Emakku orang baik-baik seperti emak-emak lainnya, Abah pekerja yang membanting tulang demi membawaku ke sekolah tinggi, jadi tolong jangan salahkan mereka. Aku dididik untuk shalat 5 waktu tepat waktu, mengaji habis magrib (walau paling 2 lembar saja kubaca), banyak membaca buku agar tidak tolol, dan dipaksanya aku untuk tidak bekerja, hanya belajar, belajar, dan belajar, untuk bisa buat pintar bangsa ini, mau jadi dokter, usahawan, atau yah, guru, untuk bikin pintar warga desa tolol lainnya agar setidaknya bisa membaca. Mereka orang yang baik-baik, dan aku hidup di lingkungan yang baik pula.
Lalu apa yang salah?
Tidak, tidak ada yang salah. Hanya aku yang tolol. Kisahku sekali lagi tidak semenarik apa yang dilalui dua lelaki tadi. Aku hanya lelaki yang kalap melihat sosok betina genit yang sembunyi-sembunyi selingkuh dariku (kusebut betina karena dia tak lebih dari binatang birahi di pandanganku sekarang), kubunuh dengan keji dia dan selingkuhannya di kasur tempat mereka saling bercumbu, para anjing itu, dan hukumanku yang mengarah pada saat ini adalah: Pembunuhan berencana yang kelewat keji.
Aku mati demi cinta yang cetek. Demi satu betina kampung yang bisa kutemukan di segala pelosok dunia. Dan sudah berapa surat kabar yang menceritakan orang yang membunuh atas alasan cinta belaka? Demi persoalan selangkangan dan nafsuwi belaka. Orangtuaku banting tulang 16 tahun membawaku ke gelar sarjana, dan ternyata anaknya masih bodoh, sebodoh orang kampung yang bunuh-bunuhan karena masalah betina.
Oh maafkan aku Abah, Emak, yang jauh-jauh dari kampung untuk melihat kematianku, untuk membacakanku yasin di kursi ruang tunggu ruang mayat, untuk pulang agar dicaci maki seluruh warga kampung yang baca koran pos kota, kolom ‘Nah ini dia!’ dengan ilustrasi calon menantumu yang pahanya keluar halus, lalu pria gendut berinisial 'Y' yang penisnya menonjol besar di antara selimut, dan sosokku yang memegang golok dengan tampang setan. Maafkan aku.
“Pak Agus, silahkan?”
Jantungku berhenti sesaat, panggilan lembut dari pria berjubah putih, sosok yang seharusnya mungkin adalah aku, si dokter muda. Memakai kaca mata bundar, rambutnya klimis yang diseka rapih, berkali-kali mewawancarai orang yang sudah ingin berhadapan dengan maut. Aku sudah berdiri didampingi 2 polisi dengan senjata mereka, sepuluh menit lamanya, lima menit lagi berarti eksekusiku. Dia suruh diriku duduk di kursi datar, mulai menyenter mataku, mendengarkan jantungku melalui stetoskop yang dikalungkan di leher, dan dipasang Sphygmomanometer di lenganku. Setelahnya dia tulis di kertas keterangan, dia lihat waktu dan sepertinya belum waktuku, dia kemudian berbasa-basi denganku :
“Agus Setiawan? Oh pernah ganti nama dari Agung pas sakit?”
“Oh sudah 26 tahun, jadi lulusan UI juga, ah, sayang sekali.”
“Agama anda Islam? Sebutkan syahadat ya, nanti. Jangan lupa.”
Dia lihat lagi jamnya, tatapannya berubah, dia lega. Lepas bebannya, hari ini aku yang terakhir, dan hanya sisa beberapa detik lagi.