Mereka akan hukum tembak aku, 15 menit lagi, dan setidaknya aku sudah menunggu sejak 5 tahun yang lalu, diulur-ulur sampai bosan ingin kugigit lidah ini. Kematian kini bagai harapan dari ruang sempit, makan bersama dengan tahik-tahikku, berbicara dengan lalat setiap harinya. Bau mesiu seperti bau kemenangan yang kunanti-nantikan, apalagi mayat-mayat yang melewatiku, di bopong dengan tandu, ditutupi mata dan dahinya, dan kulihat senyumnya itu. Senyum yang mungkin akan kulepaskan nanti.
Tapi sedemikian rupa pikiranku memuja kematian, badanku tidak demikian. Dia mengutuk, memberiku mimpi buruk, neraka, hanya neraka tempat penantianku. Gemetar aku dibuatnya, kakiku, bulu kudukku, air mataku yang keluar. Aku benci kemunafikan, dan kemunafikan muncul dalam alam bawah sadar terdalamku.
Dor!
Suara tembakan, Sniper Rifle Pietro Beretta, peluru berkaliber CF 18mm dengan daya letus piston 92FS, tertulis di lembaran detil eksekusiku, dan aku makin-makin familiar dengan suara teman baruku ini. Karena aku sarangnya nanti, bagai tanah tempat bibit pohon, aku akan menjadi sarang peluru.
Dor!
Mereka tembak dua kali, yang berarti satu meleset, atau mungkin belum benar-benar mati.
Kini mayat digiring lagi. Satu mengenai leher, lalu kedua mengenai kepala. Kini bibir yang lewat tidak lagi tersenyum, dengan darah yang bercecer dimana-mana, dan mulut yang terlihat meringis, dia salah satu yang tidak beruntung untuk bertemu dengan kematian.
Mungkin saja karma.
Kita yang mau dihukum mati ini punya banyak cerita, dan bentuk kematian kita mungkin merupakan wujud karma dari segala kisah yang telah kita bentuk. Dia yang mati pertama, Anton, nama panjangnya lupa karena disembunyikan perihal kematiannya oleh media, tapi aku kenal baik dengan dirinya. Seorang marxis, anarkis, perjuangan yang katanya demi bangsa malah akhirnya yang membunuhnya. Matinya sedemikian manis, tuhan mungkin berikan dia surga bersama para penjunjung revolusi, atau mungkin bersama Che Guevara, Lenin dan mungkin Karl Marx sendiri di neraka, tempat yang elit menurut dirinya, tidak buruk juga. Yang satu lagi namanya Farid Agdianto, yang salah tembak tadi. Nah, yang ini menarik, terkenal di koran-koran juga televisi, tragis tapi bangsat. Pedofil, hasil buah korban pedofil, diperkosa ayahnya hingga tidak bisa libido di depan wanita telanjang sekalipun. Diperkosanya anak-anak, lalu dibunuh. Dia juga bunuh menantunya, lalu dia bunuh ibunya. Bangsat memang, tapi ini salah nasib memang akal sehatnya menghilang, setidaknya cukup berakal untuk menceritakan kisahnya ke diriku.
Kalo aku?
Oh, aku tidak seperti mereka. Tak bisa salahkan dunia kapitalis seperti Anton yang dibunuh kaum pemodal, ataupun salahkan dunia yang kurang kemanusiaan seperti Farid yang kemudian kehilangan akal dan nuraninya.
Emakku orang baik-baik seperti emak-emak lainnya, Abah pekerja yang membanting tulang demi membawaku ke sekolah tinggi, jadi tolong jangan salahkan mereka. Aku dididik untuk shalat 5 waktu tepat waktu, mengaji habis magrib (walau paling 2 lembar saja kubaca), banyak membaca buku agar tidak tolol, dan dipaksanya aku untuk tidak bekerja, hanya belajar, belajar, dan belajar, untuk bisa buat pintar bangsa ini, mau jadi dokter, usahawan, atau yah, guru, untuk bikin pintar warga desa tolol lainnya agar setidaknya bisa membaca. Mereka orang yang baik-baik, dan aku hidup di lingkungan yang baik pula.
Lalu apa yang salah?
Tidak, tidak ada yang salah. Hanya aku yang tolol. Kisahku sekali lagi tidak semenarik apa yang dilalui dua lelaki tadi. Aku hanya lelaki yang kalap melihat sosok betina genit yang sembunyi-sembunyi selingkuh dariku (kusebut betina karena dia tak lebih dari binatang birahi di pandanganku sekarang), kubunuh dengan keji dia dan selingkuhannya di kasur tempat mereka saling bercumbu, para anjing itu, dan hukumanku yang mengarah pada saat ini adalah: Pembunuhan berencana yang kelewat keji.
Aku mati demi cinta yang cetek. Demi satu betina kampung yang bisa kutemukan di segala pelosok dunia. Dan sudah berapa surat kabar yang menceritakan orang yang membunuh atas alasan cinta belaka? Demi persoalan selangkangan dan nafsuwi belaka. Orangtuaku banting tulang 16 tahun membawaku ke gelar sarjana, dan ternyata anaknya masih bodoh, sebodoh orang kampung yang bunuh-bunuhan karena masalah betina.
Oh maafkan aku Abah, Emak, yang jauh-jauh dari kampung untuk melihat kematianku, untuk membacakanku yasin di kursi ruang tunggu ruang mayat, untuk pulang agar dicaci maki seluruh warga kampung yang baca koran pos kota, kolom ‘Nah ini dia!’ dengan ilustrasi calon menantumu yang pahanya keluar halus, lalu pria gendut berinisial 'Y' yang penisnya menonjol besar di antara selimut, dan sosokku yang memegang golok dengan tampang setan. Maafkan aku.
“Pak Agus, silahkan?”
Jantungku berhenti sesaat, panggilan lembut dari pria berjubah putih, sosok yang seharusnya mungkin adalah aku, si dokter muda. Memakai kaca mata bundar, rambutnya klimis yang diseka rapih, berkali-kali mewawancarai orang yang sudah ingin berhadapan dengan maut. Aku sudah berdiri didampingi 2 polisi dengan senjata mereka, sepuluh menit lamanya, lima menit lagi berarti eksekusiku. Dia suruh diriku duduk di kursi datar, mulai menyenter mataku, mendengarkan jantungku melalui stetoskop yang dikalungkan di leher, dan dipasang Sphygmomanometer di lenganku. Setelahnya dia tulis di kertas keterangan, dia lihat waktu dan sepertinya belum waktuku, dia kemudian berbasa-basi denganku :
“Agus Setiawan? Oh pernah ganti nama dari Agung pas sakit?”
“Oh sudah 26 tahun, jadi lulusan UI juga, ah, sayang sekali.”
“Agama anda Islam? Sebutkan syahadat ya, nanti. Jangan lupa.”
Dia lihat lagi jamnya, tatapannya berubah, dia lega. Lepas bebannya, hari ini aku yang terakhir, dan hanya sisa beberapa detik lagi.
Tentu saja, berapa kali dia menghadap teroris, musuh politik, psikopat, et cetera. Dia tidak begitu tahu bahwa diriku hanya sekedar pembunuh tengik kacangan. Bahkan dari apa yang kuterangkan, dia tidak benar-benar mendengar, bohong mungkin dikira. Muka kampungan seperti ini.
“Bapak siapa namanya?” Kini aku yang bertanya.
Wajahnya berubah, dia tidak senang dengan pertanyaanku. Memang, untuk apa orang yang akan mati beberapa menit lagi bertanya soal nama orang asing. Ah, sekali lagi ekspresinya berubah menjadi lembut, kupikir, dia kini berpikir biar saja. Tidak jadi penting, sosok didepannya hanyalah pasir, sebutir pasir dari panjang eksistensinya di jalur waktu pada presepsi kosmos. Sebuah jawaban tidak penting ini tentu tidak jadi persoalan seharusnya, tidak perlu panjang berpikir untuk apa, dan apa pentingnya. Hanya perihal gerakan lidah, dan udara yang menghempas dari pita suara.
“Ricky Kinanti Sulistyo”
“Bagus namanya, kayak aku yang artinya laki-laki yang setia, nama kita ini doa. Oh masih berapa menit lagi ini?”
“1 menit”
“Ah, bisalah kucerita sedikit. Aku ini hampir kayak kamu, dokter, masih masa calon dokter di daerah terpencil. Jatuh cinta sama gadis kampung genit punya selangkangan, disini akhirnya aku berada. Tolol memang, tiap hari belajar dari belum TK sampe sini, gak ada duit buat main, kupelotot buku-buku, sampe pemerintahan runtuh sama mahasiswa, sampe pemerintah punya lagi pemimpin korup lainnya, kuhiraukan dan tetep kupelotot ini buku, biar sukses, biar sentosa. Lalu apa? Aku jatuh sama selangkangan toh, sama nafsu. Kurelakan eksistensi sekali ini demi sifat primitif, jauh dari dunia manusia, aku jadi binatang. Aih, mungkin bukan aku saja. Matamu itu tahu lebih banyak dari aku perihal ini.”
“Ya, pak. Em, pak polisi tolong.”
Dua pria ini menarik bahuku, mendekapnya di antara dada-dada mereka yang tegap. Kulihat jam, sudah lewat 15 detik, dokter ini masih baik biarkan aku bicara.
“Jadi dok, sama kalian, dua polisi yang nguping dari tadi. Kalian lebih tahu dariku, dengar ucapan pria-pria yang menghadapi ajalnya. Mereka bisa jadi seperti api di korek yang benar-benar memakai batangnya sampai habis. Tapi bisa kasusnya sepertiku, menyia-nyiakan ruh yang ditiupkan kepadanya, menyia-nyiakan perjuangan ibu-bapak mereka, dapat mereka kebijaksanaan hidup dekat mereka mati. Tapi lebih baik seperti itu, setidak-tidaknya tahu walau telat daripada tidak tahu sama sekali!”
“Terima kasih pak atas petuahnya.”
Diseretnya aku. Kencing diriku di celana. Polisi ini sudah biasa, sudah keseharian. Keringatku keluar menyeruak seperti kehujanan diriku dibuatnya, kerongkonganku kering, aku minta minum tapi tidak diperbolehkan. Apa aku harus mati kehausan? Ah, sudah telat sih. Kini aku berada di lapangan tembak. Di kelilingi orang bersenjata, tegap, hitam. Ditemani bau amis darah, belum sempat dibersihkan, mungkin habis ini biar sekalian saja. Salah satu pria dengan tatapnya tajam, ah, aku tahu dia yang ingin mengeksekusi diriku. Diambilnya senjatanya, dimasukan pelurunya, dan dikokang. Jantungku copot dibuatnya.
Lalu diberdirikan aku di tengah-tengah lapangan hijau bercampur bercak darah ini, dibayangi terik matahari. Tubuhku berteriak, aku ingin berlari tapi pikiranku menolak, nanti pelurunya kena kaki, terus badan, terus kepala, sakit matiku. Aku ingin mengigit, mengoyak-ngoyak polisi yang membawaku, toh dia tidak jauh dariku. Untuk apa? Entah, insting primitifku lagi-lagi, dan aku tidak ingin jatuh kedua kalinya. Pura-pura gila mungkin, ah, harusnya kupikirkan ini jauh-jauh hari!
“Sudah siap pak?”
Aku.. aku harus apa? Berdoa kah? Ah tidak, aku menangis. Sekarang telat lagi, aku harusnya berdoa dari tadi. Tapi sebosan apa cerita ini jika kuhabiskan dengan berdoa saja?
Krek! Suara pelatuk. Seketika aku ingat Abah dan Emak yang kujanjikan haji, adikku Julia yang katanya ingin kuliah tapi kesusahan karena angka 0 yang banyak di uang pangkal, aku janji untuk bayari dia. Oh, kucingku, Emon, nanti Julia yang gantikan kau beri makan. Sahabatku Josep yang janji sama-sama kita jejaki S2 diluar negeri. Ah.. Banyak janji yang kuutarakan. Kusia-siakan semua itu, demi apa? Demi apa? Apa perasaan yang tinggal di hadapan sang kematian hanyalah penyesalan?
Ah..ah..ah.. Tunggu, oh tunggu! Tangan kusongsong kedepan, kelopak tangan kulebarkan, kuberi tanda berhenti. Biarkan aku bernafas sejenak, biarkan aku..
DOR!!
AAARHHHHK!!! SAKIT!! Sakit sekali!
Dinginnya peluru-peluru yang kurasakan hanya sekilas, berubah menjadi rasa panas, sakit yang tak tertahankan. Aku gigit lidahku sampai putus. Semua mati rasa, kecuali rasa sakit di jantungku.
Kucoba menarik nafas, tetapi tak bisa, percuma. Tidak ada udara yang bisa kuhisap.
Ah, jelas aku mati, dan matiku jelas sedang tidak tersenyum. Lupakan optimismeku soal kematian di awal kisah, aku munafik soal itu, ah benci sekali.
Saat ini aku tidak bisa mendengar apapun, kecuali dengung yang luar biasa berisik. Semua terasa seperti mimpi, mimpi buruk. Walau mataku dalam keadaan tertutup, aku bisa merasakan badanku melayang.
Makin tinggi, makin cepat, dan…
Lalu hilanglah semuanya.
Kudengar doa Abah dan Emak, samar-samar juga ada Julia.
...
!?وصدق دعائك انفرجت
Hah, suara siapa itu?
!!به أحد من البشر
Siapa itu? Aku dimana? Sesak, gelap sekali.
..محال أن ترى صدر
Kau bicara apa? Aku tidak mengerti!
Tiba-tiba entah darimana, cahaya dari bawah menyinari seseorang yang menjadi lawan bicaraku tersebut, mereka 2 orang. Hei, mereka memakai sorban dengan jubah kotor, arab sekali, pikirku.
Ah, Mengapa 2 orang itu membawa pecut yang terbakar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H