"Bu, Naya merasa sangat jahat dengan mas Bram. Naya meninggalkan dia lalu menerima lamaran mas Edo. Naya seharusnya bagaimana bu?"
"Nay, jodoh rezeki dan kematian itu adalah rahasia semesta. Kamu tidak salah apa-apa dalam hal ini. Coba berdoa dan mohon diberi petunjuk dari Tuhan"
"Bu, terima kasih untuk semuanya"
"sama-sama Naya, kamu harus siap-siap, keluarga Edo akan tiba sebentar lagi"
"Baik bu"
Secarik kertas di atas meja rias, dan Naya mulai merangkai kata :
"Dear Mas Bram
Aku selalu berdoa agar mas diberikan kesehatan. Aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Surat ini kutuliskan dengan hati-hati, mohon maaf untuk kata-kata selanjutnya. Mas, hari ini penentuan tanggal pernikahan antara  aku dan mas Edo. Aku belum mampu mengatakan bahwa aku mencintai Edo. Aku masih mencintaimu. Hanya saja kamu harus tau, pernikahan bukan hanya tentang cinta saja. Aku melihatmu sebagai laki laki yang gila kerja. Kau korbankan cintamu demi karir dan demi prinsip hidupmu itu. Kau sedang membangun istana tanpa penghuni mas.Â
Kau kumpulkan uang-uang itu dengan melepaskan satu persatu cinta di dekatmu. Aku bertanya, kapan terakhir kali kamu hadir di hari-hari terbaiku? Bahkan dua kali ulang tahunku kau tidak pernah ada. Hanya uang-uang dan uang yang kau pikirkan. Jangan katakan bahwa ini adalah untukku, untuk masa depan yang kau idam idamkan itu. Aku sedang tidak tergiur dengan masa depan impianmu itu. Semuanya hanya mengaburkan masa depanku. Aku sedang tidak berpikir jernih mas, maafkan aku. Semoga wanita terbaik yang kelak menemanimu.
                                                 - Naya
Naya melipat surat itu lalu menitipkan pada adiknya Rena. Sedikit tenang perasaannya, Naya bisa menjelaskan apa yang membuatnya memilih Edo. Ketukan pintu kamar sekaligus memanggil Naya untuk keluar dan bertemu dengan keluarga Edo. Â Sore itu Edo mengajak Naya untuk berbicara hanya berdua saja. Naya memilih tempat di kolam samping rumahnya yang cukup teduh.