Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Jeda

26 Maret 2020   21:45 Diperbarui: 26 Maret 2020   21:53 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bilang untuk memberi arti dalam setiap tulisan yang kita beri,

Harus ada spasi.

Agar ada maknanya, agar rima punya nyawa.

Dari sekian banyak petuah yang ku dengar, ini satu paling ku percaya.

Kita tengah menghadapi bencana yang tak kasat mata,

Menyerang diam-diam dan membuat kita berhenti sejenak dari segala kepentingan dunia.

Berdiam diri dan menjaga jarak, katanya...

Seperti, untuk melakukan hal paling mudah pun kita harus kembali diingatkan dengan bencana.

Ada yang tengah memberontak dan ingin sejenak menikmati tenangnya diam.

Kini, baru kita sama-sama sadar bahwa untuk menjadi manusia kita perlu menjaga jarak dengan apa-apa yang membuat kita terlalu terikat.

Bumi mungkin sudah tak paham lagi dengan cara apa lagi hingga wabah menjadi pilihan yang membuat kita tak pernah mengira,

Bahwa ternyata, rumah memang segala-galanya.

Ada jam-jam yang dihabiskan di jalan, di perantauan,

Hingga pulang tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu untuk dirayakan.

Sudah berapa banyak perbincangan yang kita habiskan di gelas-gelas minuman itu?

Mengapa sulit sekali untuk menyisihkan waktu bersama orang-orang yang selama ini menemani kita, apapun keadaannnya?

Selayaknya manusia memang mungkin harus sakit agar paham arti jeda.

Ada banyak hal yang terlalu banyak kita korbankan untuk mengejar sesuatu yang kita sendiri tak mengerti akan mengarah kemana.

Bencana ini rupanya yang paling bisa menunjukkan siapa kita sebenarnya,

Telah banyak kita saksikan kerakusan dalam jiwa-jiwa yang kerasukan.

Ini adalah waktu yang tepat untuk menengok sejenak dinding-dinding kamarmu,

Berapa banyak jarak yang harus kau tempuh untuk tersadar bahwa tujuan akhir dari perjalananmu sesungguhnya sangat dekat dengan garis keberangkatanmu?

Bahwa kita adalah jiwa-jiwa yang lalai dalam mengabaikan kata hati,

Dan sudah sepatutnya untuk diuji dengan makhluk kecil yang tak pernah kita sadari diam-diam menginvasi.

Ini adalah saat yang tepat untuk melihat kembali dalam diri,

Kita tak harus menjadi apa dan siapa untuk tak lagi abai dan mulai peduli.

Bahwa hidup adalah tentang kemampuan untuk bertahan dalam badai,

Hingga untuk melewatinya kita perlu pondasi dengan kasih sayang yang dipupuk pelan-pelan agar bersemai.

Di ujung jalan itu mungkin yang kau temui bukanlah uang, kekayaan, jabatan, cinta atau kekuasaan yang buta,

Mungkin ia adalah rintik air dari sang mata yang tak henti mendoakan keselamatanmu dimanapun kau berada,

Dan mungkin pencarian kita memang hanya sekedar jeda yang selama ini tak terlihat nyata,

Menunjukkan isyarat yang mengudara di angkasa, mengutus kita untuk kembali membuka pintu itu,

Menengok dari jendela itu,

Mengucap salam kebahagiaan yang menggemakan kebahagiaan bernada "aku pulang",

Di kehangatan yang selama ini seringkali kita abaikan,

Dan lupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun