Belum lagi para perempuan muda, ibu pengganti ini bersuami dan juga melahirkan anak-anak dari suami mereka. Cerita lebih lengkap dapat dibaca di sini.
Sedangkan dari sisi berbeda, kelompok pendukung surrogacy berpendapat, melarang surrogacy untuk kepentingan bisnis hanya akan melahirkan pasar gelap serta potensi terjadinya praktik perdagangan manusia yang lebih besar di wilayah perbatasan/lintas negara seperti dengan Thailand, Nepal dan Kamboja.Â
Risiko besar lainnya adalah para 'penitip'/klien warga asing akan menelantarkan bayinya karena landasan hukum yang lemah.Â
Tahun 2008 pernah terjadi kasus yang menarik perhatian publik sangat luas. Bayi berumur dua minggu, asal Jepang, menjadi terlantar karena orangtuanya bercerai pada masa kehamilan ibu pengganti.Â
Sang calon Ibu menolak untuk menerima si bayi. Mahkamah Agung India lalu memberikan hak asuh kepada nenek dari pihak ayah setelah proses peradilan yang panjang dan lama termasuk ijin untuk keluar dari India.Â
Kasus ini akhirnya selesai setelah pemerintah Jepang mengeluarkan visa satu tahun untuk bayi perempuan ini atas nama kemanusiaan.Â
Kisah ini memberikan pembelajaran sangat penting dan juga tuntutan dari publik untuk kerangka hukum yang kuat untuk pengingkaran janji kontrak seperti ini.
Bagi kelompok feminis pendukung, melarang surrogacy juga berarti menafikan hak perempuan atas tubuhnya dan juga dapat memiskinkan mereka kembali. Sebab melalui cara itulah perempuan miskin di India hidup dan keluar dari kemiskinannya.Â
Pendapat mereka diperkuat, dari sisi teknis, perempuan pengganti akan berkonsultasi dengan pasangan dan keluarga sebelum melakukannya. Jadi apakah ada masalah dengan itu? Artinya perempuan melakukan dengan kesadaran penuh.
Persoalan ini memang terdengar semakin kompleks karena melibatkan juga hukum lintas negara. Pada tahun 2012, ketika India pertama kali melarang surrogacy untuk pasangan LGBT, para agen/klinik kesuburan tetap menerima untuk melayani jasa ini dari seluruh dunia.Â
Klien (laki-laki gay) mengirimkan sperma yang dibekukan ke Delhi yang kemudian digunakan untuk membuahi telur dari pendonor di India.Â