Bahkan dia harus mengambil cuti tak tanggung-tanggung sampai dua bulan lamanya. Sampai pemulihan dan fisioterapi selesai.
Semua tugasnya pun beralih menjadi tanggung jawabku. Mulai dari antar jemput anak sekolah, mengantarnya fisioterapi seminggu tiga kali, membantunya mandi, makan, sampai mengganti baju. Sepertinya aku punya empat anak di rumah!
Capek? Jangan ditanya!
Belum lagi kalau anak-anak bikin drama yang cukup membuatku jadi monster. Hahaha.
"Ibuuu, jangan marah-marah dong! Kan ibu sendiri yang bilang kalau puasa ngga cuma menahan haus sama laper, tapi juga menahan marah-marah. Hayooo lho, Bu.." seru si sulung saat aku mulai bicara dengan nada tinggi.
Aku kembali ber-istighfar.
Saat bulan biasa saja bagiku sudah cukup menguras tenaga, apalagi bulan puasa seperti sekarang. Rasanya benar-benar susah menemukan momen mesra bermunajat pada Allah dalam melangitkan doa.
Kok aku puasa hanya sekadar menahan haus dan lapar. Di sela-sela kesibukanku sungguh susah sekali mengontrol emosi yang datang dan pergi tak terkendali.
Bahkan aku menjadi ngga sempat membersamai anak-anak buat belajar ngaji atau menyimak muroja'ah. Saking sibuknya dengan urusan domestik dan kerjaan yang ngga kelar-kelar.
Padahal anak-anak ini adalah calon pejuang masjid yang kelak akan memakmurkan masjid. Anak-anak calon penerus generasi Rabbani. Anak-anak saleh ini adalah calon imam besar. Lelaki yang akan memiliki tanggung jawab sebagai imam keluarga, sebagai nahkoda kapal bahtera rumah tangga.
Anak-anak bukan alasan yang menyebabkan tingkat ibadah kita mengendur. Justru anak-anak adalah alasan kita meningkatkan ibadah, sebagai bentuk tarbiyah untuk mereka.Â