hidup di jalanan yang keras dan penuh tantangan. Â
Selama kurang lebih dua tahun mengemudi taksi, ia beberapa kali ditolak oleh penumpang setelah mengetahui pengemudinya perempuan. Satu hal yang paling ia ingat ketika telah mengantri cukup lama di salah satu pusat perbelanjaan, setelah mendapatkan giliran, calon penumpang menolak setelah mengetahui pengemudinya perempuan.Â
Dari pengalaman ini ia belajar, jika pesanan melalui aplikasi online, ia akan memastikan kepada calon penumpang untuk tetap ambil atau tidak terutama jika penumpangnya laki-laki.Â
Tentang potensi kekerasan/pelecehan, si ibu pengemudi mengatakan belum pernah mengalaminya dan menekankan jangan pernah mengalami. Pihak manajemen Blue Bird membekali arahan untuk menghadapi situasi kerentanan atas kejahatan yang mungkin akan terjadi. Â
Menjadi pengemudi adalah penghasilan utama si ibu. Ia menyiasati jam kerja sebagaimana jam kerja pada umumnya. Keluar pagi, kembali setelah petang datang. Memang ada target, namun sebagai orang tua tunggal, ia lebih mementingkan waktu untuk berkumpul dengan tiga orang anak-anaknya.Â
Sejauh ini menurutnya penghasilan cukup untuk mendukung hidup sehari-hari dan juga sedikit menabung. Menurutnya dari sekian ribu pengemudi Blue Bird, jumlah pengemudi perempuan hanya satu digit persen, kurang jauh dari 10 persen. Â
Mengapa memilih menjadi pengemudi taksi? Menurutnya ini adalah bidang kerja yang sesuai dengan keahliannya. "Kesempatan kerja di kantor semakin tipis untuk perempuan seusia saya, Mbak. Saya 45 tahun," begitu alasannya.
Sayangnya saya belum pernah mendapatkan pengalaman berbincang dengan pengemudi perempuan ojol atau layanan ride-hailing dari layanan yang berbeda seperti Gojeg dan Grab. Â
Untuk memperingati hari Ibu tahun ini, tulisan ini ingin merefleksikan sedikit tentang kesempatan dan keterlibatan perempuan di bidang ekonomi, di dunia kerja berbayar. Sebagaimana telah banyak ditulis, hari Ibu pada dasarnya adalah hari perempuan Indonesia.Â
Hari di mana para perempuan-perempuan dari berbagai penjuru nusantara pertama kali bertemu pada 22 Desember 1928, berdiskusi, bertukar pikiran tentang hal-hal menyangkut masa depan mereka.
Saat ini kita berada di dunia yang telah berkembang cepat terutama dengan teknologi dan juga fenomena industri sharing economy. Pembuka di atas adalah gambaran bagaimana ia telah menjadi kebutuhan keseharian mobilitas kita.Â
Telah banyak kita saksikan perempuan yang berkontribusi sangat penting bagi pembangunan di segala bidang termasuk ekonomi dan kehidupan manusia Indonesia yang lebih baik. Namun, jika kita menilik data ternyata masih ada pekerjaan rumah yang mesti ditingkatkan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah populasi perempuan di Indonesia sebesar 49.8 persen dari total populasi. Bahkan BPS memperkirakan proporsi jumlahnya akan meningkat sebesar 50.22 persen pada 2045.Â
Namun di dunia kerja, partisipasi perempuan hanya 51.88 persen dibandingkan dengan laki-laki 82.69 persen. Ini merupakan kesempatan penting untuk meningkatkan kinerja perekonomian melalui lebih banyak keterlibatan perempuan di dunia kerja karena jelas-jelas akan meningkatkan perolehan Gross Domestic Product (GDP). Â
Seperti yang pernah saya singgung pada tulisan sebelumnya di sini, dimanapun berlaku kesetaraan gender adalah kunci. Hal ini juga ditegaskan pada studi yang dilakukan oleh McKinsey (2018) meningkatkan kesetaraan gender dan juga keterlibatan partisipasi perempuan pada dunia kerja akan berdampak pada peningkatan tingkat perekonomian negara.Â
Laporan tersebut menyebutkan angka sebesar US$135 billion atau kurang lebih 2 trilyun rupiah perolehan tahunan Gross Domestic Product (GDP) pada tahun 2025 atau 9 persen di atas perolehan biasa. Laporan hasil penelitian dapat dilihat di sini.
Ada hasil penelitian menarik yang penting disimak dalam konteks perempuan, ride-hailing dan economy sharing. Beberapa temuan mungkin perlu diperbaharui namun sebagai sebuah refleksi, menurut saya penelitian ini penting dibaca. Â
Laporan Penelitian tentang Perempuan, Ride-Hailing dan Economy Sharing Â
Pada tahun 2018, International Finance Cooperation (IFC) mengeluarkan laporan tentang Driving Toward Equality: Women, Ride-Hailing, and The Sharing Economy.Â
Laporan penelitian ini menarik untuk melihat potensi sharing economy dan khususnya industry ride-hailing terutama untuk mengetahui lebih jelas ketimpangan gender. Hasil lengkap penelitian dapat diakses di sini.Â
Dampak dari bisnis sharing economy ini telah kita rasakan bahkan hampir di seluruh dunia. Penelitian ini mengutip laporan Nielsen (2014) dimana secara global dua pertiga konsumen akan berpartisipasi dalam sharing economy dengan ketertarikan lebih tinggi di pasar yang berkembang. Ride-hailing merupakan pionir dalam industri sharing economy.Â
Secara global, diperkirakan 18 persen masyarakat menggunakan jasa ini pada 12 bulan terakhir, sudah jelas seperti saya dan sebagian besar Anda adalah diantaranya. Diperkirakan jumlahnya delapan kali lipat bertambah pada tahun 2030 dengan total perjalanan 100 juta per hari. Â
Mencari nafkah dengan menjadi driver/pengemudi didominasi laki-laki bukan hanya di Indonesia tapi hampir  di negara-negara lain di dunia. 98 persen pengemudi taksi di London adalah laki-laki. Ride-hailing meningkatkan partisipasi perempuan menjadi pengemudi. 20 persen pengemudi Uber di Amerika adalah perempuan.
Penelitian ini menggunakan data dari perusahaan ride-hailing Uber. Untuk pengumpulan data, mereka menggunakan kombinasi data anonym, agregat, dan studi literature, studi terfokus dan suvey 11 ribu perempuan dan laki-laki pengguna Uber.Â
Tim peneliti juga melakukan konsultasi dengan kurang lebih 40 ahli tentang gender, transportasi dan peluang kerja yang menjanjikan di masa depan. Penelitian dilakukan di enam negara pangsa pasar Uber yaitu Republik Arab Mesir, India, Indonesia, Mexico, Afrika Selatan, dan Inggris.Â
Negara-negara tersebut dipilih untuk merepresentasikan kewilayahan, budaya, ketimpangan gender, konteks ekonomi  dan pembangunan sosial.
Salah satu temuan menarik dari  studi ini  terutama dalam konteks Indonesia adalah norma-norma sosial membatasi perempuan menekuni profesi sebagai pengemudi ride-hailing.Â
Secara keseluruhan, 11 persen perempuan pengemudi yang disurvey mengatakan teman atau keluarga tidak menyetujui keputusan mereka untuk menjadi pengemudi.Â
56 persen pengemudi laki-laki di Mesir dan Indonesia yang disurvey mengaku tidak senang jika perempuan di keluarga mereka bermaksud untuk menjadi pengemudi Uber.Â
Sebaliknya di India, Meksiko, dan Inggris mereka mengaku senang-senang saja jika perempuan bermaksud untuk mendaftar sebagai pengemudi Uber.
Hal-hal yang dikhawatirkan oleh mereka yang tidak senang adalah masalah keamanan, dan juga pertanyaan tentang keberlanjutan profesi driver bagi perempuan.Â
Soal keamanan juga menjadi hal yang dikhawatirkan oleh pengemudi perempuan. 64 persen perempuan pengemudi khawatir soal kemananan dan menjadi faktor mereka enggan menjadi pengemudi dan 26 persen tidak mengemudi lagi karena alasan keamanan tersebut.
Perempuan pengemudi juga mengalami diskriminasi. 14 persen perempuan pengemudi yang disurvey percaya calon penumpang membatalkan pesanannya karena alasan jenis kelamin. Angka ini bertambah menjadi 15 persen di Mesir dan Indonesia. Hal ini persis yang dialami pengemudi Blue Bird yang saya ceritakan di atas.
Karena mengemudi adalah profesi yang sangat 'laki-laki', mungkin Anda juga berfikir penolakan terhadap perempuan terkait dengan kepercayaan pada kemampuan perempuan dalam mengemudi. Penelitian ini menyebutkan hanya 17 persen penumpang/pengguna perempuan tidak percaya dengan kemampuan pengemudi perempuan, yang menyebabkan mereka tidak jadi memesan Uber. Pengalaman saya dengan dua orang  pengemudi perempuan Ojol bahkan menyenangkan. Mereka berdua driver yang cepat, cekatan namun hati-hati dan waspada.
Sebagai penumpang dan pengguna ride-hailing, perempuan adalah jumlah terbesar dan mayoritas di Indonesia. Ride-hailing membantu Ibu-ibu untuk mengelola kompleksitas perjalanan/bepergian dengan anak-anak, 30 persen perempuan, dibandingkan dengan 20 persen laki-laki.Â
Hampir dua dari lima ibu (39 persen) yang disurvey sangat percaya, ride-hailing membantu mereka mudah bepergian dengan anak-anak. Termasuk bagi beberapa perempuan, ride-hailing memberikan kepercayaan diri lebih bagi mereka untuk bepergian terutama malam hari.Â
Secara global 7 persen perempuan mengatakan mereka sebelumnya belum pernah melakukan bepergian pada malam hari. Angka ini meningkat 9 persen di Indonesia dan 10 persen di Afrika Selatan.
Dengan angka pengguna perempuan yang tinggi, dan juga kesempatan yang besar, penelitian ini salah satunya merekomendasikan untuk merekrut lebih banyak perempuan di industri ini akan menciptakan semacam lingkaran kebajikan atau contoh yang baik untuk keterlibatan perempuan.Â
40 persen penumpang perempuan lebih memilih pengemudi perempuan ketika bepergian sendiri atau malam hari. Kebutuhan untuk pengemudi perempuan rupanya juga meningkat dibuktikan dengan 44 persen perempuan yang disurvey mengatakan akan menggunakan aplikasi Uber jika ada pilihan untuk pengemudi perempuan.
Hasil temuan penelitian terakhir mungkin perlu dicek kembali sebab layanan LadyJek yang pernah muncul dengan pengemudi perempuan dan khusus melayani penumpang perempuan tidak cukup berkembang. Mungkin karena faktor pasar, dst.Â
Di samping itu, perlu dipikirkan kembali bagaimana menciptakan lingkungan kerja di industri ini yang ramah perempuan. Memperbaiki sistem transportasi yang menyeluruh adalah salah satunya. Â
Saya tertarik mendengar dan membaca penelitian-penelitian lanjutan terkait dengan ini. Semakin banyak pilihan semakin membuka peluang perempuan untuk berkontribusi dan berkarya.Â
Kembali dengan catatan kita sama-sama ciptakan lingkungan yang kondusif bagi tersemainya nilai dan prinsip kesetaraan gender di keluarga dan masyarakat.
Selamat Hari Ibu, Selamat Hari Pergerakan Perempuan Indonesia. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI