Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Harapan Pahlawan Devisa di Tengah Keprihatinan

8 Agustus 2016   17:26 Diperbarui: 8 Agustus 2016   18:12 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah Catatan Kecil tentang Pedihnya Perjuangan Buruh Migran di Negeri Orang

Oleh: Lintang Anis Bena Kinanti *)

Perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan buruh migran Indonesia (BMI) yang memiliki mata pencaharian di luar negeri tengah menjadi perhatian publik. Dalam Jambore Nasional Buruh Migran yang digelar selama tiga hari (23-25 November 2015) di Jember menghadirkan ribuan buruh migran dalam berbagai seminar dan sosialisasi mengenai program-program pemerintah dalam perlindungan buruh migran.

Tragis, nasib buruh migran masih dipandang sebelah mata di masyarakat. Proses yang dijalani pun terkesan rumit dan berbelit-belit. Tak heran banyak WNI yang lebih memilih bekerja di luar negeri tanpa mencatatkan diri ke instansi terkait. Bahasa kerennya: non-prosedural. Banyak juga yang mengatakan ilegal. Padahal resikonya sangat besar, hingga mempertaruhkan nyawa.

Belum hilang dari benak warga domestik, kasus kecelakaan kapal di perairan Sabak Bernam, 10 mil di luar pantai Johor yang terjadi 3 September 2015 silam. Kapal naas tersebut berangkat dari Sabak Bernam menuju Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Sebanyak 65 korban tewas tenggelam sementara 20 lainnya berhasil diselamatkan. Kebanyakan penumpang kapal tersebut berasal dari Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Timur.

Ironisnya, setelah diadakan penelusuran ditemukan fakta bahwa kecelakaan tersebut tak diketahui oleh aparat yang berwenang. Hal ini kerap terjadi dikarenakan statusnya yang ilegal. Mereka berlayar dalam upaya kembali ke Indonesia untuk mengembalikan status kesejahteraan mereka yang teerombang-ambing di luar negeri.

Pertanyaannya, kenapa ada saja warga negara Indonesia yang bersikeras menjadi TKI meskipun harus melalui jalan ‘haram’?

Dalam pembukaan Jambore Nasional Buruh Migran 23 November 2015 lalu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid menyebutkan bahwa setiap tahun angkatan kerja di Indonesia selalu bertambah 2,8 juta orang per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi hanya meningkat lima sampai enam persen. Setiap satu persen peningkatan ekonomi hanya menyerap tenaga kerja sebesar 250 ribu orang.

Efeknya, angkatan kerja baru yang bisa mendapat pekerjaan hanya 1,25 hingga 1,5 juta orang per tahun. Dan potensi pengangguran yang muncul mencapai 1,3 hingga 1,5 juta orang. Yang terjadi selanjutnya adalah migrasi besar-besaran baik itu ke luar kota, luar pulau, hingga ke luar negeri.

Seluruh aktivitas migrasi, baik dari maupun ke luar negeri, untuk mendapatkan pekerjaan adalah sah dan hak bagi semua warga negara. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Di dalamnya tertulis bahwa setiap tenaga kerja mepunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.

Namun faktanya, masih banyak para TKI atau buruh migran yang belum mendapatkan kesejahteraan di negara rantau. Ancaman hukuman, baik dari aparat penegak hukum negara yang bersangkutan maupun dari majikannya sendiri, masih membayangi para pejuang devisa yang tingga di luar negeri. Ambil contoh para imigran di Taiwan. Mereka terpaksa menjalani kontrak selama tiga tahun tanpa sanggup menikmati gaji mreka selama sepuluh bulan. Alasannya: ada potongan ini-itu, biaya ini-itu, yang hampir seluruhnya berkaitan dengan birokrasi.

Belum lagi intimidasi dari oknum pemangku kepentingan di dalam negeri. Banyak oknum aparat keamanan memandang buruh migran sebagai obyek perasan yang optimal dan lahan empuk sasaran penipuan. Dengan iming-iming bisa mendapat gaji berkali-kali lipat dibanding pekerjaan di dalam negeri, mereka diharuskan membayar sejumlah Rupiah untuk dilayarkan menuju negara seberang.

Mediasi antara negara dan buruh migran belum mencapai titik aman dan nyaman. Akibatnya banyak warga negara yang memutuskan untuk menjadi TKI non-prosedural atau ilegal. Padahal seharusnya, sesuai dengan visi Presiden RI Joko Widodo, negara menjami buruh migran terlindungi di dalam negeri, tidak terlantar di luar negeri, dan tidak miskin saat kembali ke tanah air.

Kenyataannya, ada saja saat dimana pemerintah ‘kecolongan’. April 2015 lalu publik dikejutkan dengan eksekusi hukuman mati dua TKI di Arab Saudi yaitu Siti Zainab dan Karni. Keduanya didakwa bersalah atas menghilangkan nyawa majikannya. Pemerintah RI mengaku telah mengerahkan segala upaya untuk menghindarkan keduanya dari algojo pancung mulai dari upaya hukum, pendekatan diplomatik, hingga pendekatan kekeluargaan. Pemaafan dari keluarga korban (tanazul) sebagai syarat mutlak pembebasan mereka darihukuman mati urung didapat karena keluarga tidak bisa mengikhlaskan kejadian yang menghilangkan nyawa korban.

Belum lagi pada 9 Maret 2015 lalu Kementerian Luar Negeri, Bareskrim Polri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Kementerian Sosial menemukan bukti dugaan tindak pidana perdagangan orang di Persatuan Emirat Arab. Dari 104 TKI yang ditemukan di penampungan, terdapat 55 TKI terduga korban human trafficking.

Para korban mengaku ditipu sejak keberangkatan ke luar negeri dan telah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari majikan. Sebagian TKI tersebut bahkan buta huruf. Mereka yang merupakan TKI non-prosedural berangkat ke Persatuan Emirat Arab melalui jalur Bandung-Batam-Singapura-Kuala Lumpur-Oman-PEA. Beragam permasalahan yang mereka alami diantaranya gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan, kekerasan fisik, hingga eksploitasi.

Per September 2015, tahun ini ada 301 kasus human trafficking yang melibatkan imigran Indonesia. Sebanyak 138 diantaranya masih dalam proses penyelesaian. Kawasan Asia Timur, Tenggara, serta Timur Tengah merupakan lokasi dengan kasus terbesar di dunia.

Data Direktorat Perlindungan WNI dan BMI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia juga mencatat 473 kasus WNI terancam hukuman mati di luar negeri sejak pertengahan 2011 hingga September 2015. Dari jumlah tersebut sebanyak 266 WNI telah menjalani kebebasan dakwaan, sedangkan 207 lainnya masih dalam proses penyelesaian hukum. Entah mengapa Malaysia dan Arab Saudi menjadi dua negara dengan kasus terbanyak dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Entahlah...

Lalu, adakah upaya pemerintah yang menampilkan keadilan bagi warga negara Indonesia di luar negeri?

Beberapa hari setelah eksekusi mati Siti Zainab dan Karni, seorang warga negara Arab Saudi yaitu Said Al Qahtani juga dieksekusi mati atas pembunuhan yang dilakukan kepada warga negara Indonesia bernama Kikim Komalasari pada tahun 2011. Ini mengindikasikan bahwa proses peradilan di Arab Saudi relatif tidak diskriminatif dan dapat dipertanggungjawabkan. Proses yang ditempuh oleh otoritas Saudi dalam eksekusi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku di negara yang menerapkan syariah Islam tersebut.

Selain itu pemerintah mencatat pembebasan terdakwa kasus pembunuhan terhadap salah satu warga Arab Saudi yang dilakukan oleh Satinah, tenaga kerja asal Indonesia. Setelah tiga kal Presiden RI mengirimkan surat berisi permohonan pemaafan, Satinah dibebaskan dengan tanazul dari keluarga korban melalui mekanisme pembayaran denda atau diyat sebesar SR 7 juta.

Namun demikian Satinah tidak bisa begitu saja kembali ke Indonesia. Ia masih harus menjalani pross persidangan atas tuduhan mencuri uan sejumlah SR 37.970 atau setara Rp 119 juta. Putusan sidang tanggal 13 April 2015 di Pengadilan Umum Buraidah memutuskan dirinya divonis delapan tahun penjara.

Perjuangan panjang pemerintah RI dalam mengupayakan kepulangan Satinah ke Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Pada 2 September 2015 ia kembali menginjakkan kaki di tanah air setelahb delapan tahun meringkuk di penjara Arab Saudi.

Penanganan terbesar kasus trafficking tenaga kerja ilegal juga tampak dalam kasus Walfrida Soik Mau, gadis kelahiran 12 Oktober 1993 asal Atambua, Nusa Tenggara Timur yang diberangkatkan secara non-prosedural pada tahun 2010 dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di Kelantan, Malaysia. Pada Desember 2010 dirinya dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pembunuhan setelah terjadi kontak fisik antara Walfrida dengan ibu majikan yang berujung pada hilangnya nyawa sang ibu majikan.

Menurut BNP2TKI, kasus ini merupakan murni pembelaan diri tanpa bermaksud untuk melakukan penghiulangan nyawa. Sontak saja Kementerian Luar Negeri melalui KBRI Kuala Lumpur melakukan pendampingan hukum kepada Walfrida.

Muncul sebuah bukti bahwa Walfrida masih di bawah umur ketika diberangkatkan ke Malaysia. Fakta ini menegaskan bahwa gadis tersebut merupakan korban trafficking ilegal. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, karena masih dalam usia nyang sangat belia, kondisi kejiwaan dan emosi Walfrida dinilai masih sangat labil dan mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Butuh waktu lima tahun hingga akhirnya Walfrida bisa dibebaskan dari ancaman hukuman mati tersebut.

Yang disayangkan adalah tidak adanya notifikasi dari Arab Saudi mengenai kasus hukuman mati Siti Zainab dan Karni. Selayaknya ada pemberitahuan dan akses konsuler terlebih dahulu kepada Indonesia apabila para WNI terhukum mati sudah akan dieksekusi. Bagi Indonesia, consular notification adalah bentuk penghormatan atas kedua negara yang telah berjalan dengan baik.

Dalam program Nawacita yang dicetuskan oleh Presiden RI Joko Widodo, perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri menjadi poin pertama yang disinggung. Pemerintah ingin nmenghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

Pemerintah juga meluncurkan agenda baru berupa e-blusukan yaitu berkomunikasi dengan TKI dan buruh migran Indonesia yang ebrada di luarnegeri melalui video conference. Penyelenggaraan e-blusukan ini bekerja sama dan difasilitasi oleh tujuh perwakilan KBRI yaitu KBRI Kairo di Mesir, KBRI Hongkong di Tiongkok, KBRI Singapura, KBRI Seoul di Korea Selatan, KBRI Bandar Seri Begawan di Brunei Darussalam, KBRI Riyadh di Arab Saudi, dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia Taipei di Taiwan.

Kegiatan ini tentu membawa hal yang positif bagi para imigran di luar negeri. Selain mendapatkan peluang untuk bertanya jawab langsung dengan pemerintah, hal ini bisa membuka wawasan pemerintah terhadap berbagai kondisi di lapangan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan di dalam negeri.

Mengapa buruh migran wajib untuk dilindungi?

Bukan hanya dari segi ekonomi, seluruh warga negara bahkan setiap manusia di muka bumi memiliki hak asasi yang sama untuk memperjuangkan harkat dan martabat mereka. Katakanlah mereka membawa dampak ekonomi positif bagi Indonesia, apakah dengan demikian mereka hanya dianggap aset semata? Tidak. Ada banyak hal yang mereka perjuangkan. Niat tulus mereka adalah membawa kemuliaan dan kesejahteraan bagi keluarga. Tak pernah terlintas dalam benek mereka yang sederhana mengenai efek dan nama Indonesia, murni hanya demi keluarga.

Namun demikian, Nusron menyebutkan, faktanya buruh migran menyumbang satu persen dari total GDP Indonesia pada 2014 kemarin. Dari seluruh GDP Indonesia sebesar USD 888,5 miliar, tambahan devisa dari para TKI dan BMI mencapai USD 8,4 miliar atau setara Rp 110 triliun. Dan perkiraan tahun 2015 ini para imigran memberikan bantuan devisa sebesar Rp 114 triliun. Angka ini tentu tak bisa dipandang remeh.

Yang harus ditekankan adalah adanya batas kewajiban perlindungan negara. Pelaksanaan perlindungan warga negara tidak dapat dilepaskan dari pengaturan hukum internasional, antara lain ketentuan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler dan Kebiasaan serta Prinsip-Prinsip Hukum Internasional. Lebih lanjut konvensi tersebut menekankan bahwa salah satu fungsi perwakilan adalah memberikan perlindungan terhadap kepentigan warga negaranya selama dilakukan dalam batas-batas yang diperbolehkan.

Karena itu berdasarkan Customary International Law, kewajiban utama pemerintah terhadap warga negaranya yang mengalami masalah hukum di luar negeri adalah sebatas memastikan warga negaranya memperoleh peradilan yang adil, termasuk mendapatkan hak-haknya untuk melakukan pembelaan secara terbuka.

Langkah pemerintah mempererat hubungan bilateral dengan Arab Saudi juga menjadi suatu sistem yang diharapkan bisa mengurangi jumlah kasus hukum yang dialami imigran Indonesia. Upaya jemput bola yang dilakukan Kementerian Luar Negeri berperan sebagai media penyampaian perkembangan kasus dan kampanye penyadaran publik untuk mengedukasi masyarakat terkait dengan pelindungan WNI.

Peran BNP2TKI

BNP2TKI berencana menyiapkan perubahan jenis visa bagi buruh migran. Hal ini menjadi salah satu bentuk perlindungan pemerintah kepada buruh migran di luar negeri.

Untuk seluruh TKI visa yang harus digunakan adalah visa amal atau kerja, bukan visa khadamat atau pembantu. Sehingga di sana mereka tidak hanya diperlakukan seperti properti saja. Selain mengubah jenis visa, pemerintah juga tengah menyusun mekanisme pemulangan buruh migran. Artinya, para buruh migran tidak bisa serta-merta dipulangkan ke Indonesia. Setelah dipulangkan, mereka tetap harus diberdayakan. Jangan sampai setelah pulang mereka jadi pengangguran. Di sini jadi masalah, pulang pun juga jadi masalah, jadi hidupnya serba susah.

Selanjutnya adalah mengenai pemulangan, yang artinya para buruh migran tidak bisa serta merta dipulangkan. Setelah dipulangkan mereka tetap harus diberdayakan. Tahun ini BNP2TKI mendampingi sekitar 15 ribu buruh migran yang kembali dari luar negeri, untuk nantinya diberdayakan di dalam negeri. Terutama bagi imigran overstayer dan TKI undocumented yang dikirim secara ilegal.

Program pemberdayaan ini, menurut Nusron Wahid, terbagi menjai empat sektor yaitu ketahanan pangan yang meliputi pelatihan di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan; industri kreatif yang meliputi pelatihan di bidang kerajinan; pariwisata yang meliputi pelatihan di bidang kuliner dan jasa penginapan; dan produksi kreatf yang meliputi pelatihan diusaha perdagangan kecil dan persiapan untuk menjadi pegawai.

Kesimpulan

TKI dan BMI juga manusia yang memiliki hak untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh bagian dunia tempat mereka bekerja. Peran pemerintah dan BNP2TKI dalam perlindungan buruh migran diperlukan untuk membantu mereka menjalani hidup aman, nyaman, tenteram, dan berharga. Hukum pun diharap tidak berpihak kepada satu negara saja. Para buruh migran juga menanti realisasi program Nawacita dari Presiden RI Joko Widodo demi kesejahteraan warga negara Indonesia yang menjadi pahlawan devisa di luar negeri.

---

*) Penulis adalah jurnalis dan fotografer Jawa Pos Radar Jember

Referensi:

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

3. Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler

4. Laporan Pendapatan Domestik Bruto Indonesia Tahun 2014

5. Wawancara dengan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun