Anniesa Hasibuan dan Andika Surachman menjadi salah satu contoh orang-orang bermental pendamba dunia. Diberitakan oleh tv nasional jika harga gorden di rumahnya mencapai Rp 700 juta. Kemana-mana bos First Travel ini selalu didampingi mobil mewah lengkap dengan bodyguard.
Sayangnya kesuksesan yang membuat kita berdecak kagum ini ternyata fiktif belaka. Sebab kekayaan yang didapat bukan hasil kerja keras, melainkan buah pembodohan calon jamaah haji dan umrah yang mendaftarkan diri melalui biro perjalanan mereka.
Jika kita perhatikan, tipe manusia seperti mereka agaknya makin bertebaran. Yakni tipe yang menganut paham 'pentingnya menampakkan apa yang dimiliki kepada semua orang'. Paham ini bermula dari cara kita memandang kesuksesan secara sempit, yakni dari kacamata materialistis semata.
Jika furniture rumah belum heboh, jika belum ada mobil/motor keluaran terbaru di garasi, jika belum jalan-jalan ke luar negeri, jika belum mampir ke restoran ngehits, BELUM BISA DIANGGAP SUKSES!
Padahal, siapa tahu mereka punya sebendal sertifikat tanah yang siap diwariskan untuk anak-cucu atau diwakafkan untuk tempat ibadah? Siapa tahu mereka punya deposito ratusan juta sebagai senjata menghadapi masa depan yang fluktuatif? Siapa tahu mereka rajin bersedekah sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat Tuhan?
Sempitnya Sudut Pandang
Ya, siapa tahu sebenarnya mereka telah merasa puas dan sukses dengan ketercapaian hidupnya?
Tapi kenapa kita sering melihat mereka yang kelihatan tak punya apa-apa sebagai manusia yang belum sukses? Sebab sudut pandang yang sempit mengenai kesuksesan!
Kesuksesan harusnya dinilai dari beragam aspek. Bahagiakah ia menjalani hari-harinya, bersemangatkah ia memperbarui ilmu terkait bidang kerjanya, tuluskah ia memperbaiki diri agar tak merugi, bermanfaatkah prinsip hidup yang dipegangnya?
Atau sebaliknya, ia sekedar menjalani hari demi memuaskan jiwa yang haus akan kebendaan dunia? Pergi pagi pulang petang tanpa visi hidup jelas. Sehari-hari yang diingat hanya cicilan mobil, pakaian model apa yang patut dibeli atau cafe mana yang belum dikunjungi.
Bukankah gaya hidup seperti itu melelahkan? Agar mendapat label sukses dari lingkungan, kita pontang panting membayar kreditan, gaji habis menuruti penampilan, kesempatan menabung sebagai cadangan masa depan pun terlewatkan.